Konsep Ekonomi al-Ghazali



Oleh,
Dr. Abdul Aziz, M.Ag

Tidak diragukan lagi bahwa Islam menganjurkan kepada penganutnya (umat) untuk giat bekerja, mencari anugrah (Fadhilah) dan rizki Allah swt, dimuka bumi. Dia telah menye-diakan karunia-Nya untuk manusia agar mereka mengguna kannya untuk kepentingan hidup. Oleh karena itu, kekayaan hanya dapat diperoleh dengan cara yang halal, sedangkan cara-cara yang haram harus ditinggalkan sama sekali. Sebagai-mana difirmankan Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah memakan harta benda sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu.” Sedangkan cara-cara yang batil tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw dan para ulama didalam kitab-kitab hukum mereka.
Dari pada itu, Al-Ghazali dalam pendahuluan Kitab Adabul kasbi wa al-Ma’asyi yang tersebut dalam Ihya, Al-Ghazali membagi tipe manusia berbisnis menjadi tiga golongan, yaitu; a) orang yang sangat sibuk dengan urusan dunia semata, b) orang sibuk dengan akhirat semata, dan c) orang yang sibuk didunia untuk kehidupannya diakhirat kelak. Sebagaimana dapat diilustrasikan sebagai berikut:


 





Dari ketiga kelompok ini, kelompok yang ideal adalah kelompok yang ketiga. Sebab dia mengakui bahwa urusan dunia adalah urusan akhirat juga, al-dunia mazra’atul akhirah. Untuk itu, Al-Ghazali memberikan tawaran dalam kegiatan ekonomi (baca; mencari penghidupan dunia) sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

A.    Landasan Kegiatan Ekonomi
Sudah menjadi tradisi kalangan para ulama dan para pemikir (intelektual) Islam bahwa ketika mereka berusaha untuk memecahkan persoalan atau problematika yang mereka hadapi, baik masalah teologi (keagamaan), kemasyaraktan (hukum), etika dan sebagainya sejak dulu hingga sekarang mereka selalu merujuk dan kembali kepada keyakinan mereka terhadap sum-ber utamanya, yaitu; al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua sumber inilah yang membawa mereka menjadi tokoh-tokoh besar, sekaligus karena merupakan kewajiban yang diperintah oleh agama untuk bersandar kepada keduanya. Karena keontetikan dan keorisinilannya telah terjamin sepanjang masa.
Dari pada itu, seorang tokoh terkemuka seperti Al-Ghazali, ketika menuangkan ide dan gagasan serta pemikirannya yang termuat dalam kitab-kitab karyanya, baik yang kecil maupun besar (ensiklopedis) selalu bertumpu pada kedua sumber Islam tersebut. Bahkan dalam struktur pembahasannya, kedua sumber tersebut sering kali jadi rujukan utama dan sandaran. Juga ciri lain dari kitab-kitab karangannya, semua aspek dan ide pemikirannya mengikuti pendekatan kegamaan (religuitas). Yang secara khusus bertumpu pada segi etika (akhlak-tasawuf atau tasawuf ‘amali).
Khusus tentang model aktivitas kegiatan ekonomi, yang dituangkan Al-Ghazali lewat berbagai buku karangannya, terutama dalam kitab Ihya Ulumudin, yang sementara kitab orang tersebut sebagai rujukannya dalam dunia “sufi” banyak berorientasi pada fiqh muamalah. Kegiatan ekonomi yang tertuang dalam kitabnya itu, ia bahas dalam kemasan wahyu hingga terlihat konsepsinya itu lebih bersifat anjuran dan ajakan, bahkan bimbingan bukan teknis semata. Artinya, ide dan gagasan kegiatan ekonomi yang dituangkan al-Ghazali dalam bahasan fiqh, hanya sebagai bimbingan bagi para pelaku bisnis, meskipun kita kenal bahwa al-Ghazali bukan seorang pebisnis.
Hal ini dapat dilihat pada pembahasan khusus tentang Adab al-Kasbi wa al Ma’asy yang termuat dalam kitab Ihya, Al-Ghazali dengan yakin mengatakan bahwa bagi para peng-usaha dan para pedagang serta para ekonom (baca; Muamil) berkewajiban untuk mengetahui ilmu ekonomi karena mengetahui  ilmu (mencari ilmu) itu wajib1. Ini sebuah anjuran atau ajakan al-Ghazali bagi para pengusaha maupun para petani pada waktu itu, sebagaimana diketahui bahwa waktu itu, seting masyarakat nya lebih dominan pedagang (merkantilis) maupun agribisnis (pertanian).
Oleh karena itu, dengan dukungan bukti-bukti al-Qur’an dan al Hadits, Al-Ghazali secara khusus dalam kitab tersebut menguraikan panjang lebar tentang ajakan aktivitas kegiatan ekonomi dengan jalan memotivasi agar berbuat baik dalam berbisnis dengan cara yang disyariatkan agama. Ia juga men-coba meyakinkan bahwa mencari rizky adalah perintah agama, dan itu merupakan salah satu dari rasa mensyukuri nikmat Allah swt. Jika dilakukan dengan cara yang benar2.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan argumen tasi-argumentasi yang digunakan Al-Ghazali beserta dalil-dalilnya berkenaan dengan kegiatan ekonomi. Sebab, Al-Ghazali sering mengutip dan mempergunakan argumentasi (dalil-dalil) dalam menguatkan ide dan gagasannya itu, sebagai mana cara yang dilakukan oleh para ulama salaf dengan mengikuti tiga sumber; al-Qur’an dan al Hadits dan Atsar Sahabat.
Sumber pertama, memakai dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an yang berkenaan dengan anjuran mencari karunia Allah swt, yaitu antara lain3.
Pertama, siang adalah saat yang tepat untuk mencari anugrah (fadhilah). Allah swt berfirman:

 
Artinya: “Dan lkami jadikanlah siang untuk mencari penghidupan”4.
Kedua, Tuhanmu menjadikan siang itu sebagai nikmat dan Dia menuntut kesyukuran atas-Nya. Sebagaimana Allah swt berfirman;


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian dimuka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”,5
Ketiga, tidak ada dosa dalam mencari rizki. Allah swt berfirman;



Artinya: “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…..”6
Keempat, dimuka bumi adalah tempat untuk mecari rizki (fadhilah) Allah swt berfirman, yaitu:











“…dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mancari sebagian karunia Allah….”7
Kelima, dianjurkan untuk berkelana dan bertebaran dibumi dalam mencari fadilah Allah swt. Hal ini tersebut dalam firman Allah SWT:


Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka berterbar-lah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah…8
Ayat-ayat tersebut di atas merupakan kutipan-kutipan dari al-Qur’an, yang oleh Al-Ghazali diambil untuk menjelaskan bahwa berusaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup (Kasbu al-Rizki) adalah perintah agama, dan sesuai dengan perintah Tuhan. Perintah tersebut dimaksudkan agar memperoleh atau melakukan ibadah secara sempurna serta mengeluarkan tangan, kita diperintahkan oleh Allah swt untuk mencari peng-hidupan (Ma’isyah), bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya tetapi al-Qur’an memerintahkan untuk mencari mulai dari per-ekonomian barter sampai uang logam yang menggunakan emas dan perak9 secara evolusi. Apa yang diistilahkan al-Qur’an fadl Allah swt yakni kelebihan yang bersumber dari Allah swt.10
Sumber kedua, berdasarkan kaidah-kaidah yang berasal dari hadits nabi Rasulullah saw antara lain:
1.    Hadits yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda:
لان ياخذ احدكم حبله فيحتطب علي ظهره خير من ان ياتي رجلا اعطاه الله من فضله فساله اعطاه او منعه
“Sungguh salah seorang diantara kamu mengambil talinya lalu ia mencari kayu dipungungnya adalah lebih baik dari pada ia datang kepada seorang yang diberi Allah swt rizki lalu ia minta kepada-Nya diberi atau tidak11.
2.    Rasulullah saw suatu ketika ditanya, wahai Rasulullah peker- jaan apa yang terbaik, maka jawabannya:
قال يارسول الله اي الكسب افضل ؟ قال عمل الرجل بيده وبيع مبرور (رواه احمد)
Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseoarang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang baik.12 (HR. Ahmad)
3.    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari rifa’I bin Khodij. Rasulullah saw bersabda:
احل مااكل الرجل من كسبه وكل بيع مبرور
“Sehalal-halal apa yang dimakan oleh seorang laki-laki dari usahanya dan setiap jual beli yang baik13.
4.    Pada suatu hari, Nabi saw duduk-duduk bersama para sahabatnya, mereka melihat seorang pemuda yang mem-punyai kekuatan diaman ia pagi-pagi sekali ia bekerja, maka mereka para sahabat berkata, “sayang pemuda ini, seandainya tenaga dan kekuatannya untuk dijalan Allah” maka kata Rasul:
لاتقولوا هذه فانه كان يسعي علي نفسه ليكفها عن المسالة ويغنيها عن الناس فهو سبيل الله وان كان سعي علي ابوين ضعيفين اوذرية ضعاف ليغنيهم ويكفيهم فهو في سبيل الله وان كان يسعي تفاخرا وتكاثرا فهو في سبيل الشيطان
"Janganlah kamu berkata begitu, karena jika ia berusaha untuk dirinya agar tidak meminta-minta, maka ia dijawab Allah swt. Dan jika ia bekerja untuk kedua orang tuanya yang lemah atau keturunan yang lemah, agar mereka berkecukupan maka ia juga berada dijalan Allah swt, dan jika ia bekerja berbangga-bangga diri maka ia berada dijalan syaitan14.
Pada intinya hadits-hadits tersebut menguatkan keterangan dan argumentasi diatas, yaitu anjuran untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dari pada harus me-minta-minta lebih baik menjadi buruh kasar sekalipun. Semangat hadits ini perlu dipahami dan dimengerti oleh setiap muslim, sebab pekerjaan sekecil apapun apabila datang atas usahanya sendiri itu lebih baik.
Al-Ghazali menggunakan dalil-dalil baik berupa al-Qur’an, maupun hadits-hadits adalah untuk dijadikan kaidah-kaidah umum dalam kegiatan perekonomian. Ia yakin bahwa orang-orang yang mau bekerja keras demi kehormatan, harta, jiwa dan agama akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik (hayyat thoyyibah) dan memperoleh kesejahteraan (falah) didunia dan akhirat kelak.
Sumber ketiga, Al-Ghazali mendasarkan argumentasinya itu dengan penjelasan dari atsar para sahabat, antara lain15.
Pertama, yang berasal dari Umar, “Sekali kali janganlah seorang diantara kamu hanya duduk saja dan tidak suka berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa: Ya Allah berilah hamba rizki tidakkah kamu semua mengetahui bahwa langit itu tidak akan menurunkan hujanberupa emas dan perak.”
Kedua, yang bersumber dari riwayat Ibnu Mas’ud, “Sesung-guhnya saya benci melihat laki-laki itu menganggur tidak pada urusan dunianya dan tidak pula dalam pada urusan akhiratnya.16.
Ketiga, yang bersumber dari Mu’az bin Jabal ra. Berkata : Pemanggil pada hari kiamat berkata, ‘ Dimanakah orang-orang yang dimurkai oleh Allah swt ketika hidup di dunia, ’maka berdirilah para peminta-minta dimasjid-masjid17.
Keempat, dikabarkan kepada salman al-Farizi, “ berilah kami akan wasiat…!maka, ia berkata,” Barang siapa yang mampu dari kamu sekalian untuk mati dalam keadaan haji atau perang atau memakmurkan masjid Tuhan-Mu maka hendaklah lakukan. Dan janganlah ia meninggal sebagai penghianat.18
Dari ketiga sumber yang dijadikan dalil-dalil oleh Al-Ghazali, yaitu al-Qur’an, Hadits serta atsar  para sahabat yang mana ketiganya telah diakui oleh umat islam sebagai sumber-sumber rujukan dan inspirasi dalam membuat dalam membuat keputusan. Meskipun kita mengakui bahwa Al-Ghazali sering kali menggunakan dalil-dalil dari sanad yang tidak diketahui asal nya atau dhaif (lemah) kedudukannya (hadits maudu’) namun, dia juga menjelaskan kedudukan hadits tersebut secara jujur pula hingga kita dapat memilah-milah dan memilih mana yang harus diambil sebagai hadits yang shahih atau tidak.
Akan tetapi dari sumber-sumber yang diambil Al-Ghazali, kita dapatkan beberapa pokok penting yang berkaitan dengan sebuah hadits. Misalnya, berdagang itu kata Al-Ghazali, tidak lah lebih utama secara mutlak, tetapi berdagang ada kalanya untuk hanya sekedar mencukupi kebutuhan atau memper kaya. Jika diniatkan untuk kaya, bukan untuk dipergunakan kepada kebaikan sekedah (infaq) maka itu tercela, ia hanya mengharap dunia yang dicintainya pada itu adalah pangkal dari kesesatan apabila berdagang itu diniatkan untuk mencukupi dirinya dan keluarganya dan anak-anaknya, maka itu lebih utama19.
Inilah pelajaran berharga dari ulama sufi yang amat ter-kenal, ide dan gagasannya dapat dijadikan pijakan dalam mem bangun entrepreneurship (pengusaha) yang jujur, bijak dan baik serta analisisnya dapat dijadikan teori ekonomi yang “yang ver-keadilan. Meskipun demikian tidak semua orang harus “be-kerja”… dan “berusaha” secara keras. Hal ini kata didasarkan atas beberapa alasan, kata Al-Ghazali yaitu diantaranya adalah:
1.    Orang yang beribadah dengan ibadah badan.
2.    Orang yang sedang melakukan perjalanan batin (riyadloh) dan amalan hati.
3.    Orang yang disibukan dengan ilmu pengetahuan seperti ahli tafsir, ahli hadits dan ahli hokum (Mufti).
4.    Orang yang disibukkan dengan kemashlahatan-kemashlahat an umat sedang urusan mereka telah terjamin, misalnya para imam (pemimpin), hakim dan saksi20.
Keempat kelompok ini, sebaiknya tidak diperkenankan melakukan bisnis. Disebabkan karena akan mengganggu konsen trasi pada tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, keempat kelompok ini sebaiknya mendapatkan gaji (penghasilan) dari pemerintah.
B.      Lima Aspek dalam Kegiatan Ekonomi
Secara Harfiyah (etimologis), kata-kata “Amal” dan “Kasb” dalam ekonomi islam merupakan bentuk lain dari istilah usaha dalam peningkatan mencari rizki. Dengan perkataan lain, ke-giatan kegiatan ekonomi adalah identik dengan amal (bekerja) dan kasb (mencari). Jadi, beramal artinya adalah setiap usaha manusia yang bersiifat badaniyah (konkret) dan rohaniyah (abstrak) untuk memenuhi kebutuhan materi atau yang ber-manfaat.21
Kerja dan usaha adalah sebagian dari tuntunan kehidupan jasmani dan rohani manusia. Melalui kerja dan usaha manusia boleh dan mampu memenuhi tuntunan jasmani dan rohani. Islam menegaskan untuk bekerja dan berusaha. Semua manusia mampu dan boleh melakukan kerja dan usaha semasa mereka hidup didunia ini. Tiada seorang manusia yang tidak dapat melakukan kerja atau usaha sepanjang hidupnya didunia ini22. Sebab, hidup bukan hanya mencari makan, tetapi juga manusia tidak bisa hidup tanpa bekerja (makan)23.
Dalam konteks manusia perlu memenuhi kebutuhan-kebutuh an jasmani, manusia boleh didefinisikan sebagai “manusia ekonomi” (homo-economics). Menurut Ismail Razi al-Faruqi, manusia demikian adalah “Is man definable in terms of his economics persuits?” (apakah manusia boleh didefinisikan dari segi usaha-usaha ekonomi?). kemudian kata Al-Faruqi, “Man is indeed homo economicus not in Max Weber’s sense of man’s subjection to sovereign economic law which dominate his activity….Man is homo economicus in the sense that the economics pattern to the subjects his life definitive of his nature, of this idea of himself”24. Manusia adalah pekerja dan pengusaha sepanjang hidup mereka didunia ini walaupun jenis dan bentuk pekerjaan yang mereka kerjakan dan usahakan berbeda-beda25.
Dalam buku “Islam dan Kesenian”, Sidi Gazalba mencoba menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin hidup atau tidak ada tingkat organik, tumbuhan dan hewan, untuk memungkinkan manusia untuk hidup, Allah swt menciptakan segala sesuatu yang ada dialam ini hanyalah manusia, (Q.S. 2;29). Oleh karena itu, manusia pantas untuk melakukan pekerjaan; para petani sibuk dengan pertaniannya, pedagang sibuk dengan dagangannya, dokter sibuk dengan pasiennya, semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Oleh sebab itu, islam mengajak para pemeluknya untuk berproduksi dan menekuni aktivitasnya ekonomi dalam segala bentuknya, seperti; pertanian (muzaro’ah), peternakan, perburu-an, industry (al-sina’ah), perdagangan (tijarah) dan bekerja dalam berbagai bidang keahlian. Jadi, Islam mendorong setiap amal perbuatan yang menghasilkan benda atau pelayanan yang bermanfaat bagi manusia, atau yang memperindah ke-hidupan mereka dan menjadikannya lebih makmur dan sejah tera26.
Sebab, manusia hidup mempunyai kebutuhan akan makan, minum, sandang, papan, sebagai kebutuhan jasmani. Begitu pula kebutuhan rohani. Menurut Al-Ghazali, manusia hidup di dunia ini mempunyai sejumlah kebutuhan yang bermacam-macam, yaitu sebagai berikut:
1.    Kebutuhan pokok-primer (dharuri), seperti: kebutuhan makan an, minuman, pakaian, dan tempat tinggal,
2.    Kebutuahan sekunder (haaiji), seperti: keperluan terhadap kendaraan, pesawat, rafio dan sebagainya,
3.    Kebutuhan mewah-tersier/lux (Tahsini), seperti manusia me-miliki perabot-perabot lux, kedaraan mewah dan lain-lain27.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan cara bekerja. Islam menganjurjkan kepada para pemeluknya untuk memilih pekerjaan dan karier yang sesuai dengan bakat dan keahliannya. Status sosial dan previlese kelas tidak berlaku dalam Islam. Kriteria kerja satu-satunya hanyalah kemampuan dan keahlian. Dengan demikian, Islam meletakan dasar-dasar yang kuat dan kebebasan dalam berusaha. Hanya saja, untuk menghindari gejala-gejala kejahatan, Islam meletakan batasan-batasan. Tujuan itu dinyatakan dalam al-Qur’an dengan ungkap an bahwa kekayaan merupakan ibadah28.
Agama Islam yang bersumber pada wahyu Illahi dan Shunnah Rasul mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapatkan kehidupan yang baik didunia dan sekaligus mem-peroleh kehidupan yang baik di akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik didunia dan di akhirat inilah yang dapat menjamin tercapainya kesejahteraan lahir batin (al-falah). Dengan demikian, kesejahteraan yang hendak dicapai itu adalah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah swt. “sebagian diantara mereka yang berdoa. “Ya Tuhan berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan diakhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka”.29
Kembali kepada konsepsi, Al-Ghazali tentang kegiatan ekonomi. Menurutnya, kegiatan ekonomi tidak lepas dari kegiatan mencari kebutuhan hidup (al-Ma’isyah),. Adapun kebutuahan yang ia maksudkan itu mencakup tiga hal; makanan pokok, tempat tinggal dan pakaian. Maka, kebutuhan pokok itu tercakup dalam lima usaha, yaitu; pokok usaha, permulaan kesibukan duniawi, yaitu; pertanian, peternakan, perburuan, per-ajutan dan pembangunan rumah30.
Dengan kata lain, Al-Ghazali, menekankan bahwa jika kita ingin memperoleh harta itu dinilai sebagai ladang untuk akhirat (mazra’atul akhirah), maka harus memperhatikan beberapa syarat dan tingkatan yang harus dipenuhi adalah:
Tugas pertama; mengetahui tingkatan harta, dalam hal ini Al-Ghazali menguraikan harta tersebut, dimulai dari a) roh, b) badan, c) urusan luar31.
Dari ketiga unsur tersebut, kata Al-Ghazali, urusan luar dianggap yang paling rendah derajatnya, dan harta itulah yang ia maksudkan sebagai simpanan luar. Menurutnya, badan adalah pelayan roh, jadi ia adalah alat. Sedangkan unsure lain, yaitu makanan dan minuman adalah melayani badan. Sementara uang dirham dan dinar adalah melayani pakaian dan makanan32.
Bagi Al-Ghazali, tingkatan luar adalah hina dan rendah. Ia memandang bahwa sufi adalah jalan terakhir yang diperoleh nya, ia menekankan pada aspek hakikat dari pada aspek rasional. Sebagaimana kata Richard Ettinghausen, yang dikutip M. Abdul Jabbar33, perhatian Al-Ghazali tertuju pada hakikat alam rohani, sedang yang berkaitan dengan materi pada umumnya hanya disinggung sejauh hal itu penting bagi tubuh, kendaraan jiwa pada perjalannya menuju dunia akhirat. Ia mengajak dan mengingatkan pada kita untuk mengambil sekedar kebutuhan yang dapat menyampaikan kepada tujuan. Maka dengan penjelasan ini, tidaklah heran jika Al-Ghazali seakan-akan mengabaikan yang bersifat keduniaan.
Sebagaimana Allah swt berfirman:


Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”34
Ayat ini menjelaskan bahwa harta itu dipandang dari segi manfaatnya sebagai sarana amal akhirat adalah terpuji, dan dari segi bahayanya sebagai hal yang mengganggu amal akhirat adalah tercela35. Dengan kata lain, aktivitas bisnis, harta dan kekayaan tidak boleh menjadi tujuan utam, karena sering kali banyak orang yang terjebak dalam gemerlapnya kekayaan dunia (hub al-dunia):


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman: janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah swt’. Barang siapa yang berbuat demikian maka itulah orang-orang yang merugi”36.
Tugas kedua, dituntut untuk memperhatikan segi pemasukan-pendapatan (income) dan segi pengeluaran (output). Pada tingkat kedua hal ini, Al-Ghazali memulainya dari; a) hasil usaha, dan b) dari keuntungan tanpa usaha37. Pemasukan atau pen-dapatan dari keuntungan tanpa usaha itu merupakan hasil yang diperoleh sebab warisan, atau sebab adanya suatu simpanan yang mendadak diketemukan atau pemberian tanpa meminta-minta38. Adapun pemasukan dari usaha maka segi-seginya adalah akan dijelaskan pembahasannya nanti. Oleh karena itu, penekanan Al-Ghazali terhadap pemasukan yang didapat dari usaha sendiri harus bersih lagi halal (halal dan Tayyib), tidak boleh tercampur oleh barang-barang lain yang subhat (harta yang perolehannya tidak jelas) apalagi haram (harta yang perolehannya dengan cara batil, tidak baik).
Namun demikian, apabila mencari kebutuhan hidup dengan cara halal susah, maka boleh memakan harta haram, akan tetapi dengan catatan sangat mendesak kebutuhan itu. Bagi Al-Ghazali, perbuatan seperti itu tidak termasuk kategori perbuat an tercela, melainkan dima’a’kan. Dalam tulisannya, ia meng-atakan:
“Apabila yang halal murni tidak didapat, maka bolehlah Ia mengambil secukupnya; dan bila ia telah dapat menemukan yang halal murni setelah bekerja keras dan memakan waktu yang cukup lama yang menghasilkan energy banyak; maka bila bila ia tergolong ke dalam para hamba yang pengusaha dengan tenaga dan keyakinan agamanya masih kuat, maka baiklah ia tetap giat mencari yang halal, karena usaha dan bisnis yang dirasakannya adalah ibadah…”39.
Tugas ketiga, hendaknya mengambil harta untuk keperluan sesuai dengan kebutuhannya. Adapun kebutuhan pokok, menurut Al-Ghazali adalah; pakaian, makanan dan tempat tinggal40.
Makanan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan pokok (Basic Need). Tiga unsur ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak yang segera harus dipenuhi. Makanan berguna bagi tubuh dan dapat mengganti sel-sel yang rusak yang telah lemah akibat telah digunakan untuk berusaha begitu juga makanan dapat menambah badan jadi sehat.
Dalam al-Qur’an, kecukupan pangan – setelah memenuhi kebutuhan pokok tersebut – serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajiban beribadah kepada Allah SWT41. Jadi, kebutuhan makananpun jika tidak diusahakan tidak bisa diperoleh, meskipun ia banyak tersebar didarat dan dilaut42. Oleh karena itu, untuk memperoleh bahan makanan harus bekerja dan berusaha. Sementara Al-Ghazali, sebagai seorang spiritualis sufistik, tidak sembarang makanan, melainkan makanan yang dapat menghantarkannya khusu’ dalam ibadah. Ia membagi makanan itu menjadi beberapa tingkatan:
1.    Tingkatan rendah, yaitu makanan yang dibutuhkan atau di-gunakan sekedar mencukupi kebutuhan hidup, menguatkan badan dan untuk membantu agar kuat melakukan ibadah.
2.    Tingkatan sedang, yaitu makanan secukupnya. Yaitu makanan sebatas sepertiga isi perut, tanpa menambah dan meng-urangi.
3.    Tingkatan tinggi, yaitu makanan yang hanya untuk meng-ganjal perut yang lapar, dan ini hanya dilakukan orang-orang yang zuhud43.
Demikian juga tentang pakaian, Al-Ghazali memahami pakaian tidak sekedar yang dipakai, tetapi pakaian yang bermanfaat. Dalam hal ini, ia membagi tingkatan pakaian se-bagai berikut: pertama, tingkatan rendah, yaitu sekedar untuk menutup aurat atau anggota yang biasanya ditutup dengan pakaian, tingkatan ini berupa pakaian yang macamnya paling rendah dan paling kasar mulutnya. Bila disbanding dengan waktu maka merupakan pakaian yang hanya tahan sehari saja. Kedua, tingkatan yang sedang, yaitu pakaian yang sesuai dengan keadaan orang yang memakainya tanpa memilih yang bagus dan mewah, juga pakaian yang mahal. Dan ketiga, tingkatan tinggi, yaitu mengumpulkan aneka macam pakaian dan mengusahakan kemewahan44.
Sementara kebutuhan akan tempat tinggal, menurut Al-Ghazali, ada tiga tingkatan sebagaimana tersebut diatas. Tempat tinggal yang tingkatannya paling rendah adalah tanah untuk bangunan pondok atau masjid. Artinya, bangunan untuk tempat tinggal kepentingan umum bagaimana pun bentuknya. Sedangkan tempat tinggal yang pertengahan yaitu, tanah bangunan sebagai hak milik pribadi yang cukup untuk keluarga. Adapun tempat tinggal yang tinggi adalah rumah yang luas, bangunannya dihias, teman-temannya banyak dan masih banyak tambahan yang tak terhitung menurut kebiasaan orang-orang yang memiliki keduniaan dan mempunyai pangkat kedudukan45.
Dari uraian tersebut diatas, dapat kita simpulkan Al-Ghazali berharap bahwa dalam memenuhi kebuthan-kebutuhan yang berupa jasadi (jasmani) bersifat sementara, dan tidak harus menjadi tujuan utama. Ia lebih suka memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani yang berupa mengembaraan spiritual.
Namun demikian, ia tetap memberikan apresiatif trhadap aspek-aspek duniawiyah, sebagai wujud dari mazra’atul akhirah.
Tugas keempat, dituntut untuk mengerti bagaiaman cara mendistribusikan dan membelanjakan (menggunakan) harta untuk keperluannya sehari-hari46.
Pengelolaan harta yang terpuji adalah tindakan men-distribusikan harta yang menimbulkan para pelakunya menjadi adil; yaitu mengelurkan sedekah yang wajib (zakat47) dan mem-beri belanja wajib atau nafkah kepada keluarga. Dan dari mem-belanjakan harta yang menimbulkan kemuliaan dan keutamaan, yaitu mendahulukan orang lain atas diri pribadi menurut peraturan yang disunahkan agama. Adapun mendistri busikan (membelanjakan) harta yang tercela, menurut Al-Ghazali ada dua macam; pemborosan dan bakhil.
Pemborosan (ishraf) adalah membelanjakan harta lebih banyak dari pada yang wajib sehingga keadaannya tidak tepat untuk pembelanjaan yang tidak wajib, dan mengurangi yang lebih penting serta memberikan harta kepada yang tidak berhak menerimanya48. Bagi Al-Ghazali, pemborosan akan berdampak yang akan terjadi adalah berlebih-lebihan, padahal berlebih-lebihan dalam agama dilarang. Adapun yang di-maksud dengan bakhil adalah mencegah untuk mengeluarkan harta untuk orang yang berhak menerimanya dan mengurangi kadar yang patut dan sesuai dengan keadaan49. Oleh karena itu, apabila seseorang telah dapat mengambil harta dari arahnya yang benar dan menempatkan pada salurannya yang benar juga, maka dialah orang yang terpuji dan kelak akan menerima pahala yang besar.
Dengan perkataan lain, orang yang dapat memperhatikan persoalan dunia dan agama sebagaiman yang wajib dan menurut jalan yang telah ditentukan oleh agama, maka dialah orang yang telah dan dapat menyeimbangkan antara keduanya ini merupakan “Khalifah Allah” dibumi dan dialah yang menjadi pemimpin suatu kaum50.
Tugas kelima, hendaklah dalam melakukan kegiatan ekonomi (mencari penghidupan) itu diniatkan untuk mencari ridha Allah Swt, begitu juga meninggalkannya51.
Niat baik dalam setiap perbuatan adalah perintah agama. Rasul Saw bersabda, “semua amal perbuatan tergantung kepada apa yang ia niatkan….”52. hadits-hadits ini mengandung pengertian yang luas. Al-Ghazali memahami bahwa, niat yang baik hendaklah apabila ingin makan agar diniatkan untuk kuat dalam menunaikan ibadah. Kemudian dalam meninggalkan usaha mencari usaha diniatkan karena ingin mencapai zahid53.
Dengan kata lain, zuhud  kepada dunia adalah bukannya orang yang tidak mempunyai harta sama sekali, akan tetapi orang yang zuhud adalah orang yang tidak terpedaya oleh harta sekalipun ia memiliki harta seisi alam semesta ini54. Sebagaimana kata Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. “seandainya seseorang itu mencari harta seluruh isi bumi ini dan ia bertujuan hanya karena Allah semata, maka bukanlah ia termasuk orang yang cinta akan dunia”55.
Maka dari itulah Al-Ghazali mengatakan bahwa, hendak lah dalam semua tindakan dan diamnya itu karena Allah Swt. Artinya jadikanlah segala aktivitas anda hanya diniatkan untuk beribadah atau untuk menolong hamba Allah yang memerlukan pertolongan. Meskipun pada hakikatnya ciptaan Allah itu semuanya pada bergerak, seperti; makan dan membuang air besar dan kecil, kedua gerak tadi merupakan penolong untuk beribadah, walaupun kelihatannya gerak yang jauh dari pada ibadah56. Inilah makna filosofis yang dapat kita peroleh dari maksud-maksud yang diuraikan oleh Al-Ghazali.
Karena itu, para pedagang dihimbau oleh al-Ghazali agar mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.    Tidak mengambil laba (profit) lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia dagang. Jika dipikirkan perilaku demikian, maka dapat dipetik hikmahnya, yaitu menjual barang lebih murah dari saingan atau pun sama dengan pedagang lain yang sejenis. Jelas para konsumen akan lebih senang dengan pedagang seperti ini, apalagi diimbangi dengan layanan yang memuaskan. Barang dagangannya akan laku keras, dan ia memperoleh volume penjualan tinggi, barang cepat habis, dan membeli lagi barang baru dan seterusnya diperoleh keuntungan berlipat ganda,
2.    Membayar harga agak lebih mahal kepada penjual yang miskin, ini adalah amal yang lebih baik dari pada sedekah biasa. Artinya, jika anda membeli barang dari seorang penjual, dan penjualnya itu seorang miskin, atau seseorang yang perlu dibantu, maka lebihkanlah berlipad ganda,
3.    Memurahkan harga atau memberi korting kepada pembeli yang miskin, ini memiliki pahala berlipat ganda,
4.    Bila membayar utang, pembayarannya dipercepat dari waktu yang telah ditentukan. Jika yang diutang berupa barang, maka usahakan dibayar dengan barang yang lebih baik. Dan yang berutang datang sendiri waktu mem-bayarnya kepada yang berpiutang. Pada zaman sekarang ini utang piutang, pinjam meminjam tidak dengan barang lagi, tapi dengan uang. Jika utang dengan uang tidak ada perjanjian harus membayar lebih, maka lebihkanlah pem-bayarannya sebagai tanda terima kasih, walaupun tidak diminta oleh orang yang berpiutang, demikianlah dicontoh kan oleh Rasulullah SAW,
5.    Membatalkan jual beli, jika pihak pembeli menginginkannya. Ini mungki sejalan dengan prinsip Customer is king dalam ilmu marketing. Pembeli itu adalah raja, jadi apa kemauannya perlu diikuti, sebab penjual harus tetap menjaga hati lang-ganan, sampai langganan merasa puas. Kepuasan konsumen merupakan target yang harus mendapatkan prioritas para penjual. Dengan adanya kepuasan maka langganan akan terpelihara, bahkan akan meningkat menarik langganan baru. Ingatlah promosi dari satu produk yang berbubnyi: Kepuasan Anda Dambaan Kami; kami ingin memberi kepuasan yang istimewa; jika Anda puas beritahu teman-teman anda; jika anda tidak puas beritahu kami. Pasti memuaskan dan sebagai nya.
6.    Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan (kredit), maka janganlah ditagih bila orang miskin itu tidak mampu membayar dan membebaskan mereka dari utang jika meninggal dunia.
Demikianlah anjuran al-Ghazali terhadap para pedagang dan pembeli (consumen) agar mereka mempunyai sifat-sifat terpuji (etika perdagangan). Karena itu benar bahwa al-Ghazali meskipun bukan seorang pebisnis (pedagang), dimana waktu itu era merkantilis lebih mengedepankan keuntungan, namun al-Ghazali memberikan himbauan kepada mereka bahwa apa yang mereka berbuat kurang terpuji, karena itu ia menganjurkan bahwa para pebisnis (pedagang) harus mempunyai sifat-sifat terpuji diantaranya sebagaimana 6 sifat terpuji di atas.
C.     Macam-Macam Kegiatan Ekonomi
Mengamati salah satu bentuk kekayaan yang ada, baik ada secara alami, misalnya jamur, ataupun karena ada diusaha kan manusia, seperti roti dan mobil, maka Nampak jelaslah bahwa untuk memperolehnya membutuhkan kerja (usaha) ter-tentu. Tatkala kata “kerja” tersebut wujudnya sangat luas, jenis nya bermacam-macam, bentuknya pun beragam, dan hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah Swt tidak membiarkan “kerja” tersebut secara mutlak, Allah Swt juga tidak menetapkan “kerja” tersebut denga bentuk yang sangat umum. Akan tetapi, Allah Swt telah menetapkan dalam bentuk-bentuk kerja tertentu. Kemudian dalam menetapkannya, Allah Swt menjelaskan kerja-kerja ter-sebut57.
Dalam falsafah al-Qur’an, semua aktifitas yang dapat di-lakukan oleh manusia patut dikerjakan untuk mendapatkan keberuntungan atau al-falah (falah yang disalah tafsirkan dengan istilah “Kebajikan” yang dipakai dalam kehidupan modern.” Ke-baijkan” lebih mengacu kepada kesejahteraan dunia dan akhirat). Biasa islam percaya akan adanya hari kiamat dan untuk men-dapatkan kebajikan dikahirat maka manusia harus melakukan kenajikan yang sama semasa hidup didunia. Jadi, manusia harus melakukan kebaijkan semasa didunia, yaitu istilah yang dimak-sudkan untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat58.

