Mengenal Biografi al-Ghazali dan Selintas Pemikiran-pemikirannyanya
Oleh
Dr. Abdul Aziz, M.Ag
Sebelum
melihat lebih jauh tentang sosok al-Ghazali dan corak pemikirannya, baik di
bidang keagamaan maupun lain- nya kiranya perlu diperkenalkan terlebih dahulu
siapa itu al-Ghazali, dari mana asal-usul lahir dan tanah kelahirannya, sampai
sejauh mana ia mengenyam pendidikan formal maupun non formal hingga pada model/pola
pemikiran al-Ghazali. Tentu hal ini tidak bisa dilihat seorang al-Ghazali
ketika berpikir dan berkarya tanpa menengok latar belakang historis yang menset tingnya atau melatar belakangi kenapa
pemikiran itu muncul. Karena itu, di bab dua ini terlebih dahulu dibahas
masalah latar belakang historis, riwayat hidup sampai corak pemikiran secara
umum baik keagamaan hingga secara khusus tentang teori keuangan (financial theory) dan aktivitas ekonomi
dari sudut pandang etika (akhlak-tasawuf) islami.
A. Latar
Belakang Historis
Jika dianalisa secara
historis, tahun kelahiran dan masa kehidupan al-Ghazali ternyata masih berada
dalam periode klasik dari sejarah islam (650-1250 M). Akan tetapi, tahun kelahiran
dan masa kehidupannya tersebut tidak lagi berada dalam masa kemajuan Islam
pertama (650-1000 M), melainkan sudah berada dalam masa kemunduran atau
disintergasi (1000-1250 M) dari periode sejarah Islam1.
Dalam masa disintegrasi
ini, kekuatan sosial politik umat Islam dibawah kekuatan Dinasti Abbasyiah
sudah sangat mundur dan lemah. Sebelum kelahiran al-Ghazali, para khalifah
Abbasyiah sudah menjadi bobeka ditangan para pengawal dan dominasi Dinasti
Buwaih atas Baghdad. Disamping itu datang pula serangan yang dilancarkan oleh
oleh Syi’ah atas baghdad dan pembrontakan baik dari kaum Qaramithah dan
Hasyasyin. Sementara itu pada masa hidupnya, pernah menjadi pembunuh an yang
dilakukan oleh kaun Hasyasyim atas dari perdana mentri Nizham al-Mulk dari dinasti Saljuk ditahun 102 M.2.
Bahkan jauh sebelum
al-Ghazali lahir, tepatnya pada abad kedua dan ketiga hijriyah,
kelompok-kelompok dari suku ke turunan Turki (Cikal-bakal penguasa Abbasyiah
periode ke-dua, dari orang-orang non-Arab, ed) mengungsi dari pedalaman Turkistan
karena tekanan politik atau ekonomi, atau kedua-duanya sekaligus, menuju kearah
barat, dan mencoba menetap dikawasan seberang sungai dan kawasan Khurasan. Pada
mula nya suku-suku kaum ini tidsak mempunyai satu kepemiminan, dan tidak
dikenali berasal dari suatu nasab keturunan. Ketika Suku Saljuk muncul pada
pertengahan kedua abad ke-empat, suku-suku Kauk
ini telah bersatu di bawah pemerintahan anak cucu nya3.
Sehingga pemerintahan Abbasyiah dan golongan arab mulai tergeser dan digantikan
oleh orang-orang non arab, tepat nya disaat kekuasaan dipegang oleh
sultan-sultan bani Buwaih dan Saljuk4.
Namun demikian dari segi
politik, eksistensi Dinasti (Daulat) Abbasyiah, yang ber ibu-kota Baghdad,
masih diakui. Hanya saja kekuasaan efektifnya berada ditangan para sultan yang
membagi wilayah tersebut menjadi beberapa daerah kesultanan yang independent (ketidak-tergantungan)
Dinasti Saljuk, yang
didirikan Thugrel Bek (1037-1063 M), sempat berkuasa di daerah Khurasan, Rayy,
Jabal, Irak, Al-Jazirah, Persi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih. (42-522 H./1037-1127 M). Kota baghdad di kuasainya pada
tahun 1055 M. Tiga tahun sebelum Al-Ghazali lahir5.
Menurut Al-Bairuni, yang
dikutip A.Syalabi dalam buku “Sejarah
Kebudayaan Islam”, menjelaskan bahwa khalifah-khalifah di zaman itu tidak
berupaya memainkan peranan politik yang penting, tetapi mereka masih mempunyai
kekuatan yang penting, tetapi mereka masih mempunyai kekuatan (spiritual)
maknawi yang menyebabkan perintah-perintah senantiasa ingin memperoleh
persetujuan mereka agar diberi kuasa dari rakyat, karena seorang khalifah
Abbasyiah adalah merupakan Amirul
Mukminin (pemimpin orang-orang beriman), yang senantiasa di-dampingi oleh
kaum muslimin di dunia Islam Bermahzab
Ahlus-sunah.
Akan tetapi di zaman
Saljuk, kota bahgdad mendapatkan kembali sebagian dari kedudukannya yang asal,
sebagai ibu kota kerohanian tempat bersemayamnya para khalifah (raja-raja) Abbasyiah
yang menikmati pengaruh keagamaan, tetapi pengaruh politik terus berada di ibu
kota kaum Saljuk di Naisabur kemudian di Rayy6.
Dengan perkataan lain, dari segi politik, kekuasaan Abbasyiah pada waktu itu
hanyalah sekedar boneka yang tidak mempunyai kekuatan politik secara penuh lagi
berwibawa karena seluruh kebijakan dan kekuatan di bawah kendali para sultan Saljuk.
Bersamaan dengan gejolak
politik, instabilitas sosial dan
keamanan pada pemerintahan yang dialami oleh kaum Saljuk sebelum dan sesudah
al-Ghazali. Menurut Dr. M. Zurkani Jahja, bahwa pada masa Al-Ghazali bukan saja
telah terjadi dis-integrasi di bidang politik umat islam, tetapi juga dibidang
sosial dan keagamaan. Konflik sosial yang terjadi dikalangan umat islam pada
masa al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama,
namun sebenarnya berpang-kal dari adanya berbagai pengaruh kultur non-islami
yang ter masuk kedalam pemikiran islam, yang secara perlahan-lahan namun pasti
memperngaruhi seluruh bidang kehidupan sosial dan ekonomi.
Diantara unsur kultural
yang paling berpengaruh pada masa al-Ghazali adalah filsafat, baik filsafat
India maupun Persia. Bahkan filsafat Yunani banyak diserap oleh para teolog,
filsafat India diadaptasi oleh kaum Sufi, sedangkan filsafat Persia banyak
mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep Imamah
(kepemimpinan). Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu, dalam
mempropagandakan pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama
logika) sebagai alatnya, sehingga kaum intelektual, baik yang menerima maupun
yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, mau tidak mau harus terlebih
dahulu mempelajari filsafat.
