Teori Moneter Al-Ghazali
Oleh,
Dr. Abdul Aziz, M.Ag
Sebagai salah seorang tokoh pemikir muslim
klasik, Al-Ghazali mempunyai konsep keuangan Islami yang unik, karena aspek
sufistiknya berpengaruh didalamnya, yang berbeda dengan tokoh-tokoh Islam
lainnya. Biasanya kalau mengkaji pemikiran Al-Ghazali, orientasinya adalah
sekitar pemikir te-ologi,
tasawuf dan filsafat yang menonjol untuk tampilkan, se-baliknya, pemikir ekonomi baik secara tersirat
maupun tersurat belumlah tersentuh apalagi yang berkaitan khusus tentang konsep
keuangan yang tertuang dalam kitab “Ihya
Ulumuddin” nya. Meskipun dalam pembahasannya hanya sedikit, namun sangatlah
menakjubkan dan signifikan yang disertai dengan kekritisannya dalam melihat
suatu persoalan.
Menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi, kedalaman
pengetahu-an ekonomi al-Ghazali ini, telah membuat salah seorang pakar ekonomi
Islam berkomentar bahwa sesunguhnya pengetahuan yang paling berharga mengenai
keuangan dan fungsinya di abad pertengahan adalah seperti yang ditulis
Al-Ghazali pada bab as-Syukru, dalam
kitab Ihya ‘Ulumuddin. Disitu
Al-Ghazali membicarakan masalah uang yang dipergunakan manusia se-bagai nikmat
dari Allah SWT, dengan sistem transaksi Barter. Dari pada itu, dalam pembahasan
bab ini akan dijelaskan, pengertian dan asal usul uang, fungsi uang,
jenis-jenis dan nilai uang serta riba dan pertukaran mata uang (al-Sharf) menurut pandangan Al-Ghazali.
A.
Pengertian dan Asal Usul Uang
1. Pengertian Uang (Defnition of Money)
Pada mulanya uang itu belum lagi seperti
sebagaimana yang kita pakai sekarang. Pada waktu itu apa yang kita sebut uang,
terdiri dari barang-barang (Commodity
Money) juga1. Uang tidak lain adalah
segala sesuatu yang dapat dipakai/ diterima untuk melakukan pembayaran barang,
jasa maupun utang2, yang berlaku dimasa
dulu hingga sekarang.
Oleh karena itu, sebelum lebih jauh membicarakan
hakikat uang menurut Al-Ghazali, terlebih dahulu perlu kiranya kembali kepada
sumber pokok Islam, yaitu Al-qur’an. Tentang uang (baca; harta/al-Maal) dan pengembangannya dalam
kegiatan ekonomi dalam pandangan Al-Qur’an, “uang” antara lain diarti kan
sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu3,
ia termasuk sesuatu yang sangat penting di dunia4.
Uang juga dibuat agar memberikan sumbangan yang berarti bagi pencapaian tujuan
utama sosio-ekonomi Islam, (The Money be
Made Contribute richy to the archievement of the major socio economic goals of
Islam)5.
Berkaitan dengan definisi tersebut diatas, M.
Nejatullah Sidiqqi, seorang ahli ekonomi Islam Kontemporer, dalam tulisan nya
yang berjudul Issues in Islamic Banking,
yang diterbitkan di Londom pada tahun 1983 M, mengatakan bahwa para penulis
Islam mengakui manfaat uang, uang sebagai alat tukar dan mendukung peralihan
dari perekonomian barter ke perekonomi an uang. Dalam buku “ an Nidzam al Iqtisad fi al Islam” taqyuddin an-Nabhani,
mengartikan uang sebagai standar ke guanaan yang terdapat pada barang dan
tenaga. Artinya, uang adalah sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap
barang dan tenaga. Oleh karena itu, uang adalah senjata politik, sosial dan
ekonomi yang ampuh didunia modern6.
Dari pada itu, Quraisy Syihab, (1996:403), salah
seorang pakar tafsir, dalam menafsirkan istilah ‘qiyama’ sebagai uang atau harta untuk sarana kehidupan (Q.S. an-Nisa,
4: 4). Selanjut nya, kata Quraish, tidak heran jika Islam memerintahkan untuk
menggunakan uang pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya.
Bahkan memerintahkan untuk men-jaga dan memeliharanya sampai-sampai al-Qur’an
melarang pem-berian
harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau
tidak pandai mengurus mengurus hartanya secara baik. Dalam konteks ini,
al-Qir’an berpesan kepada mereka yang diberi amanat untuk memelihara harta
seseorang.
Sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: “Janganlah kalian memberi orang-orang yang lemah kemampuan (dalam
pengurusan) harta mereka yang ada ditangan kalian dan yang dijadikan Allah
untuk semua sebagai sarana pokok manusia”. (Q.S An Nisa; 5)
Menurut para ekonomi modern, uang diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat pembayaran yang sah7. Dalam
bukunya “Money”, yang cetakan
pertamanya diterbitkan pada tahun 1922 M., D.H Robertson menyatakan, “Money is Something which is widely accepted
in payments for goods” (uang adalah segala sesuatu yang umum dan dapat
diterima dalam pembayaran barang-barang).
R.S sayer dalam bukunya “Modern Banking” yang cetakan pertamanya terbit pada tahun 1983,
memberikan definisi uang sebagai berikut: “Money
is something that is modely accepted of the settlement of debets”, uang
adalah segala sesuatu yang umum dan dapat diterima sebagai alat pembayaran
utang.
A.S Pigau dalam buku “The Veil of Money” mengartikan uang sebagai “ Money are Those things that are widely used as a media for exchenge”,
uang itu adalah segala sesuatu yang umum dan dipergunakan sebagai alat penukar.
Dalam sekian banyak definisi uang yang
diungkapkan oleh para ehli ekonomi, baik ekonomi muslim maupun modern (Barat),
serta penjelasan yang terdapat dalam al-Qu’an terdapat per-samaan, yaitu uang
sebagai apa saja yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran untuk
dipertukarkan dengan barang, jasa atau pelunasan utang. Jelasnya, uang adalah
alat yang berguna untuk pembayaran (Unit
of Payent).
Kembali kepada teori moneter (keuangan) menurut
pandangan Al-Ghazali, meskipun sebenarnya tidak sengaja untuk memaparkan
panjang lebar tentang definisi uang tersebut. Akan tetapi yang dilakukan Al-Ghazali adalah menjelaskan
hakikat uang menurut ketentuan agama. Uang sebagai sesuatu yang penting dalam
peraturan bisnis, menurutnya, karena uang merupakan salah satu nikmat Allah
yang harus ditempatkna sesuai dengan aturan-aturann-Nya8.
Lebih jelasnya lagi kata
Al-Ghazali, uang (baca: dinar dan dirham) adalah Khadimani wa la khadimun la huma wa muradani wa la yuradani”9. (alat-alat untuk mencapai suatu maksud, yakni sebagai suatu
alat perantara saja dan tidak untuk yang lain). Dengan demikian, maka, definsi
yang dikemukakan Al-Ghazali semakna dan maksud dengan definisi lainnya. Akan
tetapi diakui bahwa signifikasi argumentasi dalam definisi yang dikemukakan
Al-Ghazali adalah bahwa uang ternyata hanya sebagai alat tukar (Unit of Exchange) dan penengah (Intermediary) saja yang selanjutnya
dalam perekonomian modern uang sangat penting dalam peraturan bisnis baik
regional maupun internasional. Keberadaanya telah diakui dan sebagai alat tukar
(money as unit of exchange), ia dapat
diterima oleh semuanya.
Meskipun sebenarnya
perhatian Al-Ghazali dalam menjelas kan hakikat uang terfokus pada pembahasan Syukur, namun inilah kelebihan
Al-Ghazali. Ia dikenal sebagai evolusionis spiritual, hingga dalam
pembahasannya ini, ia kaitkan antara faktor duniawi dan ukhrawi. Salah satu
pelajaran terpenting dari tulisan Al-Ghazali adalah kata-kata, “Dalam dirinya tidak ada manfaat” dengan
perkataan lain, uang yang sebagaimana ingin diharapkan oleh Al-Ghazali adalah
supaya dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Al-Ghazali juga
mengibarkan uang sebagai sesuatu yang mengagumkan kegunaannya. Bahkan menurutnya, uang bagai-kan sesuatu yang memiliki
segala-galanya, “Fa man malakahuma fa ka
annahu malaka kulla syaiin…”10
Namun demikian Al-Ghazali menghimbau, agar uang tidak disalahgunakan.
Uang tidak boleh diperanakkan hingga menjadi banyak tanpa investasi, sebagaiman kata Murasa Sarkaniputra, meminjam istilah
Aristoteles, “ Uang adalah ayam betina
yang tidak bertelur, karena itu riba (baca: bunga bank) diharamkan”.11
Dari pada itu, Al-Ghazali
mengibaratkan uang sebagai suatu benda yang multiguna serta mempunyai multiflyer effect. Sebab, uang merupakan sumber segala-galanya bukan
segala-galanya yang berarti fisik. Melainkan secara metafisik, agar yang
mempunyai uang dapat bersyukur kepada Tuhannya. Ia hanya mengakui bahwa betapa
urgennya peranan uang dalam melancarkan dunia usaha. Kita lihat
dalamkata-katanya, “ Tsumma yukhditsu bi
sababi al baiat al hajat ila al Naqdain…”12
(kemudian timbul dengan sebab jual beli satu kebutuhan uang).
Pengertian uang yang
dikemukakan Al-Ghazali di atas, membuktikan kepada kita bahwa tidak satupun
persoalan yang tidak dibahas olehnya.
Sebagai salah satu
nikmat-nikmat Allah SWT, uang, kata Al-Ghazali, juga merupakan alat kebutuhan
manusia. Keistimewa an yang terletak pada nilai tukar (exchange value) dan liquiditas-nya
dalam peraturan bisnis, dan itu merupakan unsur dari tegak-nya dunia, Min ni’amilah khalqud darakhimi wal danairi
wa bihima qama al dunia13,
(salah satu nikmat Allah adalah telah diciptakan nya dirham dan dinar, sehingga
dengan keduanya tegaklah dunia).