Menebarkan kebajikan, dan melestarikan keseimbangan hidup merupakan pernbuatan amal shaleh dan sesuai dengan tuntutan agama. Sebab, tujuan syariat-syariat, kata Al-Ghazali adalah meningkatkan kesejateraan manusia, yang terletak pada perlindungan iman, hidup, akal, keturunan dan harta. Apa saja yang menetapkan perlindungan hal ini merupakan kemash-lahatan iman yang dikehendaki59. Jadi, meingkatkan kesejah-teraan untuk mencukuppi kehidupan merupakan bagian dari amal shaleh. Sedang menciptakan ketidakadilan merupakan bagian dari berbuat kerusakan (mafsadat) dibumi.

Salah satu dari kegiatan mencari penghidupan yang banyak dilakukan oleh manusia, sejak dulu hingga sekarang dibelahan bumi adalah bertani adalah. Bahkan pada masa Rasulullah SAW, pertanian (al-Muzaro’ah) dianjurkan. Lalu pada masa pertengahan, dimana Al-Ghazali, keadaan masyarakat masih sangat sederhana, jauh lebih sebelumnya revolusi Perancis dan revolusi industry di Inggris terjadi, sehingga keadaan kondisi perekonomian pada saat itu meminjam istilah Hanz Dieter Evers60, sebagai produksi subsistensi (subsistence production) masih menggunakan pola pertanian. Sebagaimana al-Ghazali mengkelompokkan masyarakat pelaku ekonomi menjadi tiga bagian, yaitu61:

No
Jenis Kelompok
Sifat-sifat
Dampak
1
Masyarakat lalai
Orientasi dunia tetapi lalai akan kehidupan akhirat
Sengsara dunia akhirat
2
Masyarakat selamat
Orientasi dunia akhirat dan keseimbangan keduanya
Bahagia dunia & akhirat
3
Masyarakat peragu
Orientasi dunia tapi ragu terhadap akhirat
Dipersimpangan jalan menuju kebaikan

Pada masa Al-Ghazali, struktur dan mata pencaharian masyarakat waktu itu, sebagaimana ia gambarkan dalam kitab Ihya-nya, adalah bahwa manusia pada usahanya terdapat tiga taraf kehidupannya. Di antara tiga jenjang atau taraf kegiatan masyarakat tempo dulu adalah:
1.    Kaum petani, buruh dan pengembala,
2.    Tentara yang mempertahankan Negara dengan senjata,
3.    Para pegawai abdi Negara, sebagai pemungut dan pem-bagi gaji-gaji63.
Maka secara sederhana pula tingkat spesialisasi atau pembagian kerja (devision of labour) terhadap kegiatan usaha masih terbatas pada ketiga kategori itu. Dengan demikian secara sederhana dapat disimpulakan bahwa, terdapat dua jenis kegiatan bisnis (ekonomi) menurut Al-Ghazali, yaitu; pertama, jenis kegiatan yang dianjurkan (diperbolehkan, al-mubihat), kedua, jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan atau diharamkan. Berikut penjelasan kedua jenis kegiatan ekonomi tersebut, yaitu:
1.      Kegiatan Ekonomi yang Diperbolehkan
Dari ide dan gagasan Al-Ghazali tentang kegiatan usaha yang diperbolehkan atau dianjurkan oleh agama, sebagaiman yang tertuang dalam kitab-kitab karyanya, terutama Ihya ‘Ulumudin, dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis usaha. Diantara jenis-jenis usaha yang diperbolehkan adalah:

a.     Aqd al-Ba’I (Selling Cintract)
Salah satu kegiatan ekonomi yang diperbolehkan adalah jual beli (selling contract), sebagaimana telah tersebut dalam al-Qur’an dan Hadits. Hal ini didukung pula oleh jima’, bahwa jual beli itu diperbolehkan sedangkan riba itu yang dilarang63. Allah Swt telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemashlahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemash-lahatan tersebut, Allah Swt telah mensyariatkan cara per-dagangan tertentu. Sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak bisa diwujudkan dengan mudah dalam waktu sesaat, dan karena mendapatkannya dengan cara kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan merusak, maka harus ada system yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang ia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan. Itulah perdagangan dan hokum-hukum jual beli64.
Mengenai hukum jual beli, oleh Allah SWT telah dijelaskan secara detail dalam al-Qur’an, yang berbunyi:





Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang bathil, kecualli dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan sukses sama suka diantara kalian65.”
Dalam usaha jual beli (ba’I), Al-Ghazali memberikan per-syaratan khusus, sebagaimana tradisi para ulama pendahulunya dalam persoalan jual beli, dan ini pula dilajutkan oleh para generasi berikutnya dalam khazanah fiqh karya mereka. Bagi al-Ghazali, diperbolehkan jual beli dengan syarat ada juga tiga macam; al Aqid, al Ma’qud Alaih serta Lafadz.
Rukun pertama, yaitu; al-Aqid (orang yang bertransaksi). Dalam kitab-kitab fiqih, kita sering melihat bahwa rukun dan syarat merupakan cirri utama dalam suatu hal, terutama hal yang menyangkut masalah hokum begitu pula dalam per-dagangan atau al-Ba’I (selling). Setiap melakukan jual beli harus lah ada transaksi (al-Aqd), sementara orang yang me-lakukan transaksi ini disebut ­al Aqid66.
Adapun dalam transaksi (aqd), menurut Al-Ghazali, pelaku bisnis (transaksi) haruslah bukan dari golongan; Shabi (anak kecil), al-Majnun (orang gila), al-‘Abd (hamba sahaya) atau al-A’ma (orang buta). Sebab keempat ini orang tidak mempunyai tanggungan (taklif). Anak kecil (shabi), misalnya belum mukallaf begitu juga orang yang gila/hilang ingatannya (al-Majnun), oleh karenanya dalam melakukan transaksinya dianggap bathil (tidak sah). Dan tidak syah jual belinya meskipun diberi ijin walinya, demikian menurut Imam Syafi’i67.
Adapun bagi budak yang berakal, maka dalam melakukan transaksi jual beli harus memperoleh ijin dulu dari walinya bahkan selain dari itu. Sedangkan bagi orang lain yang tidak bisa melihat/orang yang buta tidak melakukan jual beli karena dirinya tidak bisa melihat dan hal ini akan menyulitkan bagi dirinya dan pembeli dalam melakukan transaksi, kecuali harus ada wakil/orang yang dipercayakan mendampinginnya68.
Terhadap orang kafir, al-Ghazali menyoroti dalam masalah bisnis dan perdagangan (muamalahi) ini adalah per-soalan lain. Baginya, orang yang kafir boleh melakukan kegiatan ekonomi apa saja, asalkan jangan menjual mushaf al-Qur’an dan budak muslim. Dan tidak boleh menjual persenjataan jika ia seorang yang ahli dalam peperangan, jika ia melakukan pekerjaan yang demikian maka berarti dirinya telah melakukan maksiat kepada Tuhannya69.
Rukun kedua, al-Ma’qud Alaih (harta benda) yang dapat dipertukarkan kepada yang lain. Harta benda inipun harus mem-punyai syarat-syarat khusus. Menurut Al-Ghazali syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut;
·        Harta benda yang tidak najis dzatnya,
·        Barangnya mempunyai manfaat,
·        Barangnya dapat dipergunakan dan dapat dimiliki
·        Barangnya dapat diukur atas penyerah-terimaan baik secara syar’I maupun hissi.
·        Barang yang diperjualbellikan dapat diketahui ukuran dan sifatnya,
·        Barangnya dapat diterima seketika70.
Rukun ketiga, Lafadz Aqd (perjanjian). Menurut Al-Ghazali, perjanjian atau yang disebut ijab qabul ini merupakan hal yang sangat penting, karena dalam perjanjian ini mesti harus dilakukan. Sebab, ijab qabul dapat menghantarkan maksud dan tujuan; seperti saya memberimu ini, saya menjual kepadamu hal ini dilakukan baik dengan cara yang jelas (sharih) maupun tidak (ghair sharih)71.
Pemikiran Al-Ghazali ini jelas menggunakan sudut pandang fiqh, sebagaimana dalam keterangan-keterangan hukum fiqh lainnya tentang jual beli yang dibahas dalam fiqh muamalah-nya. Untuk perekonomian sederhana barang kali pendekatan seperti itu masih dapat digunakan, akan tetapi seiring dengan perkembangan dan kemajuan perekonomian global, kiranya perlu diadakan perluasan-perluasan dalam pembahasan – perlu didiskusika kembali – sesuai dengan substansi dan semangat itu.
Dalam perkembangan ekonomi modern, konsep jual beli nampak bersifat variatif dan jelas, banyak bentuk-bentuk “kontrak jual beli”. Hal ini merupakan kenikmatan dari Allah swt yang tidak dapat dinilai oleh siapaun72. Sementara dalam per-bankan bagi hasil, konsep jual beli dapat berupa pembiayaan-pembiayaan yang berupa; al-Musyawarah dan at-Tauliah73 (penguasaan) dan masih banyak jenis yang lainnya.
Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa konsep Al-Ghazali tentang jual beli, sebagaimana tradisi pendahulu-nya masih terfokus pada rukun dan syarat. Meskipun dalam dunia ekonomi dan ilmu pengetahuan, komunikasi bahasa tulis peranannya memang sangat menonjol dari pada komunikasi secara langsung (face to facei). Begitu pun dalam transaksi bisnis, dengan teknologi computer dan kartu kredit yang bersangkutan tidak perlu berjumpa dengan melakukan ijab qabul secara lisan seperti dalam masyarakat tradisional74. Namun jelas bahwa semangat dan substansinya itu tidak pernah lepas dari pen-dahulunya bahkan selalu menginspirasi perekonomian pereko-nomian Islam modern tentang dasar-dasar jual beli. Jadi, prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property).
b.    Aqd al-Salam (contract of delivery sale)
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Dengan mengacu pada al-Qur’an, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila hendak kamu melakukan transaksi tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah menuliskannya”. Dari acuan ini didefinisikan:
Ibrahim Al-Bajuri dalam buku “Hasiat al-Bajuri” mengatakan bahwa salam adalah sama dengan makna salaf. Kata “salam” berasal dari ahli Hijjaz, dan istilah salaf dari Irak, keduanya berarti menjual sesuatu brdasarkan sifat-sifatanya saja dalam tanggungan.
Faisal affi Dkk75, dalam buku yang berjudul “Strategi dan Operasional Bank” mendefinisikan salam sebagai proses jula beli dimana pembayaran barang dikeluarkan secara advance, mana-kala penyerahan barang dilakukan kemudian. Dalam penerapan system perbankan, menurutnya, pembiayaan dengan cara ini dapat berupa trade financing melalui pembelian obligasi dengan harga penuh, maka, unsure riba dan maisir (gambling) telah hilang (tidak terjadinya unsur capital gain). Dengan demikian, salam ini merupakan jenis dari perdagangan yang dalam pem-biayaan dilakukan dimuka secara kontan/cash, meskipun barang nya tidak ada. Berbeda dengan transaksi jual beli, salam berbentuk pesanan yang secara teknis hanya menyebutkan sifat-sifatnya. Menurut Al-Ghazlai transaksi terhadap jenis ini harus dipenuhi beberapa rukun dan persyaratan. Seara teknis menurut nya, rukun salamnya adalah:
a.    Penjual dan pembeli (bai, mustari’)
b.    Barang dan uang (commodity and money)
c.     Sighat (lafadz aqad)76.
Sedangkan syarat-syarat transaksi salam adalah :
1.    Pembayaran hendaklah dilakukan terlebih dulu, yaitu, men-yerahkan uang pada saat transaksi itu juga,
2.    Barangnya menjadi hutan batas penjual,
3.    Barang dapat diserahkan pada waktu janji telah sampai, jadi barang harus sudah ada pada waktu janji telah sampai. Karena itu menjual buah-buahan yang berada dipohon dengan cara salam tidaklah sah, jika ditentukan waktunya bukan pada musimnya.
4.    Barang tersebut harus jelas, baik dalam ukuran, takaran, timbangan atau bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual masing-masing barang.
5.    Siketahui dan disebutkan sifat-sitaf barangnya. Yang dengan sifat-sifata tadi dan menyebabkan perbedaan harga dan kemauan orang pada barang tersebut. Sifat-sifat tadi hendaklah diterangkan dengan sejelas-jelasnya sehingga tidak akan terjadi keraguan yang bisa mengakibatkan perselisihan kelak antara kedua belah pihak. Begitu juga macamnya, harus disebitkan jelas, misalnya tentang daging, apakah daging itu daging itu daging sapi, kambing ataukah kerbau.
6.    Harus pula disebabkan tempat penyerahannya, senadaninya tempat terjadinya transaksi itu tidak layak buat menerima barang tersebut. Aqad salam mesti terus berarti dan tidak ada Khiyar Syarat77.
Pembayaran (payment) dimuka secara kontan, naqdan (immediate delivery) adalah persyaratan utama dalam pem-biayaan dengan cara salam. Pada ba’I salam ini pembayaran harga barang dilakukan dimuka sebelum diserahkan kepada pembeli, yang jual beli itu bukan dilakukan berdasarkan fee, melainkan berdasarkan keuntungan (make up). Dengan kata lain Ba’I salam merupakan suatu jasa free paid purchase of goods, melalui cara ini harga barang dibayar dimuka pada waktu kontrak dibuat, tetapi penyerahan barang, dilakukan beberapa waktu kemudian. Cara ini memungkinkan pula seseorang peng-usaha untuk menjual barangnya kepada bank dengan harga yang telah ditentukan dimuka78. Dari model ini, al-Ghazali tidak melupakan pembahasan tentang ba’i salam yang hingga kini men jadi model pada lembaga keungan syariah (LKS) dalam pem-biayaan produktif dengan sistem keuntungan. Berikut skim salam dalam konteks ekonom modern yang diterapkan oleh lembaga keuangan syariah (LKS), baik bank maupun non bank syariah.