Dari segi ekonomi, menurut
orientalis K. Hitti, bahwa Khurasan
tempat Al-Ghazali dilahirkan, sebelumnya adalah me-rupakan kota industri yang
berkembang minyak oles, gantungan baju, sofa dan sarung bantal. Pada saat itu
peradaban Islam sedang mencapai puncak kejayaannya di bawah kekuasaan Daulah
Abbasyiah periode pertama, yang berpusat di Baghdad. Di saat Harun al-Rasyid
(170-190 H./786-809 M) dan putranya Al-Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218
H./813-833 M.) menjadi khalifah ke-tujuh, kekayaan banyak dimanfaatkan untuk
kepentinga sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Karena dana yang masuk lebih besar dari pada pengeluaran,
sehingga Bait al-Maal penuh dengan
harta7.
Dalam sejarah Islam, Bait al-Maal adalah tempat penyim-panan
harta negara (kas negara), keluar dan masuknya pen-dapatan dan anggaran belanja
negara dibiayai oleh negara. Bait al-Maal
juga merupakan pusat dari kelembagaan pereko nomian Islam, tidak terkecuali
periode Ummayah dan Abbasyiah. Jelasnya, perekonomian dan kelembagaan umat Islam
sebetul nya mapan sudah sejak zaman dahulu7, mereka (para khalifah),
mampu memberikan yang terbaik buat rakyat-nya, terutama fasilitas-fasilitas
umum (publik) lebih diutamakan.
Menurut Ahmad Hasjmy
(1993:239), menjelaskan bahwa indikator-indikator masa kejayaan Islam adalah
ditandai oleh harta benda (kekayaan negara) melimpah, hal ini disebabkan karena
para khalifah betul-betul memandang soal ekonomi dan kerajaan negara sangat
penting. Sehingga dengan demikian pembangunan dalam bidang ekonomi, oleh para
khalifah dipandang sebagai hal yang
paling penting. Baik khalifah Al-Makmun ataupun khlaifah-khalifah sesudahnya
telah membangun ekonomi negara dengan baik sekali, dalam bidang pertanian,
perindustrian (manufakturing), atau pun
dalam bidang per-dagangan (ekspor-impor).
Hal ini dapat bertahan
hingga pemerintahan Abbasyiah periode kedua yang diperintah oleh kesultanan
Saljuk, disaat masa Al-Ghazali.
Demikian pula dari segi
ilmu pengetahuan dan ke-agamaan, ketika kaum muslimin awal masa Abbasyiah mulai
menerjemahkan karya-karya asing, mereka tidak mentolelir penerjemahkan
karya-karya yang berkaitan dengan ketuhanan dan akhlak (etika), hal itu
dikarenakan keyakinan mereka yang mutlak terhadap kitab suci telah menjadikan
mereka mengang gap rendah terhadap setiap wacana selainnya, baik yang berkaitan
dengan persoalan metafisika, bertentangan dengan pernyataan wahyu, bisa jadi
(pemikiran) tersebut merupakan bentuk dari “Khurafat”
atau kesesatan rasional. Dan kehidupan yang sangat berharga ini tidak pantas
dihabiskan hanya untuk mempelajari
keduanya8.
Dari adanya transformasi
melalui penerjemahan dan asimilasi serta akulturasi budaya arab dan Persia,
terutama disaat Daulah Bani Abbasyiah di pimpin oleh Harun al-Rasyid, kejayaan
dunia Islam tersebut berawal darinya dan puncaknya adalah dimasa Al-Makmun,
putra harun Al-Rasyid.
Ibrahim Makhdur, dalam
bukunya yang berjudul “Fi al-Falsafat al
Islamiyah”, mengomentari hal tersebut di atas. Ia mengatakan bahwa kejayaan
Islam pada masa kejayaannya (Daulah Abbasyiah, Ed.,) ditandai oleh antara lain,
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan (baca pemikiran Islam) yang meliputi
bidang teologi, filsafat dan sufisme. Pemikiran para tokoh pemikir yang muncul
ketika itu berhasil mewarnai corak keberagaman Islam pada masanya, bahkan
pengaruhnya tetap sampai abad modern9.
Tidak bisa
dipungkiri-terlepas dari peristiwa mihnah
(inkuisisi) yang pernah dialami oleh kaum Mu’tazilah – peranan akal
sangat besar dalam mengantarkan kejayaan umat islam, meskipun diakui bahwa
pengaruh dari rasionalitas yang dialami oleh dunia Islam pada masa itu banyak
menimbulkan pro (yang setuju) dan konta (tidak setuju) dalam struktur
masyarakat itu sendiri. Akan tetapi diakui dalam sejarah Islam, masa inilah
puncak kejayaan-nya, sehingga disebut sebagai The Golden Age Islam.
Kemajuan dan kejayaan pada
masa itu bermula berkat adanya transformasi ilmu pengetahuan (transformation of science), melalui
translitrasi atau penerjemahan-penerjemahan. Salah satu hasil penerjemahan yang
sangat mempengaruhi kondisi sosial keagamaan dan ilmu pengetahuan adalah
filsafat Yunani.
Filsafat berkembang, para
filosof menempatkan segala sesuatu di bawah akalnya. Mereka pun mulai menyusun kaidah-kaidah dan membuang
“argumentasi”. Sedikit banyak mereka mulai menjual pemahaman kaum muslimin yang
diperoleh dari Rasul-Nya, dan mereka (kaum Mu’tazilah) juga mulai men-jauhi
dari wacana Islam, sebagaimana yang dirasakan kalangan mayoritas secara umum.
Dan kenyataannya, kenyataan kon-struksi metafisika berdasarkan akal semata
hanyalah “Pasion” atau nafsu. Oleh
sebab itu, sejak awal masa Yunani, metode kajian ini selalu gagal dan
kontradiktif, masing-masing pemikiran nya saling berbeda pandangan dan saling
menghancurkan pihak lawan. Secara sukses, pemdapat-pendapat itu susul menyusul
mulai runtuh, demikian seterusnya10.
Akhirnya pada
pemerintahan al-Mutawakkil, golongan yang berargumentasi dengan banyak
menggunakan akal/rasio dalam hal ini, (Mu’tazilah), akhirnya harus tumbang dan lepas dari kebiasaan
pandahulunya, yaitu semasa al-Makmun, Al-Wastiq dan Al-Mu’tasim. Saat
itu pulalah kejayaan islam mulai memudar dan melemah, akibat telah
didominasinya tradisi Taqlid yang
menjauhkan dari rasa pengembangan ilmu. Peristiwa inilah yang dalam sejarah
Islam disebut sebagai Mihnah (cobaan,
inquisisi). Hal ini berlanjut terus
hingga didunia Islam mulai kehilangan gairah untuk mengembangkan
rasionlaitasnya (ilmu pengetahuan).