Dari kutipan diatas, kita
dapat penjelasan yang berharga dari Al-Ghazali, dimana uang merupakan kebaikan
yang per-tengahan, yaitu dapat memberikan manfaat (Deviden) dari satu segi dan dapat membahayakan (Mudharat) dari segi lain14. Uang adalah benda (batu) mati yang tidak ada manfaat pada
hakikat dirinya. Akan tetapi, manusia pasti membutuhkannya agar dapat mempunyai
barang-barang, mengenai makanannya, pakaiannya dan semua kebutuhan-kebutuhan
lainnya15, dan itu memerlukan uang sebaggai
perantara dalam pertukaran.
2.
Asal-usul Uang (Nature of Money)
Telah kita kita ketahui bersama bahwa uang
memiliki evolusi panjang perkembangannya dalam sejarah peradaban manusia, dari
mulai zaman primitif dulu, hingga sekarang. Keberadaan “uang” sangatlah
signifikan dan urgen, meskipun sebelumnya uang tersebut wujud tidak seperti
halnya yang kita kenal sekarang.
Namun ada baiknya sebelum lebih lanjut
membicarakan uang dalam teori Al-Ghazali, kita akan mengenal lebih dulu
asal-usul atau sejarah perkembangan uang, dimulai dari sistem barter (al-Mufawwadah) hingga pada penggunaan
logam mulia, yaitu; emas (al-Dzahab)
dan perak (al-Fidzah). Model seperti
ini telah dikenal pada abad pertengahan dimasa Al-Ghazali, bahkan berlanjut
dengan terbentuknya lembaga keuangan sebagaimana yang kita kenal kita sekarang.
a. Sistem Barter (Barter System)
Pada zaman purba, ketika masyarakat masih sangat
seder hana, orang belum bisa mempergunakan uang. Perdagangan dilakukan dengan
cara langsung menukarkan barang dengan barang, atau disebut dengan barter16.
Penukaran melalui barter (al-Mufawwadah) ini telah dikenal manusia sejak zaman kuno. Barter adalah sebuha metode penukaran
yang tidak praktis dan memperkenalkan banyak kepicikan dalam mekanisme pasar17. Barter
yang sebenarnya dapat dipertahanakan dengan baik ketika masyarakat merasa
dirinya telah cukup18.
Selama tukar menukar masih terbatas pada beberapa jenis barang saja, cara ini
bisa berjalan19, hanya saja kejadian
semacam itu kadang-kadang.
Mereka melakukan kegiatan
tukar-menukar barang dengan jalan “tukar ganti” (muqayadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang
lain dan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan20. Sebelum pertukaran dengan uang
berkembang, barang-barang diperdagangkan dengan barter ini. Menurut Marilu
Hurt, Barter adalah pertukaran barang
dengan barang; telor dengan buah, kain dengan keranjang, dan lembu (sapi)
dengan bulu. Sistem barter menggunakan pertukaran barang-barang atau jasa
dengan barang atau jasa yang lain, dan bukan menggunakan uang21. Karena diakui sistem barter semacam ini pada masyarakat
sederhana tidaklah menyulitkan, meskipun diakui bahwa pertukaran dalam barter
secara alamiah tidak berkembang22.
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Bisnis dan Pe-masaran,”
Buchari Alma, mempertegas dalam masalah memenuhi segala kebutuhan hidup maka
terjadi tukar-menukar barang (barter) dimana dahhulu kala sebelum ditemukan
sistem jual beli, maka manusia mengadakan hubungan untuk saling tukar-menukar
barang satu sama lainnya. Seperti nasehat Luqman al Hakim kepada anak-anaknya,
“Hai anakku berusahalah untuk
menghilangkan kemiskinan dengan cara yang halal itu, tidaklah ia akan
mendapatkan kemiskinan.”23
Mesikipun Al-Ghazali adalah
seorang sufi, namun dalam pengamatannya, ia lebih memperjelas secara rinci
tentang bagai mana manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya. Dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan ke-giatan bisnisnya melalui
transaksi jual beli24. Ia
mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan
tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar
menukarkan barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain25. Karena saat itu mata uang tidak ada,
yakni tidak seperti halnya mata uang sekarang.
Adapun Al-Ghazali dalam
mengatasi persoalan ini, dalam teorinya dijelaskan bahawa sistem tukar menukar
dengan barang yang kemudian dikenal dengan sistem barter sebagai simbol pada
pembayaran pada masa dulu, tidaklah
sesuai lagi untuk konteks masanya26. Oleh karena itu, kata Al-Ghazali, sistem ini harus dicari
penyelesainnya. Dari sinilah timbul
pertanayaan-pertanyaan al-Ghazali, yaitu: apakah dengan cara pembuatan mata
uang? Dari bahan apa uang dibuat
supaya bertahan lebih lama? Serta siapakah yang akan membuat uang tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut diatas dikemukakan Al-Ghazali, sebagai langkah awal untuk mencoba
manyelesaikan persoalan barter. Memang sistem tukar menukar barang dengan barang masih
terbatas pada bebrapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan setelah
masyarakat mengenal uang, lebih maju, dan sudah mengenal spesialisasi, cara
barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak
lain yang kebetulan sekaligus, yakni: 1) mempunyai barang yang kita butuhkan,
2) membutuhkan apa yang kita tawarkan, 3) dengan nilai yang kira-kira sama atau
dapat dibandingkan, dan 4) bersedia menukarnya27.
Ternyata apa yang dibahas
oleh Al-Ghazali28, tentang kesulitannya
dengan transaksi barter, oleh para ekonomi diakui. Sadono Sukirno, misalnya dalam buku “Pengantar Teori Makro ekonomi”, menjelaskan bahwa perdagangan
dengan cara barter akan menimbulkan banyak masalah, bahkan akan mengurangi
kelancaran jalannya perdagangan itu sendiri. Menurutnya, kesulitan-kesulitan
yang dialami oleh barter ini akibat dari:
Pertama, proses
tukar menukar akan menjadi sangat rumit karena pertukaran hanya hanya mungkin
terjadi apabila kedua pihak yang akan mengadakan pertukaran (i) memilih barang
yang diingini pihak lain dan (ii) mengingini barang yang dimiliki pihak lain,
keadaan yang demikian dinamakan kesesuaian ganda dari pada keinginan.
Kedua, tanpa
uang akan timbul kesulitan untuk memberikan nilai keatas sesuatu benda. Ia
harus ditentukan nilainya dalam bentuk nilai tukar dengan berbagai jenis barang
lain.
Ketiga, perdagangan
secara barter akan menghambat kelancaran kegiatan bisnis (perdagangan) yang
pembayaran nya ditunda hingga kemasa yang akan datang.
Adanya kesulitan-kesulitan
yang ditimbulkan oleh perda-gangan dengan cara barter, menyebabkan sejak
berabad-abad yang lalu orang telah menggunakan uang sebagai alat untuk melancarkan
kegiatan tukar menukar29, yaitu
dengan cara menjadikan barang-barang tertentu berfungsi sebagai uang, A Commodity that becomes a medium of
exchange is called a commodity money30.
Dari pada itu, Mohammad
Abdul Mannan, ekonomi muslim kontemporer dalam buku “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, men yatakan bahwa dalam
pertukaran dengan sistem barter itu di-kenang dalam Islam. Mannan lebih lanjut
mengatakan, bahwa perdagangan barter merupakan praktek sehari-hari yang per-nah
berlaku. Walapun setelah berlakunya ekonomi uang, volume perdagangan barter
sebagian besar menjadi berkurang, namun arti penting perdagangan barter sampai
sekarang pun tidaklah dapat dianggap kecil artinya, Islam juga telah mengakui
per-dagangan barter seperti dinyatakan dalam perintah al-Qur’an dan Sunnah31.
Kembali kepada teori
Al-Ghazali, barter memang harus di-akui telah mengisi dalam sejarah kegiatan
ekonomi dunia. Oleh karena itu, untuk lebih meyakinkan kita bahwa barter sudah
perlu untuk direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan supaya ada lembaga
keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakanuang tersebut.
Dan lembaga keuang an sekaligus sebagai pencetak yang dikenal dengan sebutan Dar al-Darb (lembaga percetakan) sangat
diperlukan.
Lembaga keuangan ini telah
dikenal sejak sebelum Al-Ghazali, mungkin untuk konteks sekarang adalah Bank
Indonsia, sebagai Bank sentral. Di lembaga itulah kata AL-Ghazali, seluruh
kegiatan moneter dipusatkan, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi
negara. Dalam sebuah kutipan yang ditulis Al-Ghazali, disebutkan “….oleh sebab itu, dipilihlah harta yang
berasal dari barang tambang, dari sinilah dibuatlah uang, yakni lembaga
keuangan…32.
b.
Uang Barang (Commodity
Money)
Sebetulnya kegiatan transaksi dengan cara barter
dan barang (Commodity) dalam
pemahaman Al-Ghazali adalah hampir sama bahkan saling berkaitan. Dimana
Al-Ghazali secara tegas mengatakan bahwa pakaian, makanan, binatang dan barang
barang sejenis lain dapat ditukar seperti halnya fungsi uang. Oleh karena itu,
hakikat uang barang atau Commodity Money
adalah barang-barang yang dipergunakan untuk transaksi barter33.
Dalam pandangan AL-Ghazali, setiap manusia
membutuh kan akan barang-barang, makanan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya. Akan tetapi keterbatasan mereka untuk me-miliki semuanya; sehinnga apa
yang dia punya ditukar dengan milik orang lain34.
Dalam dunia yang sudah mengenal spesialisasi,
sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan sistem perdagangan barter. Oleh
karena itu, uang barang (commodity money)
sebagai peng-ganti dari penggunaan sistem barter merupakan genera lisasi sari
barang-barang yang telah disepakati untuk dipakai. Misal-nya pisau pernah
digunakan sebagai mata uang Cina, pakaian, keris dan sebagainya. Barang-barang
yang dijadikan (difungsi kan) sebagai uang syaratnya harus mudah dipakai,
dibawa, serta umum menjadi suatu kebutuhan.