 











c.     Aqd al-Ijarah (sewa menyewa/upah mengupah)
Transaksi ijarah dilunasi adanya perpindahan manfaat (hak guna) bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi, pada dasarnya prinsip Ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek tranksaksinya barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah barang atau jasa.
Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’Iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats-Tsawab (pahala) dinamai ajru (upah). Dalam pengertian shara’, al-ijrah ialah suatu jenis aqad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian79. Oleh karena itu, al ijarah adalah aqad/sewa menyewa atau transaksi (aqad) yang berlangsung atas perjanjia pengembalian manfaat yang di maksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui dan menurut syarat-syarat tertentu.
Ijarah dari sudut pandang fiqh aqad pemindahan hak guna, atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah/sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership milikiyah) atas barang sendiri80. Pemilik sesuatu yang menyewakan manfaatnya disebut “Mu’ajjir”, sedangkan orang yang menyewa disebut “Musta’Jir” dan barang yang diaqadkan untuk diambil manfaat-nya dinamakan “Ma’jur” serta jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat dinamakan “ujrah/upah”81.
Sedangkan ijarah berdasarkan pembiayaan dana dalam prinsip sewa mengacu pada surat al-Aqsa 26, yang artinya, “salah satu dari kedua gadis itu berkata:’ wahai bapaku ambilah ia sebagai orang yang bekerja untuk kita karena sesungguhnya orang yang paling naik yang kamu ambil untuk bekerja orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Rasulullah Saw, membenarkan prinsip sewa menyewa (ijarah), “berikanlah olehmu upahnya orang sewa-an sebelum kering keringatnya”.
Ayat dan hadits tersebut mengilustrasikan bahwa si majikan telah menyewa tenaga pekerjanya dengan bayaran upah tertentu. Dalam ijarah, yang menjadi objek kontrak adalah manfaat penggunaan asset itu sendiri. Dengan demikian manfaat penggunaaan asetlah yang terjamin, meskipun kontrak ijarah kadang-kadang dianggap asset sebagai objek dan sumber manfaat. Contohnya, sering mendengar orang mengatakan,” saya sewakan mobil ini kepada anda.82
Kembali kepada konsep Al-Ghazali tentang ijarah, ijarah merupakan aqad kerjasama yang satu sama lain mendapatkan keuntungan, dengan satu sama lain saling memanfaatkan. Artinya, dalam tradisi maysarakat, orang trkadang memiliki satu barang (binatang) semnentara orang lain hanya memiliki modal (uang). Oleh karena itu, kerjasaman antara pemilik modal (investor) denga memiliki modal (Capital ownership) tersebut untuk penyewaan disebut ijarah. Sebagaimana katanya:
ثم هذه الاموال التي تنقل لاتقدر الانسان علي حملها فتحتاج الي دواب تحملها وصاحب المال قد لاتكون له دابة فتحدث معاملة بينهما وبين مالك الدابة تسمي الاجارة قرء نوعا من الاكتساب ايضا
Artinya: Kemudian harta-hart benda yang akan dipindahkan niscaya manusia tidak mampu membawanya. Pemilik harta itu terkadang tidak memiliki binatang, maka timbullah satu hubungan kerjasama antara pemilik harta dan pemilik binatang, yaitu yang disebut persewaan. Maka menjadilah persewaan itu satu macam dari usaha kerjasama83.
Bagi Al-Ghazali, kerjasama dengan sistem (model) sewa menyewa bukanlah suatu hal yang begitu saja dilakukan, akan tetapi harus memenuhi rukun dan syaratnya. Menurutnya, hukum sewa menyewa itu halal apabila memenuhi rukun-rukunnya, yaitu84:

1.    Yang menyewa dan menyewakan dipersyaratkan harus:
a.    Berakal
b.    Kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c.     Keadaan keduanya tidak bersifat mubadzir.
2.    Sewa, disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal;
a.    Jenisnya
b.    Kadarnya
c.     Sifatnya
3.    Manfaat, mempunyai persyaratan sebagai berikut:
a.    Manfaat yang berharga; manfaat yang tidak berharga ada kalanya karena sedikitnya, seperti menyewa mangga untuk dicium baunya, padahal yang maksud dari mangga itu adalah untuk dimakan. Atau ada larangan dari agama seperti, menyewa seseorang unutk mem-binasakan orang lain. Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang menyewakan.
b.    Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa runah satu bulan atau satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan seperti menyewa mobil dari Jakarta dampai bogor atau menjahit satu stel jas. Kalau peker jaan  itu tidak jelas kecuali dengan beberapa sifat, harus diterangkan semuanya, membuat dinding umpamanya, harus diterangkan; diding dari apa. Dari kayu atau dari batu. Berapa panjangnya berapa lebar dan tebalnya85.
Ijarah seperti ini sebenarnya adalah bentuk dari perjanjian ijarah yang telah dikenal sejak lama. Sementara dalam per-kembangan selanjutnya, setelah system perekonomian yang kegiatannya menggunakan jasa perbankan, ijarah adalah base kontrak dibawah base kontrak dibawah suatu bank atau lwmbaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), setelah bangunan atau barang-barang seperti mesin-mesin, pesawat terbang dan lain-lain, kepada salaha satu nasabahnya berdasarkan pembebasan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge).86
Pada perjanjian ijarah seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga pembiayaan tradisiobal pada akhir perjanian dan ijarah barang yang disewa itu kembali kepada pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada perjanjian ijarah sepanjang masa perjanjian ijarah tersebut, kepemilikan atas barang tetap pada bank. Setelah barang kembali pada akhir masa ijarah, bank dapat menyerahkan kembali kepada pihak lain yang berminat atau menjual barang itu dengan mem-perolah harga atas penjualan barang  bekas (second hand) ter-sebut87.
Karena ijarah adalah aqad yang mengatur pemanfaatan baik guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing. Hal ini ter-jadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal ikhwal sewa menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, namun, tidak sepenuhnya benar. Karena pada dasarnya walupun terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing namun ada beberapa karakteristik yang membedakannya88. Pada bagan ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya akan disajikan.
No
Ijarah
Leasing
1
Objek:
Manfaat barang & manfaat jasa
Objek:
Manfaat barang saja
2
Method of Payment:
a.     Contingent to performan ce
b.     Not Contingent to perfor mance
Method of Payment:
Not Contingent to performance
3
Transfer of Title
Ijarah no transfer of title IMBT promise to sell or hibah at the beginning of period
Transfer of Title
1.     Operation lease No transfer of title
2.     Financial lease option to buy or not to buy, at the end of period
4
Lease Purchase/sewa beli
Bentuk leasing seperti ini haram karena aqadnya gharar, (yakni antar sewa dan beli)
Lease Purchase/sewa beli
Ok
5
Sale and lease back
Ok
Sale and lease back
 Ok
Gambar 1. Perbedaan Ijarah dan Leasing
Memang al-Ghazali tidak sejauh itu dalam memaparkan dan menjelaskan masalah Ijarah, akan tetapi dapatlah dikata-kan bahwa al-Ghazali telah memberikan andil dalam meletak kan dasar-dasar Ijarah sesuai dengan kemampuan dan etika Islam yang menjadi landasan utama, bagi pemodelan akad Ijarah selanjutnya yang oleh ekonomi Islam ini menjadi pembiaya an Ijarah, baik Ijarah Mumtahiya bi Tamlik (IMBT), maupun Ijarah Paralel dewasa ini.

d.    Aqd al-Qiradh (Equity Partnership)
Kerjasama merupakan watak masyarakat ekonomi menurut ajaran agama Islam, kerjasama itu harus tercermin dalam tingkat kegiatan ekonomi produksi, distribusi baik barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama yang sesuai dengan ajran agama Islam adalah Qiradh, yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha yang mempunyai keahlian, ketrampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau usaha89.
Menurut Sayyed Sabiq, qiradh adalah berasal dari kata al- Qardu yang berarti al-Qoth’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan mem-peroleh sebagian keuntungannya. Sementara Mudharabah berasal dari kata al-Dharbu fi al-Ardhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Firman Allah swt: “Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah”90.
Yang dimaksud disini, ialah qiradh adalah sama dengan muradhabah91, yaitu suatu aqad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan. Dan laba (profit) dibagi dua sesuai dengan kesepakatan92. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah (qiradh) ini diperbolehkan, baik menurut al-Qur’an, sunnah, maupun ijma’.
Dikalangan penduduk madinah dikenal dengan istilah “qiradh” yang berarti seseorang menerapkan harta kepada orang baik supaya diproduksikan (dikelola), dan keuntungan dibagi93. Dengan kata lain satu pihak menyerahkan modal dan pihak lain memanfaatkan untuk tujuan usah, berdasarkan kese-pakatan bahwa keuntungan usaha tersebut akan dibagi menurut bagian yang telah disepakati94.
Sedangkan Shalabi, sebagaimana yang dikutip oleh Nyla Comair Obied mengatakan bahwa kontrak mudharabah telah dikenal sejak dulu ketika Nabi Muhammmad Saw masih hidup sebelum diangkat menjadi Rasul, dimana beliau pernah men-jalanakan dagangan saudagara wanita yang kaya-raya yang bernama Khadijah. Beliau dipercaya penuh untuk menjalankan usahanya95.
Dalam praktik Mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual Nabi Muhammad ke luar negri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal (Shaib al-Maal), sedangkan Nabi Muhammad Saw sebagai pelaksana usaha (Mudharib)96. Menurut ijma’, karena sistemini sudah dikenal sejak jaman Nabi dan jaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang memprakti kannya dan tidak ada yang mengingkarinya.
Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa sebenar nya aktivitas yang berupa qiradh ini telah ada sejak jaman Nabi Muhammad, yang dilakukan dua orang atau lebih selam ada perjanjian. Kepercayaan adalah modal utama dalam menjalan kan misi ini terutama adanya kepercayaan dari investor (pemilik modal), atau Shaibul maal terhadap mudharib (pengelola, manajer) 97.
Bagi Al-Ghazali qiradh adalah suatu transaksi yang berupa perseroan (kerjasama dalam bentuk usaha) untuk memperoleh keuntungan bersama harus mempunyai ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan aturan dan prinsip ajarana Islam. Dalam hal ini Al-Ghazali lebih menekankan bahwa qiradh harus sesuai dengan rukun-rukunnya, yaitu diantaranya adalah98.
Pertama modal (al-maal), syarat modal berupa uang kontan. Dalam hal ini para ulama dan ahli hukum pun sepakat bahwa syarat utama dalam transaksi qiradh adalah modal dan itupun harus kontan pula.
Kedua nisbah keuntungan (profit sharing) harus jelas pem-bagiannya menurut kesepakatan. Akan tetapi khusus untuk qiradh resiko atau kerugian harus ditanggung pemilik modal dan tidak oleh mudharib atau keduanya. Sebab mudharib hanya sekedar menjalankan bisnis saja dan juga investor tidak boleh terlalu mencampurinya.
Ketiga pekerjaan (profesi), persyaratan atau ketentuan yang ketiga adalah pekerjaan harus jelas apa yang dilakukan oleh mudharib atau pekerja. Sehingga dalam suatu ketika margin-profit jelas, untuk apa digunakan. Misalnya, kerja yang diserah kan yang berbentuk kehalian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan sebagainya99.
Dengan kata lain investor atau shahibul maal (pemilik harta) tidak boleh terlalu mengintervensi atau mencari mudharib (manajer, pengelola) atas pekerjaan nya, baik dengan ketentuan waktu maupun jenis pekerjaan. Apabila investor melakukan pembatasan semacam ini maka, kontraknya batal.
Menurut penjelasan Adiwarman, transaksi qiradh klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khsusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-maal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh saling percaya (amanah). Shahibul maal hanya mau menyerahkan modalnya pada orangyang ia kenal dengan baik – profe-sionalitas maupun karakternya100.
Sama halnya dengan akad-akad di atas, mudharabah merupakan produk andalan bagi lembaga keuangan syariah, baik perbankan maupun non perbankan. Bahkan produk ini merupakan pembeda dari lembaga konvensional yang berbasis bunga. Karena itu, akad bagi hasil ini menjadi produk unggulan yang menggunakan sistem profit-loss sharing (PLS) pada kelembagaa perekonomian umat. Berikut ini skim/model kontrak mudharabah.
Penjelasannya adalah: Pihak pengelola sebagai pemilik proyek dapat mengajukan permohonan pembiayaan kepada lembaga ekonomi umat berbasis syariah. Kebutuhan dana tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan yang bersifat modal kerja dan atau investasi. Untuk lebih jelasnya lihat Bagan Arus Kerja Pelayanan Mudharabah  di bawah ini:

Rounded Rectangle: Akad Mudharabah
ANGGOTA
 
ANGGOTA
 
   
 



 







Bagi al-Ghazali, pemodalan seperti ini tidaklah menjadi perhatian utamanya, melainkan bahwa akad qiradh, suatu istilah yang ia dipilih dari pada mudharabah merupakan salah satu bagian penting dalam tradisi muamalah klasik yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Dan yang pasti adalah bahwa akad tersebut harus memenuhi rukun dan syarat yang telah di-tetapkan oleh syariat, sampai sepanjang zaman.
e.     Aqd al-Syirkah (partnership contrac)
Sama halnya system mudharabah atau qiradh, syirkah atau musyarakah juga merupakan perkongsian antara orang dengan orang lain akan tetapi dalam syirkah, satu sama lain lebih memberikan kontribusi berupa kerjasama dalam hal pengolahan modal bersama untuk dibisniskan. Berbeda dengan qiradh bagi shahibul maal (pemilik modal) tidaklah mengelola harta tersebtu, akan tetapi yang melaksanakan dan menjalankan pengembang-an bisnis hanya dari pihak pengelola (amil), bukan shahibul maal. Adapun kerugian tidak dibebankan pada si pengelola, melain-kan pada harta yang dipunyai oleh shahibul maal. Jadi, tran-saksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak kerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara ber-sama-sama.101
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak kerja-sama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), pandayan (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau qoodwill, kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang102.
Adapun kata yang menunjukan aktivitas pembagian dan perkongsian banyak sekali dalam al-Qur’an. Nabi Musa as, berdoa memohon kepada Allah Swt agar harum, saudaranya, bersekutu dalam misi besarnya, berdakwah pada Fir’aun; “ yaitu harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadi-kanlah dia sekutu bagi urusanku”103. Begitu juga, Islam mem-benarkan seorang muslim berdagang dan berusaha secara per-orangan, membenarkan juga penggabungan modal dengan temannya dalam bentuk perkongsian (syariat) dagang yang ber-bagai bentuk104.
Dari segi bahasa, syirkah atau syarikah bermakna peng-gabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian lain105. Dalam bahasa inggris dikenal dengan partnership, sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “kemitraan”, “persektutan”, “perkongsian”, atau “perseroan” dan yant terakhir akan di-gunakan oleh penulis.
Sedangkan menurut syara’, para ahli fiqh maupun para ekonom muslim mendefinisikan syirkah sebagai transaksi antara dua orang atau lebih, yang keduanya sepakat melakukan kerja yang bersifat financial yang bertujuan mencari keuntugan. Menurut Hanifah, syirkah adalah istilah bagi sesuatu aqad antara dua pihak yang berkongsi tentang modal dan laba. Nmenurut Malikiyah Syirkah ialah ijin seseorang untuk mentasha rufkan hartanya kepada orang lain seperkongsian dengan tetap meletakannya hak tasaruf masing-masing106.
Hasan Yakub dalam Fiqul Muamalah, mengartikan syirkah sebagai suatu perjanjian antara dua orang dalam modal dan laba atau pekerja dan laba. Semua bentuk usaha yang me-libatkan dua pihak atau lebih dimana mereka bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Faisal Afif dan kawan-kawan, menyatakan bahwa Syirkah merupakan suatu perseroan antara dua pihak atau lebih dalam satu proyek, dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan tanggung jawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai perjanjian kedua belah pihak.
Adapun M. Nejjatullah Sidiqqi menjelaskan bahwa syirkah sebagai keikutsertaan dua orang atau lebih dalam satu usaha tertentu dengan jumlah modal yang telah ditetapkan berdasar kan perjanjian bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian yang ditetukan107.
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, terdapat kesepakatan bahwa Syirkah mengacu kepada kerja-sama antara dua orang atau lebih, untuk mengembangkan modal bersama berdasarkan profit loss-sharing (PLS). Dengan perkataan lain Syirkah merupakan perseroan yang berlangsung dimana harta kekayaan dipegang bersama antara dua pemilik atau lebih108.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka dapat dijadikan suatu ketentuan umum dalam pembiayaan syirkah, yaitu diantaranya adalah109:
1.    Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek syirkah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalan kan oleh pelaksanaan proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek syirkah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti:
a.    Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
b.    Menjalankan proyek syirkah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
c.     Member pinjaman kepada pihak lain.
d.    Disetiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan dengan pihak lain.
e.    Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
·        Menarik senidiri dari persyarikatan.
·        Meninggal dunia,
·        Menjadi tidak cakap hukkum.
2.    Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
3.    Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam aqad.
Dari ketiga ketentuanumum tersebut, secara formal hukum positif Islam, diperbolehkan, sebab ketika Nabi Muhammad Saw diutus banyak orang yang telah mempraktikan perseroan, lalu Rasulullah Saw diamkan tindakan mereka. Sehingga engakuan beliau terhadap tindakan beliau yang melakukan perseroan tersebut merupakan dalil shara’ tentang keblehannya110.
Dalam ekonomi Islam (baca; fiqh muamalah) perseroan ini dapat digolongkan dalam dua bentuk; perseroan milik (non kontrak) dan perseroan uqud (kontrak). Perseroan hak milik adalah terhadap zat barang seperti perseoran dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh dua orang, atau yang menjadi pembellian mereka, atau hibah yang diterbitkan oleh seseorang untuk mereka, maupun yang lain. Sedangkan yang kedua yang disebut perseroan transaksi (syirkah uqud, kontrak), karena yang menjadi objektif adalah pengembangan hak milik111. Dan dibagi menjadi dua bentuk; ikhtiariyah (sukarela) dan jabariyah (terpaksa), jika hal itu tidak dapat dibagi dan mereka enggan untuk diajak kerjasama112.
Jadi, esensi dari perseroan hak milik ditandai dengan kepemilikan hak bersama yang telah dianggap sebagai kerja-sama dalam artian yang luas karena ini terjadi bukan dengan persetujuan bersama untuk berbagai hasil dan resiko. Oleh karena itu, dalam ilmu fiqh ini tidak dibahas secara mendetail.
Dari pada itu, Al-Ghazali membagi perseroan uqud terbagi menjadi empat bagian, yaitu: perseroan mufawadah (hak dan tanggung jawab sepenuhnya), al-abdan (tenaga ketrampilan dan manajemen), al-wujuh (niat ba’i, sale), jaminan (kredit dan kontrak) dan al-inan (hak dan tanggungjawab terbatas).
1) Syirkah al-mufawadah (hak tanggung jawab sepenuhnya). Dalam hal mufawadah masing-masing pihak harus dewasa meberikan kontribusi sama besar terhadap modal, sam-bungan resiko rugi laba, mempunyai hak penuh untuk berbuat atas nama orang lain dan secara bersama-sama ber-tanggung jawab atas leabilitas kerja rekanan kerja mereka meskipun bisa saja realita semacam itu telah dicatat dalam kegiatan bisnis sehari-hari.
Menurut Al-Ghazali, Syirkah semacam ini dianggap tidak syah, karena salah satunya terdeapat adanya perbedaan dalam modal. Ia menganggap bahwa transaksi seperti ini tidak sah dan bahil.113 Meskipun sebetulnya ketidakbolehan-nya belum jelas alasannya mengapa tidak diperbolehkan.
2) Syirkah al-Abdan. Dalam syirkah al-abdan, para mitra atau kongsi menyumbangkan keahllian (skill) dan tenaga untuk mengelola bisnis tanpa memberikan modal. Menurut Al-Ghazali, bahwa dalam menetapkan kemitraan ini hanya sekedar jadi pengelola, tanpa memberikan investasi. Dengan kata lain, pihak yang melakukan bisnis ini hanya mengan dalkan upah atas pekerjaannya. Bisa jadi bisnis ini identik dengan konsultan yang mengandalkan jasa upah, terhadap klien. Akan tetapi Al-Ghazali membatalkan kontrak semacam ini, dengan tanpa alasan yang jelas.
3) Syirkah al-Wujuh. Dalam syirkah al wujuh para mitra menyum-bangkan goodwill (profesi) mereka, credit worthitnes mereka, dan hubungan-hubungan (kontrak-kontak) mereka untuk mem-promosikan bisnis mereka tanpa menyetorkan modal. Maka, al-Ghazali dalam hal ini, sebagai kontrak-kontrak diatas dianggap tidak memenuhi syarat syahnya Syirkah.114
4) Syikah Al Inan. Terhadap kontrak-kontrak al mufawadah, al wujuh, al abdan, kata Al-Ghazali tidak boleh dilakukan noleh para bisnismen dan pegusaha tanpa alsan yang jelas. Menurutnya, kontrak yang benar dan syah adalah apa yang disebut Syirkah ‘Inan. Karena syirkah ‘inan mencampurkan modal anggota-anggota mitra untuk mentasharufkan (dijalan kan untuk usaha bersama) dengan system profit lost-sharing principle115.
Melihat empat pembagian perseroaan (syirkah) tersebut di atas, Al-Ghazali mensyaratkan pada kontrak ini tidak boleh dengan modal uang, melainkan harus berupa barang-barang (komoditas). Karena menurutnya, jika kontrak (syirkah) dengan dimodalkan uang maka akan bercampur dengan qiradh116.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa, Al-Ghazali hanya membolehkan kontrak atau aqd al-inan, sedangkan tiga yang lainnya tidak boleh karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat syirkah. Hal ini berbeda dengan para ulama ahli fiqh yang membolehkan semua jenis syirkah seperti tersebut diatas.
Namun demikian, pada prinsipnya, ia mengakui bahwa syirkah atau Musytarakah adalah instrument penting yang telah dikenal sejak dulu dalam bentuk joint fenture (musyarakah) antara dua orang atau lebih, dan masing-masing modal untuk dipro-duktifkan (dikelola) secara bersama-bersama. Bahkan dalam operasioanal perbankan Islam, syirkah atau mudharabah menjadi peroduk andalan, sebab dalam bentuk inilah proses kerjasama akan terjalin baik antara nasabah pihak bank maupun investor lain yang akan menginvestasikan kelebihan modalnya. Dan yang lebih utamanya adalah pembeda antara produk lembaga keuangan syariah dengan konvensional.
Jika dalam qiradh modal hanya perseorangan maka, dalam syirkah modal ditanggung bersama serta pengelolaannya pun tidak dibedakan pada satu orang melainkan dijalankan oleh orang pemegang saham (investor), sedangn qirad, modal se-penuhnya dijalankan oleh mudharabah. Al-Ghazali hanya mem- berikan tata kelola akad ini, sebagaimana ulama-ulama pen-dahulu, yaitu dengan prasyarat rukun dan syarat, serta cara pengelolaannya harus sesuai dengan prinsip muamalah dalam Islam.
2.      Kegiatan Ekonomi yang Tidak Diperbolehkan
Tuhan telah menyediakan karunianya untuk manusia agar mereka menggunakannya untuk kebutuhan merek. Oleh karena itu, menurutnya kekayaan hanya dapat diperoleh dengan cara yang halal, sedangkan cara-cara yang haram harus ditinggal kan sama sekali. “Hai orang-orang yangberiman, janganlah memakan harta benda sesama dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” Cara-cara yang bathil tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dan para ulama yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh maupun lainnya, khususnya fiqh muamalah (hukum Islam).117
 Dari pada itu, Hujjatul Islam al-Ghazali telah memberikan gambaran mengenai bagaimana cara memperoleh harta ke-kayaan dengan cara halal dan bagaimana cara menghindari perolehan harta benda yang dilarang agama. Menurutnya, cara perolehan harta benda yang dilarang agama, yang tentu bagi seorang muslim (pebisnis muslim) harus dapat menghindarinya adalah sebagai berikut:
a.    Menimbun (hoarding)
Kegiatan ekonomi dalam rangka memperoleh kekayaan atau kepemilikan yang dilarang oleh agama adalah menimbun barang dagangan yang akan dijual kembali pada saat barang itu kosong dipasaran, supaya dapat menjualnya dengan harga tinggi dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda118. Menurut Syari’at orang yang menimbun seperti itu tercela dan terkutuk. Sebab, ia baru akan menjual apabila masyarakat sudah kekurangan, sehingga hartanya dapat di-lipatgandakan, dan sekalipun masyarakat merasa berat, karena tidak ada lagi pilihan lagi.
Dan sebaliknya, pada waktu bahan makanan itu meluap, jumlahnya banyak, dan umumnya masyarakat tidak mem-butuh-kannya, bahkan mereka tidak suka mengambilnya me-lainkan dengan harga murah, kemudian oleh para pemilik barang itu disimpan tanpa tujuan menimbunnya, lalu akan di-jualnya pada saat kekurangan nanti, maka yang demikian itu bahayanya tidak sama sekali. Tetapi kalau saat itu masyarakat merasa kekurangan bahan makanan, lalu dengan sengaja ia menimbunnya dengan maksud memper-oleh keuntungan yang banyak, maka sudah barang tentu yang demikian itu merupakan mengambil keumtungan dari kesulitan dengan tujuan yang curang, dan jelas perbuatan ini terkutuk menurut ajaran islam.