Akan tetapi masih beruntung ketika Saljuk
diperintah oleh Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan
dicoba untuk digairahkan kembali, seperti pada masa kejayaan Islam pertama.
Meskipun pada masa dibawah Alp Arselan tidak lagi seperti pendahulunya.
Terbukti kemajuan pada zaman Sultan Malikusyah, yang dibantu oleh perdana
mentri Nizam Al -Mulk. Perdana mentri
inilah yang memprakarsai berdirinya Madrasah
Nizhamiyah yang oleh Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Jakarta dimisalkan
sebagai Universitas atau perguruan tinggi. Dan disetiap kota di Irak dan
Khurasan juga didirikan cabang Nizahamiyah11.
Kemudian kebiasaan ini diterus kan
oleh Sultan Shalahudin Al-Ayyubi, ia membangun dua madrasah di Mesir dengan
meniru Madrasah (Universitas) Nizha-miyah di Baghdad. Satu-satunya di
Iskandariyah dan lain nya di Cairo untuk mengimbangi al-Azhar di Mesir pada
waktu itu. Bahkan menurut Philip K. Hitti, bahwa Universitas Nizhamiyah inilah
yang menjadi modal bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari12.
Dari pada itu, Al-Ghazali hidup pada abad ke-5
Hijriah13, yaitu bertepatan dengan abad
kesebelas masehi dan kaum muslimin, yang saat itu merupakan kampium pemikiran
inter-nasional, dimana mereka menguasai semua ilmu pengetahu an dan peradaban.
Bahkan ia hidup pada masa terjadinya benturan-benturan yang sangat hebat
diantara berbagai kelompok yang berbeda dari golongan Ahlusunnah dan Syi’ah,
diantara kalangan sufi, kalam dan falsafat. Disaat situasi ber-gejolak dan
suasana demikian, Al-Ghazali muncul, memimpin masyarakat yang aneh dan
mengagumkan di Baghdad, setelah ia datang dari Naisabur untuk mempelajari berbagai
ilmu secara mendalam14.
Dalam versi lain, Syekh Idris Syah mengatakan
bahwa ketika bangsa Normandia tengah mengukuhkan kekuasaannya di Inggris dan
Sisilia, kuga mengalirnya pengetahuan Sarasenik ke Barat tengah meningkat
melalui Spanyol dan Italia yang terarabkan, kerajaan Islam telah berusia kurang
dari lima ratus tahun. Kepekndetaan yang fungsi-fungsinya dilarang oleh
Syari’ah tetapi dalam kenyataannya dangat kuat, dengan putus asa berusaha
mendamaikan metode Filsadat Yunani dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Setelah
menerima Skolatisisme metode untuk menafsirkan agama, para penganut hukum dialektik ini justru melalui cara-cara
intelektual. Melalui penye baran pengetahuan, masyarakat telah mengembangkan
dia-lektik formal secara luas. Kondisi ekonomi yang sangat baik telah
menghasilkan sejumlah besar cendekiawan yang membutuhkan lebih dari sekedar
jaminan-jaminan dogmatik atau penegasan bahwa “negara itu pasti benar”15. Jika Islam (dulunya) adalah negara
tampaknya Islam akan runtuh.
Seorang pemuda Paris dari Meshed yang dikenal
dengan Muhammad al-Ghazali, yang telah yatim di usia dini dan diasuh oleh kaum
sufi, lanjut Idris Syah, saat itu berada di Madrasah Asia tengah. Ia
ditakdirkan untuk mencapai dua hal yang sangat berarti, dan akibatnya baik
islam maupun Kristen sangat dipengaruhi oleh kedua hal tesebut dalam beberapa
cirinya sampai hari ini16.
Dengan demikian maka, kemunculan Al-Ghazali dalam dunia Islam membawa perubahan
besar disamping ia juga seorang pembaharu, ia juga jenius. Di lain pihak pada masa
saljuk terlepas dari kejadian yang melingkupinya, telah mencetak generasi
intelektual dan spiritual yang mengagumkan sepanjang masa17.
Oleh karena itu sebenarnya tradisi intelektual
di masa
Alp Arselan dan Nizham al-Mulk ingin seperti dulu lagi, meskipun dengan versi
“sepihak” yaitu hanya menghidupkan aliran Ahlis
sunnah (Asy’arianisme) saja. Namun patut dihargai, karena di-masa ini pula
lahir ilmuan-ilmuan terkemuka, seperti al-Ghazali, Ummar Khayyan (sastrawan)
dan al-Zamakhsyari (ahli tafsir terkemuka dari golongan Mu’tazilah. Pen) bahkan
menurut Harun Nasution, bukan hanya pembangunan mental dan spiritual, dalam
pembangunan fisik pun dinasti Saljuk banyak mening-galkan jasa. Malikhsyah
terkenal dengan usaha pembangunan dibidang yang terakhir ini; banyak masjid,
jembatan, irigasi dan jlan-jalan (Raya) dibangunnya.
Demikian latar belakang sejarah yang
menyebabkan seorang tokoh sekalian al-Ghazali terpanggil untuk tampil ke-depan,
dengan membawa orisinalitas keagamaan yang ia tawar kan yang tidak murni
terpengaruhi oleh akal semata18.
Dengan gaya dan pendekatan intuitifnya, rasa (dzauq) dan kesufiannya yang
kemudian tertuang dalam karya besar, Ihya
Ulumudin, al-Ghazali menuliskannya sebagai sebuah buku rujukan (ensik-lopedi).
Inilah yang pada akhirnya ia sangat terkenal dalam menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama yang dibangunnya ber-dasarkan ajaran Islam dan tradisi Salaf,
bukan ajaran akal yang berkembang sebelumnya19.
B.
Riwayat Hidup Al-Ghazali
1.
Latar Belakang Keluarga
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali20
Al-Thusi atau lebih dikenal dengan sebutan pendek Al-Ghazali. Ia juga disebut Abu Hamid, seperti halnya Ibnu Rusyd
dikenal dengan Abu Walid yang sering
menyebut Al-Ghazali dengan nama tersebut dalam karyanya yang berjudul “Tahafut at Tahafut”, Abu Hamid Berkata,
yakni al-Ghazali21. Panggilan, laqob atau gelar al-Ghazali zain ad Diin
ath Thusy22. Adalah Hujatul
Islam atau Hujatul Islam Abu Hamid23.
Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M. tepatnya per-tengahan abad ke lima
hijriyah24, dan wafat pada tahun
505 H. (1111 M). tepatnya pada tanggal 14 Jumadhil ats tsani, hari senin di
Thus, sebuah kota kecil Khurasan (Iran) tempat kelahiran nya.
Diceritakan bahwa kedua orang tua al-Ghazali
adalah orang shaleh yang tidak mau makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.
Dia seorang pengusaha, pemintal bulu domba. Ketika al-Ghazali beserta
saudaranya (Ahmad) masih kecil, ayahnya meninggal. Akan tetapi sebelum
meninggal, dia telah berpesan untuk kedua anaknya kepada seorang teman sufi,
agar se-peninggalannya
nanti kedua anaknya dididik dan dipelihara. Kata sang ayah, “saya sangat menyesal bahwa saya tidak bisa
menulis (Buta Huruf). Oleh karena itu saya ingin kedua anak saya ini tidak
kehilangan yang tidak bisa saya peroleh, didiklah mereka (berdua) dengan
seluruh harta peninggalanku25.
Kata-kata haru ini
diucapkan oleh ayah Al-Ghazali pada saat menitipkannya. Dan hingga ayahnya
meninggal, Al-Ghazali dan saudaranya ahmad tetap berada dibawah asuhan orang
shaleh (sufi) itu. Setelah dia meninggal dunia mulailah sang sufi mengajar
mereka berdua sampai habis warisannya. Karena harta warisan keduanya telah
habis, sementara sang sufi tidak mampu lagi membiayai mereka berdua, ia
berkata: “ Ketahuilah oleh kalian berdua
bahwa sesungguhnya aku benar-benar telah membelanjakan apa yang menjadi hak
kalian berdua, sementara aku hanyalah seorang lelaki yang miskin. Aku sudah
tidak mampu lagi untuk membiayai kalian terus menerus, oleh karena itu hendak lah
kalian berdua untuk tinggal dimadrasah karena sesungguhnya kalian berdua adalah
penuntut ilmu sehingga kalian akan mendapatkan bantuan (beasiswa) untuk bisa
melanjutkan studi kalian”. Kemudian al-Ghazali dan Ahmad melaksanakan apa
yang telah disampaikan sang guru, dan itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
tingginya derajat mereka.
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali
menceritakan hal tersebut dengan mengatakan; “Kami menuntut ilmu karena selain Allah SWT”, lalu kami menolak agar itu
hanya karena Allah SWT”. Dari pengalaman al-Ghazali tersebut dapat
diperkirakan bahwa, al-Ghazali hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut
sampai usia 15 tahun (450-466 H)26.
Dalam sebuah riwayat lain,
konon orang tua al-Ghazali sering mengunjungi para ahli fiqh, duduk-duduk
bersama mereka, meluangkan diri untuk melayani mereka. Sehingga ia merasakan
dirinya seakan-akan menemukan kebaikan dalam diri mereka dan ia pun terkadang
bersedekah untuk kepentingan mereka. Jika dia mendengarkan suara mereka, dia
menangis dan tertunduk, dia selalu memohon dan berdoa kepada Allah SWT agar
kelak diberi rizki berupa seorang anak yang dapat memberikan tuntunan dan
menjadikannya seorang pakar ilmu fiqh. Maka Allah SWT mengabulkan doanya.
Adapun Imam Abu Hamid
meupakan seorang ahli pakar ilmu Fiqh dimasanya, serta menjadi pemuka agama di
masa itu. Sedangkan ahmad (saudara al-Ghazali) merupakan seorang pemberi
tuntunan yang dapat melunakan gendang telinga, ketika mendengarkan wejangannya
dan dapat menggetarkan sanubari para hasirin dalam majelis dzikirnya27.
2.
Masa Kanak-kanak dan Pendidikan Awal
Di kota Thus, tempat pertama mengenal ilmu
agama, al-Ghazali (456-470 H) belajar fiqh, tata bahasa (nahwu dan sharaf)
kepada al-Radzakany28. Ketika usia Al-Ghazali belum
mencapai dua puluh tahun, ia telah melanjutkan studinya ke Jurjan. Disana ia
belajar diseorang guru yang bernama Imam
Nasi al-Ismaili. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama tiga
tahun ditempat kelahirannya., ia langsung menjadi ulang pelajarannya di Jurjan
sambil belajar dasar-dasar Tasawuf kepada Syekh Yusuf al-Nassaj (w. 489 H).
Pada tahun 473 H., ia pergi ke Naisabur untuk
mengambil spesialis (lajutan) agama di (Universitas) Madrasah al-Nidzamiyah.
Disinilah al-Ghazali berjumpa dengan Imam al-Haramain Diaduddin al-Juwaini
(w.478 H./1085 M) sekaligus sebagai gurunya. Dari al-Juwaini, ia telah banyak mendalami ilmu Kalam dan
Mantiq. Menurut Abdul Ghafar Ibn Ismail al-Farizi, Al-Ghazali adalah seorang
yang ahli dan pintar dalam suatu persoalan dimasanya, sehingga menimbulkan sang
Imam merasa ‘iri hati’ kepada
Al-Ghazali, tetapi hal ini hanya dalam hati. Namun disisi lain al-juwawni
sendiri merasa kagum dan bangga atas prestasi yang dimilki oleh sang murid29. Disinilah ia mulai kehidupan yang
baru dan gemilang. Di madrasah ini, ia terus menerus mempelajari berbagai
pelajaran tingkat tinggi diantaranya; teologi, hukum Islam, Falsafah, Logika,
tasawuf dan Ilmu-Ilmu Kalam30.
Di kota Naisabur,
Al-Ghazali mulai berkarya, salah satunya adalah pengarang buku. Ia pandai dalam
ilmu mantiq dan dalam berdebat, serta mengetahui dengan benar kaidah-kaidah
filsafat dan cara mengkritik mereka. Meskipun demikian, banyak pula yang tidak
setuju dengan Al-Ghazali. Konon katanya, buku-buku yang dikarang al-Ghazali
pada peringkat yang samar-samar. Hal ini diungkapkan oleh al-Zabidi. Menurutnya
ia telah mengarang buku untuk mengkritik ahli-ahli filsafat Naisabur, tetapi
keterangan al-Ghazali sendiri dalam bukunya yang ber-judul al-Munqid min al-Dhalal, selanjutnya adalah membukti kan bahwa ia
menulis hanya untuk mengkritik ahli-ahli filsafat ketika di Baghdad. Pada waktu
itu juga, keraguan atau syak menyerang
jiwanya dengan serius. Setelah mendalami berbagai ilmu pada saat di Naisabur,
keraguan yang dialamai Al-Ghazali semakin menjadi-jadi, sehingga boleh
dikatakan bahwa Al-Ghazali telah melakukan metode perdananya dalam mencari
hakikat kebenaran dengan secara skeptis.