Ghary Smith dalam bukunya yang berjudul, “Money, Banking and Financial Internasional,”
mejelaskan bahwa uang barang memang pernah digunakan sebagai pengganti
transaksi barter. Karena barang-barang yang dijadikan sebagai uang ini dianggap
mempunyai karakteristik; mudah diperiksa, digunakan, dapat dibawa, dapat dibagi
serta tahan lama. Lima per-syaratan tersebut, lebih jelas dapat dilihat dalam
uraian panjang sebagai berikut:
1. It
should be easily veriable. It is iriefficient to use a commodity money that
must be cnotinually inspected for its size, weight or purity. One of the subtle
inefficienscies of barter is that both of the items traded must be carefully
evaluated.
2. It should
be intrinsically useful, there is something to be said for using a commodity
money that can be consumed if worst comes to worst.
3. It
should be conveniently transortable. If trades take place over a wide
geographic area. It is help ful to have a commodity money that can be easily
and safety carried about.
4. It
should be divisible, trades are simplified when the medium of exchange can be
easily devide to purchase exactly the desire amount.
5. It
should be durable. If you keep an invectory of some medium of excange that you
are always prepared to trade, it is best if the medium dose spoil or not whole
you holding ti.35
Kelima karakteristik uang barang tersebut untuk
sementara dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Uang barang dapat diterima sebagai pengganti barter pada
zaman dulu. Gary Smith, meskipun tidak mengenal Al-Ghazali, sependapat bahwa
barang-barang tersebut telah digunakan sebagai alat tukar.
Ketokohan dan sosok
Al-Ghazali yang selama ini kita kenal dan dipandang sebagai tokoh spiritual
(sufi) yang anti terhadap dunia, ternyata tidak terbukti. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran Al-Ghazali yang tertuang
dalam teori moneter (keuangannya). Bahkan Al-Ghazali dalam memandang dunia,
selalu dikaitkan dengan aspek ruhani. Sebagaimana ketika Al-Ghazali menempatkan
teori keuangannya dibahas dalam penjelasan Bab
As-Syukur. Hal ini membuktikan bahwa, ia ingin mensinerjikan tata keuangan
dalam kelembagaan dalam mendorong untuk selalu mencari ma’isah (penghidupan dunia) melalui bekerja. Dan yang lebih menarik
adalah penjelasannya tentang penggunaan uang sebagai dari bukti men-syukuri ni;mat Allah.36
c.
Uang Logam
Dari proses kegiatan ekonomi dengan sistem barter
dan uang barang (commodity money)
hingga digunakannya sistem mata uang yang telah diuraikan diatas. Maka bisa
kita lihat, bagaimana pemikiran dan gagasan Al-Ghazali dengan teori evolusi
uangnya dapat memberikan gambaran jelas tentang terjadinya perpindahan (transformation) dari sistem perekonomi
an (transaction) barter menuju
perekonomian yang menggunakan sistem mata uang logam, yaitu dinar dan dirham.
Dalam buku Ihya
Ullumuddin, Al-Ghazali menguraikan asal-usul uang secara rinci dan
mendetail. Pertama, ia menguraikan
kegiatan para petani sebagai suatu komunitas tradisional dalam proses kegiatan
ekonominya, yaitu sebagaimana cara mem-produksi dari barang mentah menjadi
barang baku. Mari kita simak perkataan Al-Ghazali;
--- فان الفلاح ربما يسكن قرية ليس فيها الة الفلاح والحداد
والنجار
يسكنان قرية لايمكن فيها الزراعة فبالضرورة يحتاج الفلاح اليها ويحتاجان الي
الفلاح فيحتاج احدهما ان يبذل ماعنده للاخر حتي ياخذ منه غرضه وذالك يطريقة
المعاوضة ----
“Karena para petani kebanyakan
hidup di desa yang tidak ada peralatan petanian, dan di pihak lain tukang besi
dan tukang batu yang bertempat tinggal di kota. Mereka dengan terpaksa baik
petani, tukang besi maupun tukang batu mereka saling membutuhkan satu sama
lainnya akan barang-barang yang tidak mereka punyai maka mereka melakukan
transaksi dengan cara tukar menukar/barter. Inilah yang kemudian disebut dengan
al Mufawwadhah….”37
Dari pernyataan ini dapat kita renungkan bahwa
hubungan antara petani dan alat-alat pertanian, dan hubungan dengan sesama
manusia dan alam lingkungan mempunyai arti yang sangat mendalam, baik arti
ekonomi, lingkunan dan sosial budaya kesemuanya tak lepas dari kesatuan
ciptaan-Nya38. Ini artinya,
Al-Ghazali memberikan gambaran bahwa antara tukang batu, petani dan tukang besi
diantara mereka terjadi saling membutuhkan, mereka saling memproduksi
berdasarkan spesialisasi masing-masing. Bila dikaitkan dengan teori ekonomi
modern, Al-Ghazali telah lebih dulu mengenal teori Full Employment (kesempatan kerja penuh) atau Full Employment theory sebelum ada teori moneter klasik, yang
digagas oleh tokoh-tokoh semacam; J.B.Say, Irving Fisher dan A. Marshall.
J.B. Say terkenal karena hukum yang
dikemukakannya, bahwa penawaran akan selalu menciptakan permintaan (Supply Creats its own demand). Artinya
bahwa suatu perekonomian tidak akan mengalami underconsumtion. Pengeluaran total masyarakat akan selalu dapat
mencukupi untuk menunjang produksi pada keadaan kesempatan kerja penuh, (full employment)39.
Dari pada itu Al-Ghazali memperjelas tentang uang
logam, ia mengatakan bahwa,sulitnya perekonomian dengan sistem barter yang
banyak mengandung kelemahan maka harus ada pengganti yang lebih baik, praktis
dan efisien. Mari kita kutip perkataan Al-Ghzali itu:
كما يباع ثوب
بطعام وحيوان بثوب وهذه امور لاتتناسب فلابذ من حاكم عدل يتوسط بين المتبايعين
يعدل احدهما الاخر فيطلب ذالك العدل من اعيان الاموال ثم يحتاج الرمال يطول بقاؤه
لان الحاجة اليه تدوم وابقي الاموال المعادن فاتخذت النقود من الذهب والفضة
والنحاس ثم مست الحاجة الي الضرب النقس والتقدير فمست الحاجة الي دار الضرب
الصيارفة -----
“Sebagaimana pakaian ditukar dengan makanan,
binatang ditukar dengan pakaian, penjualan dengan menggunakan sistem pertukaran
semacam ini tidaklah sesuai/cocok. Oleh karena itu, harus ada salah seorang
“hakim” yang adil sebagai penengah diantara mereka (pembeli dan penjual) yang
menjadi perantara baginya. Maka dicarilah alat-alat (keadilan) yang berasal
dari harta-harta yang sekiranya dijamin tahan lama. Maka dipilihlah harta yang
berasal dari tambang, dari itulah maka dibuatlah uang, baik dari emas maupun
perak dan timah. Kemudian sampailah kebutuhan akan percetakan uang, pengukuran
dan tempat menentukan nilainya. Maka sampailah kepada kebutuhan akan tempat
percetakan uang dan penukaran uang.”40
Keberadaan uang logam ini
memang sangat dirasakan sekali manfaatnya, sehingga Rasulullah SAW sendiri
mengakui akan keberadaannya dan kemudahannya. Sebagai seorang sufi yang tajam
pemahamannya, Al-Ghazali melihat bahwa dengan digantikannya cara barter dengan
menggunakan uang logam dalam kegiatan perekonomian akan mengantarkan berbagai
kemudahan-kemudahan. Sebab uang logam ini termasuk alat-alat khusus yang Allah
SWT menciptakan untuk kepentingan umat manusia.41
Al-Ghazali telah berhasil
mengungkap dasar-dasar perekonomian barter dan perekonomian yang menggunakan
uang logam, emas dan perak sebagai dinar dan
dirham. Beberapa kelemahan perekonomian barter mengakibatkan
terjadinya transformasi dari barang sebagai uang menjadi standar mata uang.
Maka Al-Ghazali berkesimpulan bahwa menggungakan uang sebagaimana yang
disyariatkan agama, yakni dengan cara mu’amalah
yang baik adalah salah satu bentuk dari syukur
nikmat. Sebaliknya, jika tidak maka ia telah terbuat dzalim, bahkan menjadi pengingkar (kufur nikmat). Secara sederhana, berikut peta konsep perkembangan
sistem mata uang al-Ghazali:
![]() |
|
B.
Fungsi Uang (Function
of Money)
Dari penjelasan dan uraian
tersebut diatas dapat dikata kan bahwa uang itu merupakan suatu barang penting.
Ia se-bagai alat pertuakaran (unit of
exchange) dalam dunia usaha/ bisnis, sehingga keberadaannya dapat diterima
oleh masya rakat. Uang liquiditasnya dapat memudahkan sebagai alat
untuk pembayaran dalam semua bentuk transaksi.
Dalam konsepesi tentang uang,
Al-Ghazali menuturkan dalam kitab “Ihya
Ulumuddin” yang oleh banyak kalangan pemikir muslim maupun non muslim
dinisbatkan sebagai kitab monumental-nya,
sehingga oleh para ahli ekonomi islam kontem porer dianggap sebagai rujukan
dari kitab-kitab terdahulunya tentang ekonomi secara komperehensif.
Menurut Al-Ghazali, ada dua
fungsi uang (function of money) yang
membuat orang dapat mudah memeanfaatkannya, serta mudah menggunakannya secara
efektif, tanpa harus membawa uang (harta miliknya) dalam memenuhi kebutuhan
untuk ditukarkan dengan milik orang lain. Kedua fungsi uang tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Allah
swt menjadikan (mata uang) dinar dan dirham, sebagai hakim dan dua penengah (Double justic and consident), diantara
harta benda-benda yang lain-lainnya. Se-hingga
dapat dipastikan harta benda itu dengan dinar
dan dirham tersebut.42 Artinya, uang merupakan
alat tukar nilai tukar.