Menurut Al-Ghazali, para ulama fiqih memandang persoalan penimbuanan (ihtikar) terhadap barang-barang adalah suatu perbuatan yang tercela dalam agama. Akan tetapi ada hal-hal yang khusus yang bisa dibenarkannya. Oleh karena itu penimbunan barang yang diharamkan itu apabila:
1.    Barang yang ditimbun itu adalah kelebihan dari kebutuh annya berikut panggungan persedian penuh sebab orang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan ke luarganya untuk persiapan selama satu tahun penuh, seperti  yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
2.    Orang yang menimbun itu sengaja menunggu saat harga barang yang ditimbunnya itu memuncak (maximing profit), sehingga ia dapat menjualnya dengan harga tinggi.
3.    Penimbunan itu dilakukan pada saat orang banyak sangat membutuhkannya, seperti bahan makanan, pakai an dan lain-lain yang merupakan bahan kebutuhan utama bagi manusia. Tetapi kalau barang yang ditimbunnya itu bukan barang yang menjadi kebutuhan pokok dan kurang diperhatikan, maka ini tidak berdosa sebab tidak menim bulkan kesulitan buat orang banyak119.
Al-Ghazali mengutip ayat al-Qur’an, “Barang siap yang ber-maksud didalammnya melakukan kejahatan secara dzalim, nis-caya kami rasakan kepadanya siksa yang amat pedih”. An-caman ayat ini sangat jelas sekali ditunjukan bagi mereka yang berbuat dzalim, termasuk didalamnya para penimbun itu. Oleh karena itu, ayat ini dijadikan dasar pemberian we-wenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik per-usahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelun dupan dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan (ikhtikar) mengakibatkan harga tidak semetinya120, dan merugikan pihak konsumen (pembeli).
b.    Mengedarkan Uang Palsu
Sebelum membahas uang palsu dan implikasinya menurut Abu Hamid Al-Ghazali, ada baiknya bila kita kembali kepada persoalan sejarah dunia Islam terlebih dahulu. Meskipun bukan tempatnya untuk berpanjang lebar mengungkap fakta sejarah terjadinya pemalsuan uang, namun hal ini penting untuk dibahas berkaitan dengan konsepsi Al-Ghazali tentang uang palsu tersebut. Dan tentu persoalan ini bukan semata pesoalan perekonomian modern dalam sektor keuangan (moneter), melainkan masalah pemalsuan uang sudah sejak lama terjadi.
Salah satu informasi penting yang menyangkut masalah pemasluan uang dan perkembangannya, dari masa silam, dinasti Umayah dan Abbasiyah, barangkali dapat diterlusuri dalam tulisan M. Anwar Ibrahim121, yang berjudul “Otoritas Moneter Dalam Kitab Kuning”, beliau menjelaskan kronologi panjang tentang monye loundring atau kasus pemalsuan uang. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kasus penting yang berkenaan tentang pemalsuan uang illegal yang dilakukan sebagian masyarakat, diantara nya adalah:
1.    Pada masa khalifah Abdul bin Marwan, pernah terjadi kasus percetakan uang dirham diluar percetakan milik Negara. Ia bermaksud menjatuhkan hukuman atas pelaku nya yaitu potongan tangan, namun kemudian diubahnya hukuman itu menjadi ta’zir saja.
2.    Dan pada masa khlaifah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan (w.101 H/720 M) pernah terjadi pula kasus per-cetakan uang palsu, artinya percetakan diluar percetakan Negara, maka beliau menjatuhkan hukuman pada perlakuannya dengan memasukannya kedalam penjara, disamping menyita alat-alat percetakan milik nya.
Sementara dalam buku-buku fiqih, lanjut Anwar terdapat pula penjelasan-penjelasan penting tentang sikap para Fuqoha ini mengenai otoritas (wewenang) untuk menerbitkan dan meng atur penggunaan uang dalam masyarakat Islam, seperti:
1.    Said bin Musyayyab, salah seorang ahli fiqih terkenal di Madinah (w. 94 H/712 M) mengatakan bahwa yang ber-wenang menerbitkan uang hanya penguasa. Apabila ada orang lain yang menerbitkan berarti yang bersang-kutan melakukan kejahatan.
2.    Abu Ya'la menyebutkan dalam bukunya al-Ahkam as-Sulthaniyah, bahwa Ahmad bin Hambal menyatakan, “mencetak uang tidak pantas dilakukan kecuali di Daradh Dharbi (lembaga percetakan uang) dengan izin peng-usaha, karena jika masyarakat dibolehkan mencetak uang tertentu mereka akan melakukan pelangaran-pelang garan besar".
3.    Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M.), salah seorang ahli fiqih pendukung madzhab Syafi'I, menyebutkan dalam bukunya al Majmu' (dalam bab zakat emas dan perak) bahwa otoritas pencetakan uang dinar dan dirham adalah termasuk tugas kepala negara (imam). Karena itu tidak disukai (makruh) warga negara mencetak uang, meskipun terbuat dari emas dan perak yang murni pula. Karena jika rakyat diizinkan untuk mencetak uang maka akan menimbulkan akibat buruk, yaitu: a) memberikan peluang dalam pencetakan uang dengan mencampurkan emas yang murni dengan yang rendah mutunya, yang disebut maghusy, b) dapat merusak nilai mata uang bahkan menaikan harga (inflasi).
Kembali kepada pemikiran dan gagasan al-Ghazali, sebagai informasi mengenai moneter pada dasarnya dalam pem-buatan uang yang dilakukan tanpa izin dari penguasa (pemerintah) adalah dilarang dalam agama Islam. Artinya, para pengedar dan pembuat uang palsu tersebut harus di hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut. Dalam hukum Islam, hukum tetap bagi para pengedar dan pembuat uang tersebut. Oleh karena itu besar sekali kesalah-an menurut agama, orang yang mencoba mengedarkan uang palsu.122
Lebih lanjut al-Ghazali, menginformasikan masalah dosa pemalsuan/pengedaran uang dengan  pencuri lebih berat pemasluan uang, meskipun keduanya merupakan perbuatan tercela. Ia katakan, bahwa mencuri adalah suatu kemaksiatan yang setelah dikerjakan, hanya orang yang mencurilah yang berdosa dan orang yang dicuri yang merasa dirugikan, setelah itu tidak ada lagi. Akan tetapi mengedarkan uang palsu adalah perbuatan dosa yang bersambung, yaitu sejak pembuat pertama sampai kepada yang menerima, bahkan sampai kepada yang terakhir menerima uang tersebut, selama uang itu masih beredar di tengah-tengah masyarakat.123
Maka berbahagialah orang yang meninggalkan dunia karena dengan meninggalkannya, berarti berhenti pula seluruh dosa yang dibebankan kepadanya. Sebaliknya, amat celakalah orang yang meninggalkan dunia, tetapi masih tetap berlang-sung terus-menerus dosanya sampai seratus tahun atau lebih, sampai rusaknya uang palsu yang dibuatnya itu. Benar-benar celaka orang yang punya dosa yang mengalir, "kami men-catat apa saja yang telah mereka lakukan dahulu dan apa saja yang merupakan bekas dari amal-amalnya itu ".124
Pelajaran berharga didapat dari seorang pengikut mazhab Syafi’i, yaitu Abu Hamid al-Ghazali yang telah memberikan informasi mengenai betapa rendahnya perbuatan pemalsuan dan pengedaran uang palsu. Meskipun barangkali informasi ini jarang ditemui dalam bahasan mengenai fiqh klasik. Tetapi al-Ghazali dengan sangat jelas memberikan informasi mengenai perbuatan yang satu ini. Menurut Al-Ghazali, yang dimaksud dengan mencatat apa saja yang merupakan akibat dari perbuatan mereka adalah perbuatan yang timbul sesudahnya. Karena perbuatan mereka adalah perbuatan yang timbul sesudahnya, dan perbuatan mereka merupakan akibat dari amalan-amalan yang dahulu (sebelumnya), yang tercatat sebagaimana asal mula amalan­-amalan yang dahulu itu, sembari mengutip ayat, "akan diberitakan pada manusia pada hari kiamat apa saja amalan yang dilakukannya dahulu atau sekarang".125
Dalam tulisan M. Khoiruddin, tentang Pemikiran al-Ghazali mengenai uang, khususnya masalah peredaran uang palsu. Menurut al-Ghazali, bahwa peredaran uang palsu, yaitu dengan kandungan emas atau perak yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah, beliau kecam keras126. Menurutnya mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri 1.000 Dirham. Perbuatan mencuri adalah satu dosa, sedangkan mencetak dan meng-edarkan uang palsu adalah dosa yang terus berlipat setiap kali uang itu dipergunakan. Dengan beredarnya uang palsu maka tidak hanya satu pihak yang dirugikan, tetapi banyak pihak dan terus bertambah dari waktu ke waktu seiring dengan terus bergulirnya uang palsu tersebut pindah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
Seseorang yang mendapatkan uang palsu akan mencoba untuk membelanjakan lagi uang tersebut ke orang lain dengan sembunyi-sembunyi atau menipu, karena dia tidak mau menanggung rugi, dan begitu seterusnya. Dengan demikian nilai mudharatnya bisa jadi akan lebih besar daripada uang senilai 1.000 Dirham. Implikasi makro ber-edarnya uang palsu ini juga akan dapat mendorong tingkat inflasi, karena akan menambah jumlah uang beredar di masyarakat di luar uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Berikut ini kutipan pernyataan beliau:
Memasukkan uang palsu dalam peredaran merupakan suatu kezaliman yang besar. Semua yang memegangnya dirugikan, peredaran suatu dirham palsu lebih buruk daripada mencuri seribu dirham, karena tindakan mencuri merupakan sebuah dosa, yang langsung berakhir setelah dosa itu diperbuat; tetapi pemalsuan uang merupakan sesuatu yang berdampak pada banyak orang yang menggunakannya dalam transaksi selama jangka waktu yang lama.
Selanjutnya, beliau membolehkan peredaran uang yang tidak mengandung emas dan perak, asalkan pemerintah menyatakan uang tersebut sebagai alat bayar yang resmi. Bila terjadi penurunan nilai uang akibat dari kecurangan, maka pelakunya harus dihukum. Namun apabila pencam-puran logam dalam koin merupakan tindakan resmi pemerintah dan diketahui oleh semua penggunanya, maka hal tersebut dapat diterima.Kemudian, secara tidak langsung beliau membolehkan kemungkinan penggunaan uang repre-sentatif (token money). Hal tersebut dapat disimak dari pernyataan beliau berikut ini:
Zaif (suasa, logam campuran), maksudnya adalah unit uang yang sama sekal tidak mengandung perak; hanya polesan; atau dinar yang tidak mengandung emas. Jika sekeping koin mengandung sejumlah perak tertentu, tetapi dicampur dengan tembaga, dan itu merupakan koin resmi dalam Negara tersebut, maka hal ini dapat diterima, baik muatan peraknya diketahui ataupun tidak. Namun, jika koin itu tidak resmi, koin itu dapat diterima hanya jika muatan peraknya diketahui.
Dari beberapa pelajaran yang dapat diambil dari al-Ghazali adalah bahwa uang palsu dan yang mengedarkannya, merupakan perbuatan tercela yang dosanya akan terus mengalir bila dibanding hanya sekedar mencuri. Meskipun keduanya merupakan perbuatan yang berdosa. Karena itu, Al-Ghazali menghimbau kepada kaum muslimin agar:
Pertama, apabila dia telah mengetahui bahwa uang itu palsu, maka harus secepatnya dilenyapkan atau melaporkan ke­pada pihak yang berwajib, agar dapat diselidiki lebih luas, karena dimungkinkan bukan uang itu saja yang beredar.
Kedua, bagi orang muslim yang usahanya dengan berdagang, seyogyanya belajar untuk mengetahui bagaimana caranya membedakan antara uang yang asli dan yang palsu. Agar peredarannya dapat dibatasi sebab pedagang mempunyai peranan yang cukup besar dalam peredaran uang. Yang demikian untuk memperkecil gerak peredaran uang palsu tersebut.127
c.   Memuji Barang Secara Berlebihan
Memuji adalah salah satu perbuatan terpuji, sebagai perwujud an dari rasa bersyukur karena telah memperoleh kebaikan. Istilah "tsana" atau "hamd" (pujian) dapat disampaikan secara lisan kepada yang dipuji maupun secara perbuatan dengan berbuat yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang di-larang.128
Pujian atas sesuatu yang bukan pada tempatnya dalam agama Islam dilarang, sama dengan mengatakan yang tidak sebe­narnya (dusta). Begitupun dalam masalah menawarkan barang dagangan. Biasanya motivasi untuk melebih-lebihkan barang dagangannya adalah agar cepat laku terjual, pada hal kualitas barangnya atau mutunya tidak seperti yang di promosikan.
Bagi Al-Ghazali, pujian semacam ini dianggap menyalahi aturan agama. Menurutnya, meninggalkan pujian, jika ia men­shifati barang dagangan dengan sesuatu yang tidak ada padanya maka itu dusta. Jika pembeli menerima hal itu maka itu termasuk tipuan dan kezaliman dengan keadaan ia berdusta. Meskipun pujian terhadap barang dagangan itu benar sesuai dengan mutu dan sifatnya, akan tetapi tetap saja itu merupakan perbuatan mubazir.129
Dalam pada itu, Al-Ghazali ingin agar dalam persoalan ini baik penjual dan pembeli, secara tidak ada paksaan mau dengan pilihannya sendiri sehingga harga tetap terjaga. Namun bila ban­yak mengeluarkan kata-kata pujian bahkan sampai bersumpah dan menjelek-jelekan barang orang lain ini yang dilarang.
Allah swt barfirman :