Meskipun al-Ghazali adalah
orang yang cerdas, ber-wawasan kedepan, kuat hafalannya, jauh dari tipu daya,
begitu mendalam dalam melihat suatu pengertian dan memiliki ber-bagai pandangan
yang betul-betul beralasan adalah berkat proses panjang yang ia hasilkan selama
55 tahun dalam hidup nya, namun nukan berarti ia tidak ta’dzim kepada gurunya31.
Setelah ia ditinggal oleh
gurunya, al-Juwaeni, ia pun meninggalkan Naisabur, menuju negeri Askar untuk
menemui per-dana menteri Nidzam Al-Mulk,
dimana tempat kerjanya merupa kan tempat berkumpulnya para pakar ilmu
pengetahuan. Di sekeliling perdana mentri, para Imam membentuk sebuah forum
diskusi dan Al-Ghazali mulai mendapatkan tempat yang istimewa karena pandangannya
yang begitu mengagumkan, sehingga suatu ketika Al-Ghazali diperbantukan untuk
mengajar di Madrasah Nidzamiyah
tersebut, yaitu pada tahun 484 H.
Pada tahun 1091 M (484 H),
ia dilantik menjadi guru besar (untuk sekarang ialah gelar profesor) di
Madrasah tersebut selama kurang lebih empat tahun. Pengalaman
al-Ghazali di tempat ini dijelaskan sendiri dalam bukunya yang berjudul “ Al-Munqidz Min al Dhalal”. Selama
menjadi guru besar di Madrasah Nidzamiyah,
Al-Ghazali dengan tekun memberikan mata kuliah sembari secara otodidak
mendalami filsafat Yunani (Skolatik), terutama pemikiran al-Farabi, Ibn Sina,
Ibn Miskawaih, dann Ikhwan As-Syafa’. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti
dengan baik dalam karyanya, seperti;al-Maqasid
al-Falsafah dan Tahafut al Falsafah32.
Akhirnya pada tahun 1095 M (488 H), Al-Ghazali
dilanda keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum,
teologi dan filsafat) bahkan pekerjaan sekalipun, serta karya karya yang di hasilkan.
Ia menderita penyakit ini
selama dua bulan, selama itu tidak ada
obat yang dapat menyembuh-kannya.
Al-Ghazali tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah, sebab penyakit itu, malah
ia mening-galkan kota Baghdad. Sikap keragu-raguan terhadap
ilmu pengetahuan yang melanda dirinya, membuat Al-Ghazali ingin mengmbara dan
mencari kebenaran yang sejati. Dengan pula meninggalkan istri dan keluarganya,
Al-Ghazali menempuh jalan tasawuf. Ia
menuju kota Damaskus (Syam), selama kira-kira dua tahun. Di kota ini Al-Ghazali
melakukan ‘Uzlah (pengasingan), riyadhlah (pelatihan) dan Mujahadah untuk mempraktekan bentuk
tasawuf secara alami. Seterusnya pergi ke Bait
al-Maqdis, Palestina untuk melakukan ibadah serupa dan kemudian dilanjut kan
menunaikan ibadah haji, ziarah ke makam Rasululllah SAW33. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali
kembali ke kota kelahirannya, Thus ia tetap ber-khalwat (menyendiri menyepi).
Diriwayatkan secara kebetulan suatu hari Al-Ghazali
me-masukan Madrasah al-Aminah dan menemukan kepala madrasah berkata,”Al-Ghazali
berkata….” Dimana kepala madrasah sedang mengupas perkataan al-Ghazali – maka
Al-Ghazali khawatir akan timbulnya kebanggaan dalam dirinya dan kemudian dipun
meninggalkan kota Damaskus. Setelah itu, dia kembali berkelana keberbagai
negeri sampai ia memasuki negeri Mesir serta sempat bermukim beberapa waktu di
Iskandariyah.
Dikatakan, bahwa ia berkeinginan
untuk melanjutkan per-jalanan menghadap Sultan Yusuf bin Tasyifin, raja Maroko,
ketiak ia mendengarkan tentang keadilannya, namun kemudian sampai pula berita
pula tentang kematiannya. Kemudian ia melanjutkan
pengembaraannya ke berbagai negeri sampai kembali ke Khurasan mengajar
dimadrasah al-Nidzamiyah di Naisabur sebentar lalu kembali ke Thus34. Dia menjadikan isi rumahnya sebagai
majlis bagi para ahli Fiqh, mengkaji tentang kesufian dan membagi waktunya
untuk beberapa tugas seperti manghatamkan Al-qu’an, berdiskusi dengan para
ulama, tempat belajar, melanggengkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah yang lain
sampai dia beralih kepada rahmat dan keridhoan Allah SWT.
Dia wafat di Thus pada
hari senin, 14 Jumadil Akhir tahun
505 H/1111 M, dalam usia 55 tahun, nama besar al-Ghazali sebagai seorang Sufi
yang menduduki tingkatan tertinggi, tercermin dalam dalam pernyataan yang
tercatat dalam buku yang berjudul “Taklif
al-Ihya bi Fadil al Ihya”, yaitu bahwa ia telah dikaruniai Allah pngkat “Qutb” atau “Sultan al-Aulia”, tiga hari sebelum wafatnya.
Jika kita lihat perjalanan
dan latar belakang kehidupan al-Ghazali sebagaimana yang dipaprkan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa selama perjalanan kehidupan al-Ghazali (450 H.\1056 M.–505 H.\1111 M.) dapat diklasifikasikan men-jadi tiga fase, yaitu:
Fase pertama, masa
sebelum Al-Ghazali dihinggapi sikap skeptis (penyakit keragu-raguan). Pada masa
ini, ia masih dalam tahap belajar atau al
Tahsil al Ilmy, yaitu sekitar tahun 470 – 484 H.
Fase Kedua, masa
dimana Al-Ghazali mulai skeptis terhdap dunia empiris, rasional (akal). Masa
ini berlangsung selama 14 tahun, yaitu dari tahun 484 – 498 H.
Fase Ketiga, masa
dimana Al-Ghazali telah menemukan jalan hidupnya yang sejati (kebenarn sejati),
yaitu sebagai orang sufi. Masa
ini berkisar anatara 489 H sampai wafatnya pada tahhun 505 H.
3.
Karier dan Karya-karyanya
Al-Ghazali mengalami gemblengan dan pendidikan
dari banyak guru. Ia mulai meniti kariernya dengan menjadi seorang pangajar
(dosen) disebuah Madrasah Nizhamul Mulk, bersamaan dengan itu, ia sangat
produktif dalam berbagai bidang ke-ilmuan. Bahkan ia banyak menghasilkan
buku-buku rujukan buah karangannya.