Kedua, keduanya (dinar dan
dirham) itu menjadi perantara
(wasilah) kepada barang-barang yang lainnya (medium of exchange for goods and service). Karena keduanya adalah
barang milik pada dirinya dan tidak ada maksud pada dirinya keduanya, dan perbandingan
keduanya kepada harta-harta yang lain adalah suatu perbandingan.43
Kedua fungsi uang yang
diuraikan AL-Ghazali diatas, jika kita lihat dan dibandingkan dalam teori
ekonomi moneter modern, maka tedapat titik temu dan tidak jauh berbeda. Dalam kepustakan
teori moneter, misalnya, uang dikenal mempunyai empat fungsi, dua diantaranya
adalah fungsi yang sangat mendasar sedangkan sua hal lainnya adalah fungsi
tambahan. Dua fungsi dasar tersebut adalah peranan uang sebagai berikut:
1. Alat Tukar (Mean
of exchange)
2. Alat penyimpanan nilai/daya beli (Store of value)44
Kemudian untuk lebih memperluas analisa dan
memper-tajam pembahasan, dibawah ini akan diuaraikan bebrapa pen-dapat para
pakar ekonomi tentang fungsi dan keguanaan uang, yaitu diantaranya adalah:
a. Wedner Sichel, Martin B. dan Wayland Gardner
dalam buku “Ekonomics”, (1987;220),
ketiganya berpendapat bahwa uang sebagai sesuatu yang umum yang diterima dalam
kegiatan ekonomi. Uang yang berfungsi sebagai a medium of exchange, a unit of account, a store of purchasing power
and a standard for defered payment.
b. Mckenzie dalam bukunya yang berjudul “Economics Study Guide” yang diterbitkan
Boston pada tahun 1986, pada hal 98, juga berpendapat bahwa fungsi uang adalah
sebagai a medium of axchange and that
arts as a store of purchasing power, and standard of value (or unit of
account).
Sedangkan Marilv
Hurt McCarty dalam buku yang ber-judulkan Introductory macroeconomics (1988: 250) berpendapat bahwa uang
mempunyai performance tiga fungsi; a) as
medium of exchange, b) as a store of
value, c) as s standard of value
atau unit of accounts.
Sri Mulyani Indrawati dalam buku yang berjudul “Teori Moneter” yang diterbitkan oleh
Lembaga Kajian Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1988, sependapat jika uang
diartikan sebagai suatu komoditi/alat yang memiliki beberapa fungsi, yaitu;
1. Satuan alat tukar (medium of exchange)
2. Satuan pengukur (unit of acccount)
3. Penyimpanan niai atau penyimpanan daya beli (store of value)
4. Ukuran/standar pembayaran yang dapat ditangguhkan
(standard for diferred payment)
Dari sekian banyak penjelasan dan pendapat yang
di-kemukakan oleh para ahli ekonomi moodern tentang fungsi uang yang tersebut
diatas, pada dasarnya mereka sependapat bahwa uang menukar (intermediary atau exchange), dan alat ukur (unit
of account). Bahkan jauh-jauh sebelumnya Ibnu Qayyim, salah seorang ulama
klasik mengatakan, fakta yang sama dengan lebih jelas, uang dan keping uang
dimaksudkan untuk benda itu senidir, tetapi dimaksudkan untuk digunakan sebagai
agar memperoleh barang-barang (ini berarti uang sebagai alat tukar saja).45
Bahkan dipertegas dengan keterangan Baqir al
Hasani dan Abbas Mirakhor dalm buku “Essasy
on Iqtishad”. Keduanya ber-pendapat bahwa pada dasarnya imam-imam madzhab
dalam istilah Islam telah mengakui lebih dahulu tentang fungsi uang sebagai a medium of exchange, a standard of value
and a unit of account.
Dengan demikian, sebenarnya para ahli eknomi
berpen-dapat bahwa penciptaan mata uang merupakan peristiwa yang sangat
disignifikan dalam sejarah ekonomi umat manusia. Hal ini berpijak pada landasan kepentingan pengembangan
ekonomi umat manusia. Dalam memfasilitasi tenaga kerja (division of labour), pendirian industri, pemasaran barang dan jasa
dan lain-lain46. Oleh karena itu wajar
kalau uang itu memiliki fungsi dankegunaan yang sama, dan yang terpenting
adalah sebagai alat tukar dan mempunyai daya nilai.
Kembali kepada konsepsi
Al-Ghazali tentang fungsi dan kegunaan uang, jika kita korelasikan (hubungkan)
dan sepadan kan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka, Al-Ghazali
telah terlebih dahulu mengungkapkannya sejak abad pertengahan bahkan mendahului
Gresham’s Law (Hukum Gresham) pada tahun 1558, yang mengatakan; Bad money drives out good. That is bad money will
circulate while good money is hoarded. Artinya,
uang yang nilai bahannya lebih rendah dari pada nilai nominalnya, dan uang yang
nilai instriksinya masih “utuh”, tak berbeda dengan nominalnya47.
Pembahasan beliau tentang uang nampak cukup
kompre hensif, yang dimulai
dari evolusi uang hingga fungsi uang. Beliau menjelaskan bagaimana uang
mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu perdagangan barter. Dibahas juga
berbagai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang. Berikut
kita simak sejumlah pernyataan beliau tentang uang48:
Kemudian disebabkan jual beli muncul
kebutuhan terhadap dua mata uang. Seseorang yang ingin membeli makanan dengan
baju, darimana dia mengetahui ukuran makanan dari nilai baju tersebut. Berapa?
Jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda-beda seperti dijual baju
dengan makanan dan hewan dengan baju. Barang-barang ini tidak sama, maka
diperlukan “hakim yang adil” sebagai penengah antara kedua orang yang ingin
bertransaksi dan berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itu dituntut dari
jenis harta. Kemudian diperlukan jenis harta yang bertahan lama karena
kebutuhan yang terus menerus. Jenis harta yang paling bertahan lama adalah
barang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak, dan logam.
Perdagangan barter mengandung banyak
kelemahan di antaranya (1) kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of
common denominator), (2) barang yang diperdagangkan sulit untuk dibagi-bagi
(indivisibility of goods), (3) keharusan adanya dua keinginan yang sama
antara penjual dan pembeli (double coincidence of wants). Dengan
berbagai keterbatasan barter tersebut di muka, maka
diperlukan suatu alat yang mampu berperan lebih baik dalam transaksi jual beli.
Itulah yang menurutnya mendasari munculnya kebutuhan akan uang di masyarakat.
Dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu
barang, karena transaksi barter hanya terjadi ketika kedua belah pihak
sama-sama mem-butuhkan barang atau
jasa masing-masing.
Uang berfungsi memperlancar pertukaran dan
menetapkan nilai yang wajar dalam pertukaran tersebut. Beliau mengisyaratkan
bahwa uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai harga
komoditas dan jasa. Kemudian uang juga sebagai alat yang berfungsi sebagai
penengah antara kepentingan penjual dan pembeli, yang membantu kelancaran proses
pertukaran komoditas dan jasa. Selain itu diisyaratkan juga bahwa uang sebagai
alat simpanan, karena itu dibuat dari jenis harta yang bertahan lama karena
kebutuhan akan keberlanjutan sehingga benar-benar bersifat cair mudah diuangkan
kembali, dapat di-gunakan pada waktu yang
dibutuhkan, dan cenderung mem-punyai nilai harga yang stabil.
Berbagai permasalahan perdagangan barter
dibahas dengan baik. Meskipun perdagangan barter dapat dilakukan namun sangat
tidak efisien, karena adanya perbedaan karak-teristik barang, baik bentuk, ukuran maupun kualitasnya. Ia
menegaskan bahwa evolusi uang terjadi karena kesepakatan dan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat, yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang
dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi
demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila terdapat ukuran yang sama.
Hal tersebut dapat kita simak dari paparan beliau di bawah ini:
Termasuk nikmat Allah Swt. Diciptakan
dirham dan dinar. Dengan keduanya kehidupan menjadi lurus. Keduanya hanyalah
dua barang tambang yang tidak ada manfaat pada bendanya, tapi makhluk perlu
kepadanya sekiranya setiap manusia membutuhkan banyak barang yang berkaitan
dengan makanan, pakaian, seluruh kebutuhannya. Terkadang dia tidak mempunyai apa
yang tidak ia butuhkan. Seperti orang yang memiliki za’faran misalnya, dan ia
membuuhkan unta untuk tunggangan nya. Dan orang yang memiliki unta dapat saja tidak membutuh-kannya dan membutuhkan za;faran
sehingga terjadi pertukaran antar keduanya. Dan mau tidak mau dibutuhkan suatu
ukuran untuk mengukur pertukaran karena pemilik unta tidak menyerah kan untanya dengan
seluruh ukuran za’faran. Dan tidak ada kesesuaian antara za’faran dan unta
sehingga dapat dikatakan dia menyerahkan misalnya, dalam berat dan bentuk.
Tidak tahu seberapa banyak za’faran yang menyamai seekor unta, sehingga
transaksi mengalami kesulitan.
Barang-barang yang beragam dan sangat
berbeda ini membutuhkan penengah yang bertindak seperti pemutus yang adil
sehingga setiap sesuatu dapat diketahui tingkat dan nilainya. Transaksi barter
seperti ini sangat sulit. Barang-barang seperti ini memerlukan media yang dapat
menentukan nilai tukarnya secara adil. Bila tempat dan kelasnya dapat diketahui
dengan pasti, menjadi mungkin untuk menentukan mana barang yang memiliki nilai
yang sama dan mana yang tidak. Maka Allah ciptakan dinar dan dirham sebagai
hakim penengah di antara seluruh harta sehingga dengan keduanya semua harta
dapat diukur. Sesuatu (seperti uang) dapat dengan pasti dikaitkan dengan sesuatu
yang lain jika sesuatu itu tidak memiliki bentuk atau fitur khususnya
sendiri—contohnya cermin tidak memiliki warna tetapi dapat memantulkan semua
warna.
Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai
hakim penengah di antara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa diukur
dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak
za’faran ini menyamai 100. Keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka
keduanya bernilai sama. Namun, dinar dan dirham itu tidak dibutuhkan
semata-mata karena “logamnya”. Dinar dan Dirham diciptakan untuk dipertukarkan
dan untuk membuat aturan pertukaran yang adil dan untuk membeli barang-barang
yang memiliki kegunaan.
Uang tidak mempunyai harga, namun dapat
merefleksikan harga semua barang atau jasa. Semua barang dan jasa akan dapat
dinilai atau diukur masing-masing dengan uang. Ibarat cermin, semua jenis benda
yang dihadapkan pada sebuah cermin, maka cermin tersebut akan dapat memantulkan
gambar benda yang ada di depannya. Demikian juga dengan uang, semua benda atau
produk yang dihadapkan dengannya akan dapat dinilai berapa masing-masing
harganya. Dengan demi-kian uang dapat
digunakan sebagai satuan unit penilai semua barang dan jasa. Namun, beliau
menekankan bahwa uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Artinya, uang
dibutuhkan masyarakat bukan karena masyarakat menginginkan mempunyai emas dan
perak yang merupakan bahan uang tersebut, tetapi kebutuhan tersebut lebih pada
menggunakan uang sebagi alat tukar. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan
dalam suatu pertukaran. Tujuan utama dari emas dan perak adalah untuk
dipergunakan sebagai uang. Uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Disinilah letak kemandirian
pemikiran dan kejeniusan Al-Ghazali dalam mengungkapkan teori-teori ekonominya,
ter-utama konsepsinya tentan uang (moneter). Meskipun diakui bahwa fungsi uang
tidak hanya dua saja, seperti yang telah tersebut diatas, melainkan banyak
sebagaimana dua fungsi lain nya bahkan mungkin lebih. Sebagaimana kata
Al-Ghazali, “….Pada kedua fungsi itu
juga, banyak fungsi-fungsi lain, niscaya penjabarannya...”49
Jadi, penjelasan Al-Ghazali berkenaan dengan
fungsi uang dan manfaatnya dangat berharga. Bahkan ia mengajukan agar dalam
mempergunakan uang supaya dapat dipergunakan dengan baik dan benar sesuai
dengan ajaran dan prinsip Islam, seperti halnya yang telah diuraikan diatas,
dan dua fungsi yang pertama itulah yang terpenting, yaitu sebagai satuan
hitung/ penengah dan sebagai alat tukar/wasilah.
C.
Jenis-jenis dan Nilai Uang
Dari
uraian tersebut diatas, dalam perjalanan sejarah membawa manusia kepada
mengenal uang, uang menjadi alat penukar. Maka uang diberi harga dan nilai.
Uang merupakan alat penukar yang meringankan beban manusia dan meluaskan
pelaksanaan tuka rmenukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat
dipergunakan oleh umum. Dan uang yang telah dipergunakan selama berabad-abad
itu berasal dari jenis emas dan perak. Sebagaimana kata Sandono Sukirno, bahwa
jenis uang yang sudah lama dipergunakan, dan yang selama kurang lebih dua puluh
lima abad merupakan mata uang yang paling banyak dipergunakan oleh sebagian
negara, adalah mata uang emas dan perak.50
Sejak uang (emas) dipergunakan
manusia, ia dibagi dalam banyak tingkatan hingga tingkatan logam mulia (emas
dan perak); dua barang yang ditipkan Allah swt pada keduanya terdapat kekhasan
(kekhususan) dan keistimewaan alami yang tidak dititpkan pada aneka jenis
tambang lain51. Bagi
Al-Ghazali, emas dan perak yang kemudian menjadi mata uang dinar dan dirham
adalah merupakan suatu nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah swt untuk
kepentingan manusia. Meski-pun keduanya adalah benda mati yang tidak ada
manfaat pada diri keduanya. Akan
tetapi manusia akan dangat memer-lukan pada keduanya, dari segi manusia
membutuhkan barang-barang, makanan, pakaian dan semua kebutuhan-kebutuhan nya.52
Menurut Ali Abdul Walid,
yang dikutip Yusuf Qardhawi dalam bukunya al-Iqtisad
as-Syiyasi, mengatakan bahwa salah satu barang tambang yang mempunyai
keistimewaan dan kemuliaan adalah emas, golden (al Dzahab) dan perak, silver (al-
Fidzah) dibanding dengan jenis-jenis barang tambang lainnya, seperti:
tembaga dan timah. Sejak uang (emas) dipergunakan manusia, ia dibagi kedalam
banyak tingkatan (jenis) hingga jenis logam mulia (emas dan perak): dua barang
yang dititipkan Allah swt keduanya memiliki kekhasan dan keistimewaan alami
yang tidak dimiliki oleh barang tambang lain.
Dalam pernyataan Al-Ghazali
yang sangat menarik dalam kitab Ihya ini
adalah, kegigihannya dalam memberikan pen-jelasan tentang sesuatu menurut apa
adanya dan selalu dikait kan dengan aspek kewahyuan (ke-Tuhanan). Seperti
halnya ketika ia mencoba memberikan uraian secara detail tentang pemanfaatan
sumber daya alam (natural resourch)
yang ke semuanya diperuntukan Allah untuk manusia. Sebagaimana Al-Ghazali
mengatakan:
“Apa yang ada di atas bumi itu dikumpulkan atau
atas tiga macam: Barang-barang, tambang, binatanng dan tumbuh-tumbuhan. Adapun
tumbuh-tumbuhan diperuntukan bagi ma nusia sebagai bahan farmasi (pengobatan),
sementara barang-barang tambang, seperti: tembaga dan timah dapat dipergunakan
untuk peralatan-peralatan, bejana-bejana, se-dangkan barang tambang dapat
dipergunakan untuk pem-buatan uang dari emas dan perak…”53
Dari penjelasan dan gagasan
Al-Ghazali ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, kenapa hanya emas dan perak
saja yang dijadikan sebagai uang? Maka, dia jawab,” karena bahan-bahan tambang
itulah yang dapat tahan lama (lang-geng), serta mempunyai keistimewaan
dibanding dengan barang-barang lainnya. Salah satu keistimewaannya adalah karena
uang adalah dijadikan sebagai alat tukar, alat guna (store of value)”.
Dalam ekonomi meoneter, nilai
dari uang diukur dengan ke mampuannya untuk dapat membeli (ditukarkan dengan)
barang dan jasa (internal value)
serta valuta asing (external value).
Sehingga besarnya nilai uang ditentukan oleh harga barang dan jasa. Maka,
apabila harga barang ini naik – turun maka nilai uang juga akan mengalami naik-turun (naik)54,
begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa uang (baca; komoditi) mempunyai nilai guna (use value) bila dapat memuas-kan kebutuhan manusia dan berdasarkan atas
manfaat dan kelangkaan. Maka, uang mempunyai nilai tukar (exchange value). Karena setiap uang mempunyai nilai guna dan nilai
tukar, maka ia mempunyai daya nilai tukar55.
Dari pada itu, Al-Ghazali
menganggap bahwa dalam me majukan perekonomian masyarakat masih layak untuk
meng gunakan uang berupa jenis logam: emas dan perak.56, sebagai alat untuk tukar menukar dan
transaksi. Sebab keduanya mem punyai nilai atau harga nilai yang sama.
Dengan kata lain, nilai
intrinsik dan nominal yang terdapat pada keduanya masih berharga, dan dapat
menjadi nilai beli. Oleh karena itu dalam
ajaran islam, emas dan perak merupakan salah satu komoditas yang wajib
dizakati, jika telah mencapai satu nisab bagi yang memiliki.
D.
Klasifikasi Uang dan Standar Moneter
Dalam teori moneter, uang dapat diklasifikasikan
atas be-berapa dasar yang berbeda-beda, seperti misalnya:
1. Sifat fisik dan bahan yang dipakai untuk membuat
uang.
2. Yang mengeluarkan atau mengedarkan, yakni
pemerintah, bank sentral, atau bank komersial.
3. Hubungan antara nilai uang sebagai uang dengan
nilai uang sebagai barang57.
Dari ketiga uraian diatas,
marilah kita renungkan suatu pemikiran dari Al-Ghazali, seorang sufi terkemuka
abad per-tengahan tentang bagaimana mata uang itu diciptakan, serta
implikasinya terhadap perkembangan keuangan dan kelem-bagaannya. Pemikirannya
ini dituangkan dalam karyanya yang berjudul “Ihya Ulumudin” terutama ketika ia membahas hikmah dijadikannya
uang. Kita kutip kata-katanya:
“... dicarilah alat-alat yang berasal dari suatu
komoditi yang dapat tahan lama untuk dijadikan sebagai penengah. Maka
dipilihlah komoditi yang berasal dari barang tambang. (logam). Dari sinilah
uang dibuat; dari emas, perak dan timah. Kemudian sampailah kebutuhan akan
percetakan uang, pengukiran dan tempat menentukan nilainya. Maka sampailah pada
kebutuhan akan lembaga percetakan uang dan penukaran uang (exchange of
institution)….”58
Gagasan dan pemikiran
Al-Ghazali tersebut di atas, ter-nyata tidak kalah cerdasnya dengan monoterian
klasik, yaitu Marshall, Irving Fisher dan kawan-kawan, maupun monoterian modern
(keynesian) saat ini. Ia telah begitu sempurna meng-uraikan panjang lebar
mengenai sejarah pembentukan masyarakat ekonomi dari pra-sejarah hingga abad
per-tengahan.