Artinya: "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melain kan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir".
Rasulullah saw bersabda;
اليمين الكاذبة منغقة للسلعة ممحقة للكسب
Artinya: "Sumpah yang dusta itu melakukan barang dagangan dan menghapuskan berkah ".130 (H.R. Mutaffaq `Alaih dari hadits Abu Hurairah)
Ayat dan hadits ini dipahami oleh Al-Ghazali, bahwa apabila pujian terhadap dagangan itu jujur maka tetap saja makruh hukumnya, sebab bagaimanapun tetap mengandung pujian yang berlebihan oleh karenanya transaksi ini tidak membawa keberkahan. Padahal, sebenarnya jika mereka tahu keuntung an akhirat itu lebih utama dari pada keuntungan dunia131.
d.  Menyembunyikan Cacat Barang
Seorang pedagang hendaklah menunjukan semua cacat barang-barang yang diperdagangkan itu, baik yang terlihat ataupun yang tidak terlihat. Sedikitpun jangan sampai ditutupi kejelekannya, sebab perbuatan itu merupakan suatu peng-aniayaan dan dosa, karena tipuannya itu.132
Seperti juga menunjukan permukaan yang baik dan menu­tupi kejelekan yang ada di dalamnya, maka perbuatan itu ter-masuk perbuatan dusta terhadap orang lain. Ada juga yang menyinari dagangannya dengan lampu, agar warna dagangannya itu tampak indah, seperti menjual kain, sepatu dan lain sebagainya.133
Dalam menyikapi hal ini, Al-Ghazali mengutip sebuah hadits Nabi SAW, "Dua orang yang berjual beli apabila keduanya jujur dan memberi nasihat maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka, dan apabila keduanya menyembumyikan dan berdusta maka dicabutlah berkah itu dari mereka ".134
Hadits ini mengandung pengertian bahwa penyempurnaan nasihat dalam perdagangan adalah perbuatan yang dianjur kan agama. Karena secara hakikat, keuntungan akhirat lebih baik dari pada hakikat keuntungan dunia, ribhul akhirah khair min ribh al-dunia. Dan sesungguhnya faedah-­faedah harta dunia itu akan habis dengan habisnya umur, sedang­kan ke-zaliman dan dosa-dosa itu kekal135. Inilah pendekatan sufistik yang digunakan oleh Al-Ghazali dalam menerangkan sejumlah pemikirannya, terutama dalam bidang ekonomi dan aktivitas nya.
e.  Aqd al-Riba
Salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang paling buruk dalam pandangan agama Islam adalah riba. Riba merupakan suatu pekerjaan yang mengekploitasi umat manusia. Islam sebagai mana agama-agama samawi lainnya, telah sepakat untuk mengharamkan riba, karena riba mengandung unsur penin dasan yang kuat terhadap yang lemah, pemerasan harta terhadap orang yang sedang membutuhkan. Disamping itu juga bertentangan dengan sifat kegotong-royongan dan tolong menolong yang dianjurkan oleh syari'at. Sehingga, Islam me-nutup pintu bagi siapa saja yang berusaha mengem bangkan uangnya dengan jalan riba.136
Sebagaimana penjelasan terdahulu pada pembahasan ten-tang riba dan pertukaran mata uang, Al-Ghazali memper- tegas lagi tentang riba. Menurutnya, tidak ada riba, kecuali pada uang dan makanan. Oleh karena itu, wajib atas pe-nukar uang (money exchanger) untuk menjaga diri dari nasi'ah (tempo) dan riba fadl (riba karena menambah barang.137
Pelarangan riba nasi'ah mempunyai pengertian bahwa pe-netapan keuntungan positif atas uang yang harus dikem-balikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti (waiting time) pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari'ah138. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menjelaskan, terjadinya riba nasi'ah karena adanya waktu tunggu (waiting time). Ter-hadap tambahan uang, ia mensyaratkan terhadap praktek pertukaran (sharf) ini dengan cara kontan139. Larangan ter sebut sangatlah jelas sekali dan mutlak serta tidak meng-andung perdebatan.
Sementara istilah riba dan bunga dalam sejarah hukum perekonomian telah mengalami pasang surut serta evolusi panjang bersamaan dengan timbulnya lembaga keuangan nya. Lembaga keuangan ini timbul, karena kebutuhan akan modal untuk membiayai industri dan perdagangan140. Di samping, bank menangani masalah jasa finansial, perdagang an dan kredit, lembaga keuangan tersebut juga menjadi tempat pertukaran uang (exchange of money).
Adapun konsep Al-Ghazali tentang praktek riba serta bunga bank ternyata disepakati oleh ekonom muslim kontemporer. Menurutnya, terjadinya bunga bank (baca: riba) adalah karena transaksi pada lembaga perbankan yang secara teknis melakukan penundaan (nasi'ah)141,  tanpa menanggung resiko (risk) yang jelas.
Pemikiran Al-Ghazali ini dapat kita simak dalam tulisan Murasa Sarkaniputra tentang riba (baca: bunga bank) dalam makalahnya tentang "Mengolah Lahan Sebagai Wujud Ke-imanan dan Syukur dalam Konteks Masyarakat Madani". Menurutnya, uang bagaikan ayam betina yang tidak bertelur, karena itu bunga bank diharamkan. Begitu juga dalam Kitab-­Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan al Qur'an melarang bunga bank142. Kenapa riba nasi'ah hanya jatuh pada waktu tunggu? Mengapa ia mengerjakan spekulasi (gharar) untuk menimbun barang atau karena hanya ingin "Keuntungan"?.
Jika kita kaitkan dengan konsep Al-Ghazali tentang teori penundaan pada riba nasi'ah, Murasa Sarkaniputra telah melakukan riset melalui pendekatan matematisnya. Ternyata alasan Al-Ghazali tersebut beralasan; tambahnya.
Sebab secara sistematis, misalnya: uang A2010 = uang A1999 (1 + i )11 jika kita selesaikan persamaan ini dengan menggunakan prosedur logaritma, maka akan diperoleh:
Log uang A2010= Log uang A1999 + 11 Log(l + i)
Kita bisa lihat dalam persamaan ini, bahwa nilai 11 menunjukan tenggang waktu ( waiting time) ketika seorang menyimpan uangnya di suatu bank, dan menginginkan uang selama 11 bulan dengan tingkat bunga (rate interest) tertentu (1 persen). Bila kita sebutkan bahwa tingkat bunga i adalah operator dan 11 adalah waiting time (kata Marshall) karena seorang telah berkorban selama sekian lama. Maka persamaan di atas termasuk valid, apabila bunga bank tidak dilarang.143
Pendekatan sufistik menawarkan lain dari ini, demikian kata Murasa, yakni karena waktu adalah milik Allah Swt dan tambahan untuk uang yang disimpan adalah haram hukumnya, karena uang diibaratkan sebagai ayam betina yang tidak bertelur dan hanya sebagai alat tukar saja serta store of value, maka manfaat uang di bank adalah hasil dari investasi yang dikerjakan oleh masyarakat bisnis. Baru ketika masyarakat bisnis memperoleh laba tertentu, para penabung dan investor sama­-sama memperoleh bagian dari hasil kerja masyarakat dunia bisnis itu. Di sini, lanjut Mursa, ada delay bagi sang penabung dan investor, karena menunggu hasil kerja sama usahanya, maka delay diisi dengan do'a. Oleh karena itu, tingkat bunga harus dinolkan, sehingga persamaan diatas menjadi:
Log uang A2010 = Log uang A1999 + 11. log (1+0), karena Log 1= 0, maka uang A 2010= uang A 1999. Hanya jika uang diinvestasikan, yang berarti menyerap tenaga kerja, maka sang penabung memperoleh bagian hasil dari tabungannya. Pemikiran ini sesuai dengan konsep Al-Ghazali dan sekaligus penafsiran lain dari "Centimeter", "Gram", "Second", (cgs)-nya Newton.144
Sementara riba fadl dalam pandangan Al-Ghazali terjadi karena dua hal, yaitu:
a.    Penjualan dengan berbeda kualitas, antara yang baik dan yang buruk, kecuali sama.
b.    Penjualan dengan cara dicampur, banyak dan sedikit. Penjualan dengan cara dicampur, misalnya dinar di­campur dengan dirham dari emas dan perak.145
Dengan kata lain, riba fadll ini dapat pula berupa barang (komoditi) atau uang dan dijumpai dalam pembayaran secara kontan serta obral barang dagangan. Sungguhpun demikian dewasa ini, bagi mereka yang tetap berkeyakinan bahwa bunga bank yang kita kenal sekarang adalah riba yang di-haramkan, maka bank syari'ah Islam (BSI) adalah konsep alternatif untuk menghindari larangan riba tersebut, sekaligus untuk menjawab tantangan kebutuhan kredit guna pengem bangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya adalah transaksi (kredit) berdasarkan tiga modus:146
Pertama, Mudharabah yang mana kreditur berkedudukan sebagai sleeping permer, tetapi menyediakan modal. Sedang kan debitur bertindak sebagai pihak yang menjalankan atau active partner atas dasar perjanjian (suka-rela) bahwa laba atau rugi akan ditanggung bersama.
Kedua, modus Musyawarah, dimana kedua belah pihak menyediakan modal maupun aktif menjalankan usaha dengan sendirinya sama-sama bertanggung jawab terhadap kerugian maupun keuntungan.
Ketiga, Murabahah, dimana bank melakukan pembelian untuk sebagian atau seluruhnya terhadap suatu barang dengan perjanjian bahwa barang itu akan dijual kembali kepada debitur dengan harga yang lebih tinggi (mark-up) sesuai dengan perjanjian.
Oleh karena itu, demi untuk menjaga dari unsur ribawi, Al-Ghazali menekankan agar supaya para pedagang dan peng-usaha untuk mengetahui ilmu agama secara mendasar. Karena, diantara yang perlu diwaspadai dalam rangka melakukan suatu kegiatan ekonomi adalah terhindar dari unsur Nasi'ah (tempo) dan Fadl (kelebihan).147
f.   Curang dalam Menimbang clan Menakar Timbangan
Al-Ghazali maupun ulama yang lain dalam membicarakan masalah kecurangan dalam timbangan tidak metolelir per-buatan yang satu ini. Bagi Al-Ghazali, sebaiknya dalam menakar timbangan berlakulah adil dan berhati-hati, karena kecelakaan akan menimpa orang yang curang. la mengutip al-Qur'an, surat al-Muthaffifin ayat 1-3: "Kecelakaan yang amat besar bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka di penuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain , mereka mengurangi ".
Dalam pemahaman Al-Ghazali ayat ini mengandung ancaman serta sindiran bagi pelaku bisnis yang bertindak curang dan tidak adil untuk segera sadar dan berhati-hati. Sebab jika tidak mengindahkan peringtan ini, ia telah berbuat kefasikan (dosa). Di samping ditekankan supaya tidak berbuat curang, Islam menurut Al-Ghazali, melarang pula berbuat yang melampui batas, 'janganlah kalian melampaui batas neraca itu, dan tegakkanlah i'mbangan itu dengan adil dan jangan lah kamu mengurangl neraca itu ".148
Dani pada itu, Al-Ghazali memahami bahwa yang dimaksud bukan hanya secara fisik yang berbentuk timbangan, tetapi neraca dalam perbuatan. Menurutnya, perkataan-perkataan dan getaran-getaran hatinya harus adil dan jujur pula. Muatan sutistik ini diterapkan oleh Al-Ghazali hampir pada semua gaga­san dan pemikirannya, karena tujuan awalnya adalah ia ingin mengetahui kebenaran yang sejati.149
g.  Menyembunyikan Harga Pasar
Harga pasar adalah harga umum yang terjadi akibat adanya supply dan demand (permintaan dan penawaran) sesuai dengan kesepakatan sacara kolektif maupun individu. Jika harga pasar berlaku maka tak seorang pun dapat mengin tervensi.
Dalam teori ekonomi makro, terjadi permintaan agregat di dalam suatu ekonomi ditentukan oleh keseimbangan­-keseim-bangan yang dibentuk oleh faktor riil dan sektor moneter. Sektor riil biasa disebut sebagai pasar uang. Untuk mencapai keseimbangan harga (price equilrbrium) pada pasar riil itulah maka Rasulullah Saw, melarang pada penghadang rom-bongan.
Artinya: "Rasulvllah saw melarang penghadangan rombongan serta melarang pula berlomba lomba dalam menai kan harga".150 (H.R. Bukhari Muslim)
Hadits ini dipahami oleh Al-Ghazali, bahwa barang siapa yang menghadang (menjemput bola) serombongan pedagang sebelum sampai ke pasar dengan motivasi ingin menghancur kan dan mengacaukan harga pasar maka termasuk perbuatan dzalim, yang tidak dibenarkan agama.151
Dalam keterangannya mengenai larangan terhadap harga pasar, Al-Ghazali telah menegaskan kebijaksanaan dengan cerdas, bahwa jujur dalam harga dan waktu dan tidak men-yembunyikan sesuatu dari padanya. Padahal kata Al­-Ghazali, Rasulullah Saw sangat melarang perbuatan saudagar atau pembeli yang menyembunyikan harga pasar, atau menyata kan harga di bawah dari harga yang sebenarnya kepada orang yang belum mengetahui-nya, sehingga dia membeli dengan harga yang murah dan orang yang tidak mengetahui nya membeli dengan harga yang tidak sepadan dengan yang lain.152
Menurut Al-Ghazali, terkadang ada saudagar yang datang ke desa-desa atau mencegat orang ditengah-tengah jalan yang hendak menjual barang dagangannya ke pasar, lalu dikatakan bahwa harga pasar sekarang sangat turun dan lebih baik dijual disini saja, padahal harga pasar lebih tinggi dari pada harga yang ditawarkan kepada petani itu.153
Dari penjelasan-penjelasan Al-Ghazali tersebut di atas, kita dapat ambil sebuah kesimpulan bahwa penghadangan ter-hadap rombongan yang akan berjualan di pasar oleh para tengkulak dengan tidak mengindahkan norma dan tata cara dalam berdagang sangat tidak etis dan tidak dibenarkan. Dengan perkataan lain, apapun jenis dan bentuk usahanya jika tidak sesuai dengan ajaran Islam maka termasuk per-buatan yang dilarang. Dan begitulah Al-Ghazali dalam men-jelaskan cabang-­cabang ilmu yang tertuang dalam karyanya yang terbesar, yaitu: Ihya Ulumuddin, kitab monemental karangan nya.
D.  Evaluasi dan Analisis
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali yang tertuang dalam karya nya telah banyak memenuhi khazanah (turats) intelektual dunia Islam. Penelitian-penelitian mengenai pemikirannya itu hampir tidak pernah terlupakan, bagaikan ombak yang tak pernah ver-henti menyisir lautan, serta pro dan kontra pun banyak ber-datangan mengenai ide dan gagasannya itu.
Sikap skeptis yang pernah dialaminya mengundang kekaguman banyak pihak, sehingga menganggap bahwa cara inilah epistemologi jitu dari AI-Ghazali dalam menemukan dunia sufitik yang dilakoninyanya. Oleh karena itu, kita banyak dapat belajaran dari pemimpin intelektual besar, sekaliber Al-Ghazali. Meskipun ia tidak secara khusus bergelut dalam dunia bisnis, malahan sebagai seorang sufi, ia tidak mempunyai minat khusus terhadap aktivitas perekonomian, perhatiannya yang; utama tertuju pada hakikat alam ruhani sedang yang bersifat material pada umumnya hanya disinggung sejauh hal itu penting bagi tubuh, kendaraan bagi jiwa dalam perjalanannya menuju akhirat.
Sehingga wajar apabila ulama besar itu menganggap kekayaan sebagai, penghambur waktu dan tenaga manusia yang fana". Dan tak berguna pada hari kematiannya. Inilah yang kemudian disalah pahami bahwa A1-Ghazali adalah anti dunia, sufi yang tidak senang terhadap dunia dan isinya. Padahal, dari berbagai perumpamaan yang dipergunakan oleh Al-Ghazali, kata Richard, adalah untuk menerangkan hubungan antara badan dan jiwa dan antara nilai-nilai kerohanian dan nilai jasmaniyah. Dapat kita simak untaian mutiara hikmah Al-Ghazali, sebagai berikut:
"Seperti seekor unta milik seorang peziarah, begitulah tubuh. Tubuh itu menyerupai hewan yang dikendarai oleh hati, sang peziarah berkewajiban memberi makan dan minum pada sang unta supaya ia dapat mencapai ujung perjalanan dengan selamat. Tetapi perhatian yang diberikan oleh sang peziarah terhadap untanya hendaklah dalam ukuran yang sewajarnya, sesuai dengan kebutuhan. Apabila ia terlalu sibuk mengurus untanya sepanjang hari dan sepanjang malam, dan menghabis kan sebagian besar waktunya untuk memberi makan dan minum kepada binatang kendaraannya, maka ia tak akan sampai Pada-tujuannya semula, sehingga terlepas dari kegilaanya dan kehilangan harta miliknya, dan keruntuhanlah yang terjadi..... jika ia tidak dapat mencaapai istana kebahagiaan, melainkan mengembara dalam belantara kehancuran".154
Dari pemikiran Al-Ghazali ini dapat kita simpulkan bahwa kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang bersumber dari ma'rifatullah dan kecintaan kepada-Nya. Jika rasa cinta sudah berada dalam hati setiap insan, maka terbukalah cahaya llahiyah. Dan jika telah mampu memperolehnya, apapun yang di-lakukan akan merasa bahwa Allah hadir dihadapannya. Sehing ga keberuntungan akan selalu menyertainya.
Di sisi lain, khusus dalam seluruh aktivitas kegiatan manusia, Al-Ghazali menekankan harus didasari atas niat yang suci dan ihlas hanya karena Allah swt. Hal ini perlu dituntun dengan sikap moralitas (akhlak) sebagai pemandu dalam kesehariannya berbisnis dan bertindak, berbuat dan berkehendak serta ibadah adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap muslim.Bagi Al-Ghazali, berbisnis mencari ma'isah atau kasab, khususnya masalah jual beli kelihatannya tidak jauh berbeda dengan ahli-ahli Islam lainnya (fuquha) dari mulai rukun, syarat dan lain-lain. Namun demikian, dalam percaturan bisnis sekarang akan tampak persoalan yang tidak selalu berhadapan langsung (vis to vis) dengan pihak-pihak yang melakukan bisnis kerap kali terjadi dan hal ini akan merepotkan fiqhul al ba'i yang kita kenal sekarang. Oleh karena itu, barang kali yang perlu dicatat adalah bahwa sikap kejujuran dan keterbukaan tanpa ada unsur paksaan adalah yang harus diutamakan.Demikian juga relevansi pemikiran Al-Ghazali yang lain, semisal: syirkah, qiradl-mudharabah dan yang lebih penting adalah harus dapat membedakan mana yang baik dan tidak. Tentang masalah syirkah, qiradh dan ba'i nampaknya dalam ekonomi Islam telah menjadi suatu produk andalan dalam berbisnis, terutama bisnis perbankan.
Sehingga dapat kita katakan bahwa kegiatan ekonomi yang diharapkan Al-Ghazali adalah kegiatan yang bernuansa kejujuran dan kebaikan dengan disikapi niat karena membantu meringankan kebutuhan orang lain. Inilah maksud kegiatan ekonomi Al-Ghazali yang dilandasi oleh pemikirannya tentang bagaimana ia menyikapi kehidupan dunia sebagai mazra'ah al akhirat, dunia adalah ladang akhirat, siapa yang banyak berbuat kebajikan dalam berbisnis dan bermuamalah maka dialah yang akan mendapatkan pahala. Dan inilah konsep Al-Ghazali tentang kegiatan ekonomi yang selalu dikaitkan dan disinergikan dengan tasawuf sebagai pengejawantahan dari rasa syukur terhadap nikmat-nikmat-Nya. Meskipun ada suatu hal yang sangat disayangkan dari sosok Al-Ghazali dengan konsep "zuhud"-nya yang menjadi halangan untuk dapat menerapkan dan mempraktekan konsepsinya itu sebagai suatu ajakan kepada para pelaku bisnis.