Ia adalah seorang ahli fiqir Islam yang dalam
ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku
telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain; teologi (Ilmu kalam), Hukum Islam (fiqih), Tasawuf, tafsir, akhlaq dan adab Kesopanan, bahkan autobio-grafinya
sendiri. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas adalah dalam bahasa arab
dan yang lainnya dituliskan dalam bahasa Persia35.
Menurut Abdullah bin Muhammad, Al-Ghazali telah menghasilkan banyak karangan
yang menunjukan keman-tapan ilmunya.
Akan tetapi mengenai berapa banyak sesungguhnya
karang karya Hujjatul Islam ini,
sulit untuk ditentukan dengan pasti. Sebab tidak sedikit karya-karya yang telah
dimusnahkan oleh bangsa Mongol pada abad 13 M. termasuk didalamnya 40 jilid tafsir al-Ghazali dan Sirr al Amin36.
Dalam buku yang berjudul “At-Tabaqot al ‘Ulya fi Manaqib Asy-Syafi’iyah”, al-faqih Muhammad
bin Hasan menyebutkan bahwa karya-karya Al-Ghazali berjumlah 98 buah, sedangkan
al-Subkhi dalam “Tabaqot Asy Syafi’iyah”
mengatakan hanya 58 buah. Adapun menurut
penelitian Dr. Abdurrahman Baidawi, Al-Ghazali telah mengarang buku-bukunya
berjumlah sekitar 457 buah37.
Dari keterangan diatas, dapatlah kita sebutkan
bahwa berapa jumlah karya Al-Ghazali yang hingga sekarang sampai ke tangan kita
berjumlah jelas keberadaannya. Namun ada baiknya, untuk lebih jelas kita
mengetahui berapa banyak karya Al-Ghazali yang telah sampai kepada kita, kita
dapat merujuk kepada penelitian yang pernah dilakukan seseorang orientalis yang
bernama Masignon. Ia melakukan penelitian ini berdasar-kan klasifikasi kronologis
terhadap karya-karya Al-Ghazali, yakni dengan membaginya menjadi empat fase,
yaitu38:
|
Waktu/Fase
|
Masa
(Periode)
|
Judul
Buku
|
|
I
|
478 – 484 H
|
al-Wajiz.
|
|
II
|
484 – 488 H
|
1. Al-Maqasid
2. At-Tahafut al-Falasifah
3. Al-Mustadhiri (487 H)
|
|
III
|
492 – 495 H
|
4. Ihya ‘Ulumuddin (sebagai kelanjut-an dari upaya
pemikiran sebelum-nya yang pernah gagal)
5. Al-Mustasfa
6. Kimiya as-Sya’adah, dan
7. Minhajul ‘Abidin
|
|
IV
|
495 – 505 H
|
8. Mi’yar al-Ilm
9.
Muhik an-Nadzar
10. Al-Maksud al-Atsma,
11. Al-Ajwibat al-Muskilah
12. Mizan al-Amal
13. Jawahir al-Qur’an, dan
14. Al-Madnun (semua karya ini ditulis di kota Thus)
|
Berbeda
dengan Masignon yang dalam pemikirannya menyimpulkan bahwa karya-karya Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dengan melalui
empat fase, ia dapat (bisa) meng-kumpulkan dan mendapatkan
karya Al-Ghazali hanya sekitar 16 buah. Sementara, Michal Allard yang karyanya
dipandang lebih representatif dibanding dengan apa yang dilakukan Masignon
dalam mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran (gagasan) Al-Ghazali secara
kronologis, ia membaginya ke dalam lima fase;
|
Fase
|
Tahun H.
|
Karya-karya al-Ghazali
|
Keterangan
|
|
I
|
465-478
|
1. At-Ta’liqat fi Furu’al Madzahib
2. Al-Mankhul fi al-Ushul Fiqh
|
Kitab pertama yang
ditulis
|
|
II
|
478-488
484
488-489
487-488
487-488
488-489
488-489
|
3. Al-Basith dan al-Washit
4. Al-Wajiz dan Al-Khulasah al-Mukh-tasar
5. Al-Muntaha fi Ilm al-Jadal
6. Ma’akhil al-Khilaf
7. Lubab an-Nadzar dan Tahsin al-Ma’akhir
8. Al-Mabadi wa al-Ghayat dan Syifa al-‘Alil
9. Fatwa li Yusuf ibn Tasyfin
10. Fatwa li Asbat bi Lani Yazid bin Mu’awiyah
11. Ghayat al-Ghafair fi Dirasat at-Daur
13. Mi’yar al-Ilm (Kriteria Ilmu-Ilmu)
14. Mi’yar al-Uqul
15. Mizan al-‘Amal
16. Al-Mustadhiri dan Hujjatul Haq
17. Al-Iqthisad fi al-I’tiqad
18. Ar-Risalah al-Qudsiyah fi al-‘Aqoid
19. Al-Ma’rifah Aqliyah wa al-Asrar al-Ilahiyah
|
(masa ini me-rupakan
masa produktif, ka-rena sedang pencarian ilmu pengetahuan dan belajar)
(kekacauan pikiran para Filo sof), buku dika-rang
sewaktu ia berada di Bagh-dad
tatkala jiwa nya
dilanda ke-ragu-raguan. Dalam buku ini, al-Ghazali mengecam filsafat dan para
filosof dengan keras,
|
|
III
|
480-499
490-945
497
|
20.Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama), buku ini merupakan karyanya yang ter-besar
yang dikarangnya selama beberapa tahun (489 – 499 H) dalam keadaan
berpindah-pindah antara Damaskus, Yerus salem,
Hijjaz dan Thus yang berisi antara paduan fiqh, tasawuf dan falsafat, kitab
fi Masalati Kulli Mujtahid Muslih.