Pelajaran yang berharga dari
konsepsinya itu adalah, kita dapatkan bahwa ia dapat menjelaskan kualitas dari
suatu komoditi dan sifat-sifatnya. Sehingga dengan kualitas dari suatu komoditi
tersebut dapat kita manfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Ia juga tidak
mengabaikan peranan pemerintah serta kelembagaan keuangannya (perbankan, pen)
yang dalam kontek sekarang, lembaga tersebut telah menjadi urat nadi kegiatan
bisnis dalam kancah peraturan ekonomi modern.
Begitu pula uang, emas dan
perak pun diakui sebagai mata uang standar dunia59.
Maka menjadi mudahlah proses tukar menukar dan pergaulan diantara mereka60. Sebagai standar uang, emas dan perak
juga diistilahkan sebagai full bodied
money.
Adapun yang berhak
mengeluarkan full bodied money ini
adalah pemerintah61,
sebagai standar kembar (Bimetalisme).
Ini lah pelajaran berharga dari teori keuangan Al-Ghazali, maka harus diakui
bahwa kita secara ilmiah banyak berhutang budi kepadanya.
E.
Riba dan Pertukaran Mata Uang
1. Riba (Interest)
Uang riba adalah uang yang dihasilkan dengan cara
ribawi (praktik riba).
Praktik-praktik riba dalam agama apapun adalah perbuatan tercela. Sampai
orang-orang yahudi pun mengharam kannya untuk selain dari golongan mereka,
sebagaimana di temukan dalam pernyataan mereka; “Tidaklah berdosa bagi kami terhadap orang-orang Ummi (orang Arab)”.62
Dalam agama Islam, uang dipandang sebagai alat
tukar (unit of exchange), bukan suatu
komoditi (commodity). Diterimanya
uang ini secara meluas dengan melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran dan
pengisapan dalam ekomoni tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba fadl (add Interest)63, yang
dilarang agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan,
karena itu dalam islam, uang sendiri tidak menghasilkan apapun. Dengan
demikian, praktik riba bisa ter-jadi pada uang yang dipinjam dan di pinjamkan64.
Abbas
Mirakhar dalam bbuku “theori
of a financial system”, mengatakan bahwa
uang hanyalah sebagai ‘alat’ atau ‘saran’ kekayaan dan bagaikan ‘cermin’ (mir’ah) yang dapat dibenar kan aturan,
atau dapat memutuskan suatu persoalan dan merupakan refleksi nilai untuk suatu
komoditi …. praktik riba di-larang, sebab, bagaimanapun kegunaan uang dalam
peng-gunaan riba mendatangkan ketidak-syukuran dan ketidak-adilan. Sejak uang
diciptakan, ia tidak dijadikan untuk dirinya, tetapi untuk tujuan lain.65
Praktik serupa yang dilarang adalah menimbun
uang, uang tidak ditimbun tetapi harus berputar diinvestasikan untuk
tujuan-tujuan produktif. Oleh karena itu, menimbun uang emas (kanzun al-dzahab) dan perak (kanzun al-fidladhah) adalah dilarang,
karena akan menimbulkan kelangkaan produktifitas dan melon-jaknya harga (inflasi) serta macetnya roda
perekonomian.
Adapun secara teknis, rinba menurut pandangan
Sayid Qutub, sebagaimana yang dikutip Monzer Khaf (1995;89) adalah riba yang
dimaksud dalam al-qur’an yaitu pembayaran yang diberikan lebih dari pokok
pinjaman. Dengan demikian, riba juga mencakup kelebihan kuantitas (Quantity) dalam pertukaran (exchange) dengan dagangan (komoditas)
atau (real asset by real asset) yang
sama, misalnya 12 pon tepung terigu ditukar dengan 10 pon tepung terigu, tanpa
mempertimbangkan apakah kelebihan itu bisa dibenarkan menurut kualitasnya tau
tidak.
Sebetulnya, praktik-praktik yang ingin dihindari
oleh orang-orang arab pra-Islam (jahiliyah) sebenranya adalah praktik riba yang
bukan hanya pada uang saja, melainkan lebih dari itu. Sebab riba, mempunyai
konotasi yang lebih luas dari sebuah pengembalian yang sudah pasti dari modal
sebagai sebuah faktor produksi. Dalam hal ini yang dikeluarkan sebagai pinjaman
(loan), maka tidak ada yang akan
mengklaim diatas yang melebihi modal.66
Begitu pun Al-Ghazali dalam memandang riba, ia
bukan hanya mengharamkan perbuatan ini, tetapi juga mengajak untuk menghindari
perbuatan tersebut. Menurutnya, berlakulah was- pada
dari iunsur-unsur riba Nasi’ah dan fazhl dalam melakukan transaksi bisnis.67
2. Pertukaran Mata Uang
Tidak dirangukan lagi bahwa pertukaran mata uang,
dayn (exchange of Financial asset) telah terjadi dejak dahulu kala.
Bersamaan dengan transaksi barter, pertukaran mata uang (money exchange) dari emas ke perak, atau sebaliknya dari perak ke
emas. Hal ini sering dipraktikan oleh masyarakat bah kan
sudah mendunia.
Dala meneliti transaksi jual beli (al-bay) dalam bentuk transaksi financial
yang berlangsung dipasar internasional, maka menjadi jelaslah bahwa
kegiatan-kegiatan jual beli (al-bay)
tersebut biasanya terjadi dalam enam hal, yaitu:
Pertama,
pembelian mata uang dengan mata uang yang sama/serupa (dayn bi dayn), misalnya pertukaran uang kertas dinar baru Irak
dengan uang kertas lama.
Kedua, pertukaran mata uang dengan mata uang asing,
misalnya, pertukaran dolar dengan pound
mesir.
Ketiga, pembelian barang dengan menggunakan mata
uang tertentu (ayn bi dayn), serta
pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing, misalnya pembelian pesawat
dengan menggunakan dolar, serta pertukar an dolar dengan dinar irak dalam satu
kesepakatan.
Keempat,
penjualan barang dengan mata uang, misalnya, per-tukaran pesawat dengan dolar
Australia (ayn bi dayn).
Kelima, penjualan promis dengan mata uang tertentu.
Keenam,
penjualan saham (dayn) dalam
perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.68
Dari keenam hal tersebut
diatas, jelas bahwa pertukran dengan mata uang tidak bisa lagi dihindari dalam
percaturan perekonomian, apa lagi kalau sudah go-Internasional. Bahkan zaman
dahulu pun orang-orang suka tukar menukar emas dan perak antar sesama mereka.
Menurut An-Nabbani pertukaran yang terjadi pada penjualan mata uang dengan mata
uang yang serupa, atau penjualan mata uang dengan mata uang asing, adalah salah
satu dari aktivitas sharf, dimana
aktivitas sharf hukumnya mubah,
boleh. Sebab, sharf tersebut
merupakan pertukaran harta dengan harta lain, yang berupa emas dan perak, baik
yang sejenis maupun yang bukan sejenis dengan berat dan ukuran yang sama dan
boleh beda. Praktik sharf tersebut
mungkin terjadi dalam uang sebagaimana yang terjadi dlam pertukaran emas dan
perak. Sebab, sifat emas dan perak bisa berlaku untuk jenis barang tersebut
sebagai sama-sama merupakan mata uang, dan bukannya dianalogikan pada emas dan
perak.69
Menurut Ibnu Rusyid
penjualan dan pertukaran mata uang dengan mata uang (sharf) adalah harus memenuhi persyaratan. Persyaratan yang harus
dipenuhi adalah: a) harus kontan, naqdan
(immediate delivery), b) Satu sama lain tidak boleh melebihkan. Sementara
para ulama sepakat, bahwa penjual emas dan emas, perak dengan perak tidak
diperbolehkan kecuali dengan kontan (Naqdan),
dan sepadan (same quantity). Meskipun
mereka juga membolehkan satu sama lain, akan tetapi tidak boleh menunda, nasi’ah.
Sharf atau
pertukaran harta denga harta lain dalam bentuk emas dan perak yang sejenis dan
saling menyamakan antara emas yang sattu dengan emas yang lain, atau antara perak
yang satu dengan perak yang lain (atau sejenisnya) semisal emas dengan perak,
dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain70. Dalam pandangan Al-Ghazali sharf adalah suatu perbuatan dzolim,
karena hampir mirip dengan perbuatan riba meskipun ia sendiri “membolehkan”,
jika dilakukan dengan cara kontan/cash
(dalam majelis)71.
Karena penjualan dengan
cara sharf berarti menggunakan
transaksi dimana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk memperoleh
emas dan perak. Para ulama fiqh
menurut madzhab Al-Ghazali, telah memakruhakn praktik (sharf) ini, karena hampir perbuatan ini sama dengan riba dan karena
pertukaran itu menurut sifat-sifat khusus agar cepat laku maka sedikit sekali
keuntungan bagi para penukar uang (exchange),
kecuali bagi orang-orang yang ceroboh dalam transaksi bisnis (muammalah). Maka sedikit sekali exchangers (penukar uang) itu selamat,
meskipun ia berhati-hati72. Jadi,
pertukaran dalam satu jenis uang hukumnya boleh, namun syaratnya harus sama
barangnya dan kontan.
Sementara jual beli
sendiri atau yang mencakup pertukaran harta denga harta lain (sharf), baik untuk dimiliki atau
dikuasai adalah boleh. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah swt, “….Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”73.
Begitu juga dengan sabda Rasulullah saw, “ Pembeli
dan penjual boleh memilih, selama mereka belum berpisah”74 (H.R, Hakim bin Hamzah).
Menurut M. Dawam Raharjo,
dalam “ ensiklopedi al-qur’an”,
menjelaskan pengertian ayat tersebut, katanya, ada bebrapa catatan penting
dalam ayat itu, pertama; transaksi
jual-beli (uang) itu tidak sama dengan riba. Kedua; perdagangan diperbolehkan, sedangkan riba itu diharamkan,
dan ketiga; mereka yang telah
mendengar ayat larangan riba segera harus berhenti, tanpa mengembalikan riba
yang telah terlanjur di-lakukan sebelumnya.75
Dengan demikian agar
supaya terhindar praktik riba, sharf
boleh dilakukan asal dengan cara cash
(kontan)76. Menurut Umar Chapra,
“Syarat emas dan perak, wheat dan barly, kurma dan gandum dipertukaran dengan
barang yang sama, transaksi itu harus dilakukan secara langsung, setara dan
serupa”77.