1 al-Ghazali, Ihya…, hlm.66, Jilid 2
2 Ibid.
3 Al-Ghazali, Ihya…, hlm,63-66

4 al-Qur’an, Surat an-Naba, ayat 11
5 al-Qur’an, surat al-A’raf, ayat 10
6 al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 198
7 al-Qur’an, surat al-Muzammil, ayat 30
8 a-Qur’an, Surat al-Jumu’ah, 10
9 Quraish Shihab, wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1996., hlm.403
10 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid II, Beirut, Tanpa Tahun, hlm.123, kedudukan sanadnya shahih.
11 Ibid
12 kedudukan Hadits ini dapat diterima dan shaheh. Lihat, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Nur Asia, hlm. 158. Juga dalam Imam Bukhari, Shahih Bukhari., hlm 123
13 H.R Tabrani dari Ka’ab ibnu Ujrah dengan sanad Dha’if. Dikutip dari Ibrahim asy-sSyamaraqandi, Thanbihul Ghafilin,.hlm. 163
14 Al-Ghazali,Ihya….,op.cit. hlm. 163
15 Al-Ghazali, ibid
16 Al-Ghazali, ibid
17 Al-Ghazali, Ihya…., hlm. 65
18 Al-Ghazali, ibid
19 Al-Ghazali, Ihya…, hlm. 65
20 Al-Ghazali, ibid
21 lihat keterangan lebih lengkap dalam Mohammad Rawwa Qal’ahjy, Mabahis fi al-Iqtishad al-islam min Ushulihi al-Fiqhiyah, Dar al-Nafais, Beirut: London, 412 H./1991 M., h. 67 Cet. 1
22 Ibrahim Abu Bakar, Ciri-ciri Usahawan Islam, Kualalumpur, 1992, h. 15
23 Robert L. Heilbroner, Membentuk Masyarakat Ekonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h. 15
24 Dikutip dari Khursid Ahmad dan Za’far Ishaq Ansari (Ed.), Islamic Perspective, 1980, h. 192
25 Ibid., h. 26-27
26 Yusuf Qardhawi, Daur al-Qayyim wa Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami, Kairo, 1995, h. 142. Malahan al-Ghazali menganjurkan untuk memahami dan mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kehidupan (mencari penghidupan), Ihya Ulumuddin, Jilid II
27 Kebutuhan (basic need) dibagi menjadi tiga. Pertama, dharuri (primer), yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menegakkan kemaslahatan agama dan dunia. Kedua, al-Hajiyat (sekunder) adalah kebutuhan tambahan (comp-lementary) untuk memperluas dalam ibadah, adat, dan transaksi (muamalah). Ketiga, al-Tahsiniyah adalah suatu kebutuhan untuk pelengkap yang sem-purna. Lih. Shaleh Ahmad as-Syami, al-Imam al-Ghazali, Damsyiq, Darul Qalam, 1993, h. 238
28 Amir Aktari dalam Structural Framework of Islamic System, Journal, Mei-Juni, Tahun 1988, h. 26 yang diedit oleh Anur R. Sophiana dalam buku Etika Ekonomi Politik, tahun 1991, h. 91
29 Anis SM. Basalamah (Ed.) dalam buku Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Depok, Usaha Kami, 1996, h. 3-4
30 al-Ghazali, Kimia asy-Sya’adah, Op.Cit.. Juga dalam tulisan C. Field, The Alchemy of Happenes by al-Ghazali, London, 1910, h. 45
31 al-Ghazali, Mizan al-Amal, Op.cit.
32 al-Ghazali, Mizan... Op.cit.
33 M. Abdul Jabbar Bek (Ed.), Seni dalam Peradaban Islam, Pustaka, Bandung, 1988, h. 21
34 al-Qur’an, surat at-Taghabun, ayat 15
35 al-Gazali, Mizan... Op.cit., h. 201
36 Dalam surat al-Munafiqun, ayat 9
37 al-Ghazali, Mizan.... Ibid.
38 Ibid.
39 Mizan, h. 204
40 Keterangan lebih lanjut tentang kebutuhan pokok telah dibahas dimuka. Op.cit
41 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an... Ibid.
42 al-Ghazali, Ihya... h. 114 Jilid 4
43 al-Ghazali, Mizan... h. 206
44 Ibid., h. 207
45 Ibid., h. 204
46 Inilah ciri penting dalam sistem ekonomi Islam makro, khussunya keuangan publik. Zakat dipungut dari harta benda bersih, baik yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan produktif, maupun tidak seperti untuk perhiasan (bermewah-mewah). Monzerh Kahf, Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Yogya, 1995, h. 76
47 Ihdya...., Ibid., h. 208
48 Ibid.
49 Ibid.
50 Ibid., h. 210
51 Ibid., h. 212
52 HR. Bukhari Muslim dalam Kitab Shahih Bukhari, dengan sanad shahih.
53 al-Gahazali, Op.cit
54 Ibid., h. 213
55 Ibid.
56 Ibid.
57 Taqyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Ibid., h. 74
58 M. Nejatullah ays-Shiddiqi, The Economic Enterprise in Islam, Lahor, Pakistan, 1979, h. 3
59 al-Ghazali, al-Musthasfa, Jilid I, 1937, h. 139-140
60 Biasanya istilah ini digunakan buat pola produksi pertanian dimana seorang petani hanya memiliki tanah sempit atau bermukim jauh dari pasar, memproduksi buat keperluan dirinya sendiri beserta keluarganya. Istilah ini digunakan tidak hanya buat produksi pertanian (pangan), akan tetapi juga buat produksi subsistensi itu. Menurut Evers merupakan satu bagian dari prakondisi dari ekonomi masyarakat yang sudah mengalami kemajuan. Dikutip dari Selo Soemardjan, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta, YOI, 1988, h. xi
61 Tambahan kutipan dari Muhammad Findi A, Iqtishodia, Jurnal ekonomi Islam Republika, Membedah Pemikiran Ekonomi al-Ghazali, Kamis 30 September 2010.
63 Dalam teorinya ini, al-Ghazali telah mengenal pembagian kerja yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai teori defision of labour. Lihat al-Ghazali, Ihya, Jilid 3, h. 104
63 Secara umum keterangan ini dapat pula ditemui dalam tulisan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman, Rahmat al-Ummah, Kualalumpur, T.th., h. 129
64 Taqyuddin an-Nabhani, Ibid., h. 149
65 al-Qur’an, Surat an-Nisaa, ayat 29
66 al-Ghazali, Ihya...Jilid 2, h, 66
67 Ibid.
68 Ibid.
69 Ibid., h. 67
70 Ibid.
71 Ibid
72 Analisis ini dapat ditemui dalam buku Faisil Afifi, dkk., Strategi dan Operasional Bank, Ibid., h. 227
73 Jual beli Musyarakah adlah biasa dimana penjual memasang harga tanpa memberi tahu kepada si pembeli berapa besarnya margin keuntungan yang diambil. Sedangkan at-Tauliyah, adalah menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun, seolah-olah si penjual menjadikan si pembeli sebagai walinya atau barang asset. Ibid., h. 228
74 Kutipan ini bisa ditemui dalam tulisan Komaruddin Hidayat, Memehami Bahasa Agama: Kajian Hermeneutik, Jakarta, Paramadina, 1996, 108
75 Affifi, Ibid., h. 71
76 al-Ghazali, Ihya... Jilid 2, h. 71
77 Ibid.
78 Sutan Reny, Perbankan Islam, 1999., Ibid., h. 69
79 Sayyid Sabiq, Fihq as-Sunnah, Jilid 13, Ma’arif, Bandung, h. 7
80 Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, 1999, h. 155
81 Chatibul Umam, Ilmu Fiqh, h. 1
82 Antonio, Ibid., h. 156
83 al-Ghazali, Ihya.., Jilid 3, h. 156
84 Ihya, Jilid, 2,. h. 72
85 Ibid.
86 Sutan Reny, Ibid., h. 71
87 Ibid.
88 Adiwarman Karim, Bank Islam, IIIT, Jakarta, 2003, h. 108
89 M. Duad Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta, UI Press, 1988, h. 15
90 al-Qur’an, 73: 20
91 Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz.
92 Sayyid Sabiq, Ibid., h. 31
93 M. Abdurrahman, Rahmatul Ummah, h. 178
94 M. Nejatullah Siddiqi, Parthernship, Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996, h. 8
95 Nyla Comari-Obied, The Law of Business Contracts in The Arab Midle East, London, 1996, h. 179
96 Adiwarman, Ibid., h. 189
97 Shalabi, al-Iqthisad fi Fikr al-Islamiy, Dar al-Nahdah, Cairo, 1990, h. 90
98 al-Ghazali, Ihya, h. 73
99 al-Ghazali, Ihya..., Ibid.
100 Adiwarman, Ibid., h. 186
101 Adiwarman, Ibid., h. 90
102 Ibid.
103 Q.S. Thaha, 20;32-33
104 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakart, 1995, h. 250
105 Taqyuddin an-Nabhani, Ibid., h. 153
106 Nejatullah Siddiqi, Riba dalam Pandangan al-Qur’an dan Masalah Perbankan, RajaGrafindo, Jakarta, 1956, h. 8
107 Ibid., h. 1
108 Abdul Rahman Do’i, Muamalah, Srigunting, Jakarta, 1996, h. 34
109 Dikutip dari Adiwarman, Ibid., h. 91
110 Taqyuddin, Ibid., h. 155
111 Ibid.
112 Umar Chapra, Towards...., h. 235
113 al-Ghazali, Ihya..., h. 73
114 al-Ghazali, Ibid., h. 74
115 Ibid., Jilid 3., h. 73
116 Ibid.
117 Abu A’la al-Maududi, Esensi al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, h.
118 al-Ghazali, Ihya.., Ibid., h. 74
119 al-Ghazali, Ibid., h. 74
120 Op.cit.
121 Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat dalam artikel berjudul Otoritas Moneter dalam Kitab Kuning, yang ditulis oleh M. Anwar Ibrahim dimuat di HU. Republika, tahun 2000.
122 al-Ghazali, Ihya... h. 87
123 Ibid.
124 Ibid
125 al-Qur’an Surat Al-Qiyamah, ayat 13
126 Dikutip dari tulisan M. Khoiruddin, Studi Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah Tentang Uang, dalam internet tidak diterbitkan.
127 Al-Ghazali, Ihya….,h. 76
128 Quraish Shihab, wawasan…,h. 215
129 Al-Ghazali, Ihya….,hlm. 76
130 Hadits ini dapat ditemukan dalam Mustafa M. Imarah, Jawahirul Bukhari, h. 237. Kedudukan Hadits ini, menurut al-Hakim adalah sahih sanadnya.
131 al-Ghazali, Ihya..., h. 77
132 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 77
133 Ibid.
134 Ibid.
135 Mustafa M. “imarah, op.cit., hlm. 2325. Hadits ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Izam.
136 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 78
137 Bahesty Bahonar, Our Philosopy, Terj., Risalah Masa, Surabaya, 1992., hlm. 42
138 Saefudin Mujtaba, Sucikan Harta Anda, Gema Insani Press, Jakarta, 1995., hlm. 49
139 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 80
140 Umar Chapra, Op.cit., hlm. 28
141 Al-Ghazali, Op.Cit.
142 Dawan Raharjo, ensiklopedi…,hlm. 61
143 Al-Ghazali, Op.cit
144 Dikutip dari Firdaus, membangun…, hlm. 229
145 Ibid
146 Ibid, hlm. 300
147 Al-Ghazali, Ihya…,hlm., 82
148 Umar Chapra,  Op.cit., hlm., 28
149 Dikutip dari Dawan, Op.cit., hlm., 614
150 Hadits ini dapat ditemui dalam Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid 2, h. 154
151 Al-Ghazali, Ihya…,hlm. 80. Jilid 2
152 Q.S. al-Rahman, 8-9
153 Ibid

154 Al-Ghazali, Kimia Sa’adah, hlm. 66-67

Komentar

Postingan Populer