21.Jawab ila Muayyid
al-Mulk Hinama Da’aha li Mu’awadat at-Tadris bi an-Nidamiyah
22.Mufassal al-Khilaf
23.Jawab al-Masa’il
al-Arba’a alati Saalahal Bathiniyah bi Hamdan,
24.al-Maksud al-Asna fi
Syarh Asma’ul Husna
25.Risalah fi Ruju ‘Asma
Allah illa Dzat al-Wahidah a’la Ra’yi Mu’tazilah wa al-Falasifah
26. Bidayah al-Nihayah
27. Jawahirul Qur’an wa
Dauruha
28. al-Arba’in fi Ushul
al-Din
29. Al-Madnun bihi
al-Ghairi Ahlihi
30. Al-Darj al-Maqam bi
al-Jawadil
31. al-Qitshah
al-Mustaqim
32. Faisal at-Tafriqah
baina al-Islam wa as-Zindiqah
33. Al-Qanun al-Kully fi
at-Ta’wil
34. Kimiya as-Sya’adah
(Bhs Persia)
35. Ayyuhal Walad
36. Nasihat al-Mulk
37. Zad al-Akhirah
38. Risalah ila Ba’adhi
Ahli Zamanihi
39. Misykat al-Anwar
(Akhlak Tasawuf)
40. Tafsir Yakut
at-Ta’wil
41. al-Khasy Tabyin fi
Ghurur al-Khalaq Ajma’in
|
(telah dicetak di Makkah, Bombay dan Mesir dan ada tulisan
tangan di Leiden, musium Brita nia (inggris) & Dar al-Kutub Mesir,Menyepi)
Ditulis pada tahun 500 H, untuk salah
se orang teman nya
sebagai nasihat ke-padanya ten-tang
Zuhud, tarhib, dan targhib. Di cetak
dengan terjemahan di winath 1838 dan tahun 1842, dan juga dicetak di Mesir,
dan ada tulisan tangan dibe-berapa per-pustakaan
di Eropa dan sudah diter-jemahkan ke dalam
bhasa perancis oleh Dr. taufiq Shifa tahun 1958 M.
|
|
IV
|
499-503
|
42.al-Munqid min
Ad-Dhalal (Pen-yelamat dari Kesesatan). Buku ini merupakan sejarah perkembangan
alam pemikiran al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan, ditulis pada 501-502 H
43. ‘Ajib al-Khawwash
44. Ghayat al-Ghaur fi
Dirayat ad-Daur
45. Sir al-Alamin wa
Kasfi ma fi Ad-Darain
46. al-A’la al-Mushil
al-Ihya
|
Ketika aktif da-lam
pendidikan
|
|
V
|
503-505
|
47. Ad-Durrah
al-Fakhirah fi Kasfi ‘Ulum al-Akhirah
48. Iljam al-‘Awwam fi
Ilm al-Kalam
49. Minhaj al-Abidin
|
|
Dari lima fase urutan
kronologis yang dikemukakan Michael Allard tersebut, sementara dipandang
lebih representatif untuk diterima dibanding dengan urutan yang ditulis oleh
Masignon.
Sementara dipihak lain, bagi para peneliti karya-karya Al-Ghazali yang banyak
jumlahnya, dari mereka ada yang meng-klasifikasikan karya-karya Al-Ghazali berdasarkan objek
kajian penelitiannya menurut epistemologi bidangnya masing-masing.
Menurut Syekh Yusuf
al-Qardhawi (1996;43 – 45), bahwa dalam mengklasifikasikan karya-karya
Al-Ghazali ada yang melakukan penelitian berdasarkan penelitian berdasarkan
urutan bidang kajian-kajian keilmuan tertentu. Menurutnya, diantara karya-karya
Al-Ghazali adalah;
1.
Dalam bidang ilmu kalam, filsafat dan logika, kebanyakan
mereka mengkaji karya-karya Al-Ghazali melalui kitab; Maqosyid al Falasifah, Tahafut al Falasifah, Al munqidz min al Dhalal,
al Iqtishad fi al I’tiqad, Faisal al Tafriqah, Qawaid al aqaid, al Maqsud al
Asma fi Syarkhi Asmillahi al Husna, Mi’yar al Ulum, Munkhu an Nadhr, al al
Qisthas al Mustaqim, Iljam al Awwam fi al Ilmi al Kalam, Jawahir Al Qur’an,
Kimia as Sa’adah, Ma’ariju al Quds, dan
Misykatul Anwar.
2.
Dalam ilmu tasawuf, akhlak dan pendidikan, rata-rata me-lakukan
studinya melalui karya-karya Al-Ghazali, Misalnya; Ihy Ulumuddin, Minhajjul Abidin, Bidayah al Nihayh, Mizan al ‘Amal,
Mi’raj as Shalikhin dan Ayyuhal
Walad.
3.
Dalam bidang ilmu perbandingan agama, mereka dapat
mempelajari karya-karya al-Ghazali melalui Kitab: al Qaul al Jamil fi ar Raddial al Man Ghayyara al Injil, Fadhaihu al
Bathiniyah, Hujjah al Haq dan kitab
Mufashal al khilaf serta ar Radhu al
Jamili Li Ilahiyat Isa bi Shorihi al Injil dan lain-lain.
4.
Dalam bidang kajian ilmu fiqih, mereka dapat mempelajari
karya-karya al-Ghazali melalui empat kitab, yaitu: al basith, al wasith, al Wajiz, dan al Khulasoh.
5.
Adapun dalam bidang pemngetahuan ilmu ekonomi, bagi para
peneliti yang mengikuti kitab Ihya
Ulumuddin saja, mereka akan mendapatkan pengetahuan tersebut, disamping itu
juga terdapat dalam kita lain, seperti dalam kitab; al ‘Ilmu, Asrar az Zakat, Kasyfu al Maisyah, al Haram wa al Haram, al
Bukhlu, az Zuhhud serta at Tibr fi al
Masbuk li Nasihat al Mulk, Mukhasafatul Qulb dan Mizan al ‘Amal40.
Kesemua karya Al-Ghazali tersebut diatas, ada
yang Shahih penisbatannya dan ada juga yang diragukan, seperti yang diutarakan
oleh Abdurrahman al Baidawi. Misalnya,
al Mdnun ini adalah salah satu kitab
karya al-Ghazali begitu pula dengan karya-karya yang lain; Misykat al anwar, al Qishash al-Mustaqim, Iljam al Awwam, al Munqidh
min ad Dhalal dan ar Risalah al Laduniyah41.
Disitulah kelebihan Al-Ghazali dengan para
tokoh lainnya yang semasa dengannya. Ia sesosok pribadi yang telah diper-siapkan
untuk zamannya. Ketajaman berpikir mnenjadikan karya-karyanya aktual,
kejernihan dan keikhlasan dalam ber-amal serta bertindak menjadikan namanya
harum sepanjang masa, semua itu tiada lain merupakan berkat “doa” orang tua nya
yang menginginkan anaknya menjadi orang yang cende-kiawan-cendekiawan.
Buku-buku buah karya al-Ghazali banyak
diterjemahkan dan diterbitkan di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa. Para
ahli teologi Yahudi pun banyak menyandarkan pendapat mereka pada al-Ghazali.
Hal ini terjadi setelah berbagai kita karangannya diterjemahkan pada abad XIII
yang kemudian digunakan untuk membantah para filsuf saat itu.