Berkaitan dengan
persoalan diatas, Al-Ghazali cenderung menggunakan istilah “Musamahah” (pengampunan), dan “al-Mu’awadah” (tukar menukar) dalam
memahami permasalahan sharf (exchange) atau pertukaran. Mari kita
simak penjelasan Al-Ghazali:
واما اذا باع
درهاما بدرهم مثلها نسيئة وانما لم يجز ذالك لانه لايقدم علي هذا الامسامح قاصد
الاحسان في القرض وهو مكرمة مندوحة لتبقي صورة المساحة فيكون له حمد واجر
والمعاوضة لاحمد فيها ولااجر فهو ايضا ظلم لانه اضاعة خصوص المسامحة واخراجها في
معرض المعاوضة
Artinya: ”Adapun
transaksi (menjual) uang dirham dengan uang dirham yang sama dalam waktu tempo
(nasi’ah), maka se-sungguhnya yang demikian itu, tidak diperbolehkan. Karena
tidak ada orang yang melakukan perbuatan ini, kecuali orang yang berlapang dada
yang bermaksud berbuat baik pada akad utang piutang dari itulah adalah suatu
kemuliaan, sebagai kebebasan dari padanya. Supaya kekal bentuk ”musamahah”
(pengampunan) maka baginya mendapatkan puji dan pahala. Tetapi jika
“al-Mu’awadah” (tukar menukar barang) maka tidak ada baginya pahala dan
puji. Dan itu juga perbuatan dzalim, karena sesungguhnya ia telah menghilangkan
kehususnya bentuk pengampunan dan ia mencurahkannya dalam bentuk mu’awadah”78
Ada dua istilah yang
dimaksud Al-Ghazali dalam pernyata annya itu,”musamahah”dan “mu’awadah”.
Kedua istilah tersebut, sebetulnya belum dikenal. Tetapi Al-Ghazali sengaja
mem-bedakan kedua kata tersebut, karena al-musamahah
bersifat pinjaman, sedangkan al-mu’awadah
bersifat transaksi tukar menukar barang (yang mirip dengan transaksi barter)
sebagai yang dilarang.
Dalam perspektif fiqh, al-Musamahah, oleh al-Ghazali dikenal sebagai qardh
al-hasan, yaitu transaksi utang piutang yang dalam praktiknya merupakan
sebagai pemenuhan kewajiban moral dan tidak ada balasan keuangan yang diklaim
untuk itu. Menolong orang miskin yang membutuhkan, telah menjadi nilai
keutamaan dalam semua masyarakat beradab diseluruh sejarah manusia79.
Jadi, secara teknis istilah
yang digunakan oleh Al-Ghazali tentang musamahah
dan mu’awadah berbeda satu sama
lain. Musamahah adalah transaksi
utang piutang (cash and credit) yang
dalam pengembaliannya tidak dikenakan bunga atas pinjaman atau disebut Qardhul Hasan (kredit lunak), sedang mu’awadah artinya pertukaran barang satu
sama lain dengan adanya nilai tambah. Dalam ajaran islam transaksi
utang piutang diperbolehkan bahkan dalam al-Qur’an memberikan jalan keluar bagi
para kreditor untuk mencatat transaksi utang piutangnya atas debitor. Hal ini adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan-kenmungkinan yang tidak diharapkan. Bila diilustra sikan posisi al-Qardh al-Hasan, maka model
ini dipakai pada akad tabarru’
(kebajikan) pada lembaga keuangan syariah (LKS), baik perbankan maupun non perbankan.
![]() |
F.
Evaluasi dan Analisis
Sebagaiman
telah kita ketahui, Abu Hamid Al-Ghazali bin Ahmad adalah seorang pemikir
muslim kenamaan abad per-tengahan. Epistemologi berpikirnya telah mengundang
banyak perdebatan, baik dikalangan sufi, maupun filosof bahkan kontro-versinya
terhadap golongan rasionalis (filosof) membawa dirinya dalam posisi
menguntungkan. Karena ia telah menciptakan gagasan kompromis antara tasawauf dan syari’at, sebagai tujuan awalnya sebagai satu kesatuan dalam
sistem.
Disisi lain, kebaikan-kebaikan spiritual sufisme
demikian jelasnya bagi rakyat biasa dan bagi para pemikir, sehingga walaupun
ortodksi dangat kuat dalam masyarakat muslim, tidak ada keinginan untuk
menolaknya. Tujuan awal inilah yang meng-inspirasi seluruh pikirannya.
Konsepsi Al-Ghazali tentang financial (keuangan), jika dianalogikan dengan teori moneter
(modern), tampak adanya kesamaan teori, dimana teori modern mendasarkan moneter
pada standar emas dan peraksebagai mata uang logam. Di samping Near Money yang berlaku saat ini, yaitu
menggunakan uang kertas (wartal), tetapi tetap saja kualitas lebih pada standar
emas dan perak. Dan Al-Ghazali telah melakukan pembahasan lebih dulu, yaitu,
sejak masa abad pertengahan.
Ada hal yang menarik dari konsepsi Al-Ghazali
tentang moneter, lantaran yang membahas adalah seorang sufi klasik yang selama
ini dikenal sebagai anti dunia “Zuhud”,
yaitu pembahasannya yang panjang lebar mengenai hakikat, fungsi, kegunaan dan
mekanisme liquiditas uang. Kedekatan Al-Ghazali dengan penguasa saljuq
menjadikan dirinya banyak mengetahui tentang kebijakan fiskal, dan moneter
derta lainnya untuk mendukung teorinya itu.
Denga ketajaman analisanya ia tahu bahwa emas dan
perak dapat diterima sebagai payment,
alat pembayaran hingga alat pertukaran (exchange)
sekaligus sebagai mata uang yang mempunyai nilai guna (add Value). Intinya, Al-Ghazali menginformasikan bahwa uang tidak
lebih berfungsi sebagai unit of exchange
(alat tukar) dan unit of Accound
(alat hitung) yang telah diterima oleh masyarakat sejak dahulu kala. Adapun
adanya lembaga keuangan merupakan konseksuensi logis yang harus ada, sebagai
lembaga tunggal yang berhak mencetak, mengeluarkan dan menarik uang dari
peredaran.
Jadi, liquiditas dan perputaran uang berasal dari
lembaga tersebut (bank). Dari sini kita dapat gambaran bahwa Al-Ghazali
cenderung kepada monopoli pemerintah dalam hal percatakan mata uang karena akan
terjamin legalitasnya dan akan dapat meminimalisasikan pemalsuan uang. Karena
pada masa Al-Ghazali mata uang yang beredar hanya sebatas kepingan logam yang
berupa emas dan perak. Hal ini dapat mempermudah dalam pemantauannya. Bahkan emas dan perak menjadi satu-satunya alat pertukran
pada saat itu.
Dalam teori moneter modern, emas dan perak
dijadikan sebagai standar moneter, yang keduanya dikenal sebagai bimetalisme (dua logam) yang secara
kualitas telah menjadi full bodied money.
Bagi Al-Ghazali, uang emas dan perak yang direpresentatifkan dengan dinar dan
dirham juga mengandung nilai intrinsik dan
nilai nominalnya. Ini artinya pada diri dirham dan dinar yang full bodied money mengandung ketentuan
nilai harga (use price stabil).
Bahkan dewasa ini, uang dinar dan dirham tidak mengandung implikasi lain,
seperti halnya nilai mata uang asing lainnya, sehingga menjaga kestabilannya.
Relevansi dan signifikansi teori moneter
Al-Ghazali dapat berimplikasi pada perkembangan mata uang yang buka sekedar
mata uang logam, dinar dan dirham. Dimana uang yang difungsikan
sebagai alat tukar dan nilai guna berlanjut hingga sekarang. Meskipun ada
beberapa catatan yang nampaknya perlu digaris bawahi, yaitu:
Pertama, dua
macam fungsi uang yang telah diungkapkan Al-Ghazali bukan berarti fungsi uang
hanya sebatas itu, melainkan dapat menjadikan suatu komoditas (money of commodity) yang dapat dijual
belikan sesuai dengan kriteria yang berlaku dan tidak sama jenisnya, meskipun
hal ini diakui adalah suatu hal yang sulit dilakukan karena terdapat unsur fadzl (riba karena unsur kelebihan). Hal
ini karena tidak bisa dihindari sebab, pertukaran antar uang negara (valas) telah menjadi suatu kebutuhan
ekonomi, inilah yang perlu dilakukan dengan kehati-hatian dengan meninggalkan
unsur spekulasi yang berlebihan.
Keuda,
dengan kewenangan pemerintah menangani masalah otoriter moneter dapat
memberikan jaminan keamanan dan pemalsuan uang yang lebih luas. Oleh karena
itu, percetakan uang diserahkan kepada lembaga swasta namun tetap lisensi dan
otoritas keabsahannya ditentukan oleh negara.
Ketiga,
konsepsi Al-Ghazali tentang moneter (uang) yang lebih bernuansa religius,
spiritualitas yang mewarnai di dalam nya, serta lebih didasarkan kepada
nilai-nilai keagamaan. Hal ini membuktikan bahwa Al-Ghazali adalah seorang
evolusi spiritual, keterlibatannya dalam berbagai persoalan dalam dunia islam,
khususnya masalah keuangan dapat menjadi khazanah dalam memunculkan dan
mensosialisasikan ekonomi yang bernuansa islami, etis dan bermoral.
1 Pada Waktu itu
apa yang disebut uang, terdiri dari barang-barang. Barang itu
bukanlah sembarang barang. Barang tersebut adalah barang yang sangat disukai
oleh masyarakat, mungkin karena kasiatnya, atau karena sebab-sebab lain. Lih. M
Manulang, Ekonomi Moneter, Ghalia Indonesia, 1985., hlm. 9
2 Nopirin, ekonomi
Moneter ,BPFE, Yogyakarta, 1997., hlm. 2
3 Uang menurut Bahasa Arab adalah ‘Maal’, asal katanya berarti
condong yang menyondongkan mereka menarik. Uang sendiri mempunyai daya tarik,
yang terbuat dari logam misalnya; tembaga, perak, emas, dan lain-lain. Lihlm.,
Lubis Ibrahim, Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, 1995., hlm. 473. Juga
lihat, Quraisy Syihab, wawasan al-Qur’an,
Mizan, Bandung,
1997., hlm. 403.
4 Lioyd G. Renold, Economis.
Dikutip dari George Bernard Shaw, “Money Indeed the most important thing in the
world”, 1996., hlm. 627.
5 Umar Chapra, Towards
a Just monetary System, diterbitkan oleh The Islamic Faundation, 1995.,
hlm. 33 – 34.
7 Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE,
Yogyakarta, 1990., hlm 2. Lihat pula Dalam buku Nopirin, Op.cit., hlm 2 - 3
8 Al-Ghazali, Ihya, Jilid 4, hlm. 88
10 Al-Ghazali, Ihya, jilid 4, hlm.89
11 Dikutip dari murasa Sarkaniputra dalam buku Membanggun Masyarakat Madani,
nuansa madani, Jakarta, 1999., hlm. 299
12 Al-Ghazali , Ihya…,Jilid 3, hlm 222
13 Al-Ghazali, Ihya…,Jilid
4, hlm. 88
14 Al-Ghazali, Mizan al-Amal, hlm. 200
15 Al-Ghazali, Ihya…,Jilid 4, hlm. 88
16 T. Gilarso, Pengantar Ekonomi Bagian Makro, Kanisisus, Yogyakarta, 1992., hlm.
226
17 Muhammad Akram Khan, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi, BMI, Jakarta, 1996., hlm.
179
18 Ekonomi barter adalah perdagangan
barang-barang dan jasa ditukar dengan barang-barang dan jasa yang lain,
pertukaran ini menjadi sangat sulit. Lihat
Gary Smith, Money, Banking and Financial
International, Canada,
1991., hlm 32
19 Gilarso, Op.cit.,
hlm. 227
20 Yusuf al-Qardhawi, Fiqhu
al Zakat, hlm. 239 – 240. Juga dalam An-Nuqudz
al-‘Arabiyah wa al Islamiyah wa Ilm al-Nammiyat, al-Ab Insitas al- Kamaliy,
cairo, 1987.,
hlm, 95
21 Marilu Hurt Mc Carty, Introductiry Macroeconomics, America,
1988., hlm. 247
22 Kutipan bebas ini diambil dari Richard A. Ward dalam
buku The Economic and Financial System,
California,
1970., hlm.60. Lihat juga keterangan A.Hongston Quiggin dalam buku A Survey of Primitive Money, London, Inggris, 1949.,
322
23 Buchari Alma, Dasar-dasar dan pemasaran, Alfabeta, Bandung, 1992.,hlm.190
25 Ibid,
hlm. 87
26 Menurut Al-Ghazali , “Demikian halnya
orang yang membeli rumah dengan kain atau budak dengan Khuf (alas kaki/sandal yang terbuat dari kulit), Tepung dibeli
dengan Himar (Hewan seperti kuda). Semua
transaksi tersebut tdaklah sesuai. Maka sangatlah sulit untuk menyamakan za’faron (minyak za’faron) dengan onta, maka terasalah mustahil perdagangan
(mua’malah) semacam itu…..”, Ihya, Jilid
4, hlm. 88
27 Gilarso, Op.cit., hlm. 227
28 Lihat keterangan lebih lengkap dalam
Al-Ghazali, Ihya….,hlm. 88
29 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Ekonomi, Bina Grafika, Tanpa Tahun, hlm. 226
30 Gary Smith, Banking…,Op.cit.,
hlm. 34
31 M.A. Mannan, Ekonomi Islam…,Intermasa, Yogyakarta, 1992., hlm.290
32 Al-Ghazali, Ihya…Jilid 3, hlm. 222
34 Al-Ghazali, Ihya….,Jilid 4, hlm. 88
35 Gary Smith,Op.cit.,
hlm. 35
36 Al-Ghazali, Ihya….,Jilid 3, hlm. 222
37 Al-Ghazali, Ihya…, hlm. 89
38 Lihat tulisan Murasa Sarkaniputra dalam
Firdaus Effendi (Ed), Membangun
Masyarakat Madani, Jakarta, 1999., hlm. 229
39 Dikutip dari Napiron, Op.cit., hlm. 69
40 Al-Ghazali, Ihya….,hlm. 222, Jilid 3
41 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 88, Jilid 4
42 Al-Ghazali, Ihya…., hlm. 89, jilid 4
43 Al-Ghazali, Ihya…, hlm. 89, Jilid 4
44 Sebagai alat tukar, yang seperti
disinggung diatas, peranan uang sangat menentukan kegiatan ekonomi. Lih.
Budiono, Ekonomi Moneter, BPFE,
Yogyakarta, 1992., hlm. 10. Lebih lengkap dapat dilihat dalam buku karya Tom
Riddel Shachelford dan Stevestamos, Economics
: A Tool for Understanding, Amerika, 1982, hlm. 295-296
45 dikutip dari A.A Islahi, Konsepsi Ibnu Tainiyah tentang Ekonomi, Terj.,
hlm 139
46 Ibid.
47 Gary Smith, Op.cit.,
hlm. 38
48 Dikutip dari tulisan Moh.
Khoiruddin dalam tulisan berjudul “Studi Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah Tentang Uang”.
49 Al-Ghazali,
Ihya….,hlm. 88.
50 Karena emas dan perak mempunyai ciri-ciri
yang diperlukan untuk menjadi uang yang baik. Sifat-sifat yang menyebebkan
kedua jenis logam tersebut sangat sesuai untuk digunakan sebagai uang adalah:
1)
Banyak orang menyukai benda tersebut
karena dapat digunakan sebagai perhiasan.
2)
Emas dan perak mempunyai mutu yang sama.
3)
Kedua-keduanya tidak mudah rusak, tetapi
dapat dengan mudah dibagi-bagi apabila diperlukan.
4)
Jumlahnya sangat terbatas dan untuk
memperolehnya perlu biaya dan usaha.
5)
Kedua-keduanya barang itu sangat stabil
nilainya karena keduanya tidak berubah mutunya dari masa ke masa dan tidak
mengalami kerusakan. Ibrahim, Op.cit.,hlm
227
52 Al-Ghazali, Ihya…..,hlm.
88
53 Al-Ghazali, Ihya….,hlm. 219. Jilid 3
54 Nopirin, Op.cit….,hlm. 4
55 Murasa Sarkaniputra dalam Firdous, Op.cit…,hlm.29
56 Istilah emas (Golden),
dalam bahasa arab disebut Dzahab dan
dikatakan tibrun, bila belum ditempa
atau dijadikan perhiasan. Mufrad (tunggal)-nya
adalah Dzahabatun. Ia tergolong logam
mulia, ada yang merah ada pula yang kuning. Diwajibkan zakat atasnya apabila
telah mencapai satu nisab. Sedangkan istilah perak (silver), dalam bahasa arab disebut fidldlah, riqqah, wariq.
Ia tergolong logam mulia putih yang biasa dibuat dirham sebagaimana emas yang
dibuat sebagian dinar. Ia dijadikan perhiasan bagi kaum wanita sebagaimana
halnya emas. Disamping itu juga dibuat wadah untuk makanan dan minuman. Namun
bagi seorang muslim diharamkan makanan atau minuman dari wadah tersebut.
Dikutip dari al-Imam Abu Bakar Jabir al-Jazairy, al-Jumal fi zakatik Umal, Dar al-Hilal Riyadh, Saudi Arabia, 1991.,
hlm. 59-60
57 Lihat Nopirin, Op.cit., hlm. 4-5
58 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 222
59 Islam tidak menyerahkan kepada masyarakat
untuk menyatakan pekiraannya terhadap standar kegunaan barang atau tenaga
dengan satuan-satuan uang yang tetap, atau yang berubah dan bisa ditukar-tukar
sesuka hatinya. Namun islam telah menentukan satu-satuan yang bisa dinyatakan
oleh masyarakat untuk mem perkirakan nilai-nilai barang dan tenaga tersebut
dengan ketentuan yang baku yaitu dengan satuan-satuan uang tertentu.
60 Keterangan lebih lengkap lihat Ali Abdul Wahid, al-Iqtishad as-Syiyasi, hlm. 140-144. Cet. V. dan dalam tulisan Abdul Aziz Mar’I, an-Nuzhum an-Naqdiyah wal mashriyah.
Lihat pula dalam karya Yusuf al-Qardhawi, Fiqhuz
zakat, Cairo, hlm. 239
61 Lihat keterangan secara lengkap dalam
Nopirin, Op.cit., hlm. 5
62 Lihat al-Qur’an, surat Ali Imron, (3:75)
63 Untuk keterangan lebih lanjut tenang riba
fadhl dan Nasa’I, lebih lanjut akan
dibahas tersendiri pada bab IV, khususnya dalam kegiatan ekonomi yang dilarang.
64 M.A. Mannan,
Op.cit., hlm. 162
65 al-Qur’an, surat an-Naba, ayat 11
66 Untuk keterangan lebih lengkap lihat
Baqir al-Hasmi, essay on Iqtishad,
USA, 1999., hlm. 169
67 al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 275.
68 al-Ghazali,Ihya…., hlm.80, jilid 2
69 Taqyudin an-Nabhani, Ekonomi Islam
Sebuah ALternatif, op.cit. Ppustaka
Progresif, Suarabaya, hlm., 289
70 Taqyudsin, ibid
72 Al-ghazali, Ihya…., hlm 90. Jilid 4
78 Umar
Chapra, Toward A Just…..op.cit., hlm.29
79 Al-Ghazali, Ihya…..hlm.
90


Komentar
Posting Komentar