Selain para teolog Yahudi, pemikiran al-Ghazali
juga mempengarui beberapa pemikir Nasrani di Eropa, seperti Thomas Aquinas dan
Pascal. Bahkan pengaruhnya jug adianut para filsuf Barat yang dianggap sebagai
bapak filsuf modern, Descrates. Carra de Voux, seorang berkebangsaan Prancis,
mengatakan bahwa al-Ghazali telah mendahului Emanuel Kant (sang Raksasa
Pemikir) dalam menemukan teori ‘Kelemahan Akal”. Kitab Tahafutl Falasifah adalah kitab terbaik untuk mem-pelajari nilai
akal pada umumnya42.
C.
Perkembangan Alam Pikiran al-Ghazali dan
Pengaruhnya di Dunia Islam dan lainnya
Perkembangan pemikiran
al-Ghazali mengalami pergola-kan yang membawa dirinya pada tingkat tertinggi,
yaitu skeptis (keragu-raguan). Menurut Ahmad Hanafi, pikiran-pikiran al-Ghazali
telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin,
sehingga sukar diketahui kesatu-an dan kejelasan corak pemikirannya, seperti
yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran
akidah pada masanya43.
Al-Ghazali hidup pada masa
ketika dunia Islam tengah menghadapi serbuan gelombang helenisme kedua, yaitu serang-an pemikiran filsafat Yunani Kuno.
Pada masa itu, filsafat demikian dipuja-puja kaum terpelajar dan cendekiawan
Muslim. Sedemikian kuat dan derasnya serangan itu, sampai-sampai umat Islam
kemudian merasa rendah diri di hadapan filsuf yang selanjutnya menimbulkan
keraguan terhadap agama dan me-lemahkan akidah. Nama-nama besar para filsuf
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lain telah memukau para
cendekiawan Muslim, terutama kaerna intelektualitas dan keteliti-annya dalam
berbagai bidang ilmu seperti geometri, logika, dan ilmu alam. Mereka juga
mendengar tentang para filsuf yang meyakini bahwa agama tidak lebih dari suatu
tipu daya yang dihiasi keindahan44.
Kondisi seperti ini yang
menjadikan al-Ghazali merasa peri hatin dan gelisah, sehingga keraguan
(skeptis) terhadap “agama” pun hampir-hampir menyerangnya. Namun berkat ke-gelisahan
ini juga akhirnya, ia mendapatkan titik terang bahwa hanyalah agama yang mampu
menerangi jalan kehidupan sampai kelak di akhirat. Karena, ilmu pengetahuan
yang hanya sebatas logika (filsafat) pasti tidak mampu menjem-bantani hakikat
kehidupan ini. Dari sinilah lompatan kejeniusan seorang Hujjatul Islam dalam
membela panji-panji Islam melalui maha karyanya Ihya ‘Ulumuddin mampu
menjawab serangan para filosuf dan memberi lompatan pengetahuan melalui
penguatan intiutifi tasawufnya. Dengan berani al-Ghazali meng-atakan, “Siapa
yang menganggap bahwa Islam akan terbantu dengan menolak ilmu-ilmu ini, telah
melakukan kejahatan yang serius terhadap agama (ad-dien). Dia tidak mempertanyakan peranan akal di dalam urusan
manusia. Bahkan, dia menekankan, “otak merupakan sumber, titik tolak, dan
landasan penetahuan. Hasil pengetahuan dari otak sama seperti buah dari pohon, cahaya
dari matahari, dan pengelihatan dari mata. Namun al-Ghazali menetapkan bahwa
kebenaran metafisika dan untuk membeda-kan yang benar dari yang salah. Akal dan
wahyu harus ber-sama-sama berperan yang saling melengkapi dalam kehidupan
manusia45.
Menurut Umer Chapra, yang
memperkuat pembelaan rasional al-Ghazali terhadap keyakinan dan praktek-praktek
Islam adalah kefasihannya, pengetahuannya yang luas terhadap syari’ah,
kesalehan dan perilaku akhlaknya yang tinggi. Ini menimbulkan penghargaan dan kekaguman
terhadapnya. Al-Ghazali mempunyai pengaruh yang besar di Dunia Islam pada waktu
itu dan terus dibaca secara luas serta dikutip hingga saat ini. Karena dialah
maka Ilmu Kalam, yang diperkenalkan oleh kaum Mu’tazilah dan memasukan banyak
kosa kata dan argumen-argumen filsafat, menjadi salah satu pengetahuan agama
yang diakui secara resmi dan merupakan bagian penting dari silabus agama46.
Berkenaan dengan
pengembaraan intelektual al-Ghazali mengenai ilmu pengetahuan dan dasar-dasar
filosofisnya, atau pertentangan antara landasan ilmu pengetahuan yang bermuara
pada ilmu filsafat melalui “Thahatuf al-Falasifah”nya al-Ghazali, Hidayat
Nataatmadja, menilai bahwa justru akar masalah yang perlu dikembangkan adalah
titik temu antara “Thafuat al-Falasifah” dengan “Thafut a-Tahafut”nya Ibnu
Rusyd perlu di-kembangkan, sebagai suatu ideologi yang mencerahkan. Me-nurutnya,
perselingkuhan antara Tahafut al-Falasifah dengan Tahatuf
al-Tahafut Ibnu Rusyd merupakan dua kutub Timur dan Barat yang harus
dicerdasi dengan suatu peragaan47,
seperti:
Rusydian – Barat – Tahafut at-Tahafut (Dosa
= ½)
|
A A: KONVENSIONAL
PERSELINGKUHAN:
HIV & AIDS,
RASIONALISME
PSIKOTROPIS
(DOSA=1)
Ghazalian – Mulsim – Tahafut al-Falasifah
(Dosa = ½)
Inteligensi
Indriyah (Kemampuan Rasional)
|
B:
ALTERNATIF (Islamisasi
Ilmu pengetahuan)
SUPRA INTELIGENSI
Inteligensi Fithriyah (Kemampuan Intuitif)
Dipandu oleh Ayat Spiritual Kauliyah
sebagai Sistem Operasi Pikiran
Dari
dua peragaan tersebut di atas, kiranya dapat dikom-promikan melalui diametris
Pohon Kalpataru Ilmu Hidayatian, seperti gambar di bawah ini:
1
1 1![]() |
A
B
1 1
1
Keterangan:
Dari tiga peragaan
tersebut tidak salah bila antara al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd merupakan satu
kesatuan yang seolah-olah mewakili dua kutub, yaitu Ibnu Rusyd kutub Barat dan
al-Ghazali di dunia Timur yang oleh kebanyakan orang disalah-pahami sebagai
sebuah pertentangan. Meskipun benar bahwa kedua karya tokoh tersebut “saling
menyerang” satu sama lain, yaitu Tahafut al-Falasifah al-Ghazali
dengan Tahafut at-Tahafut Ibnu Rusyd, namun perlu di telaah
secara kritis bahwa Ibnu Rusyd juga bukan tokoh liberal yang banyak disangkakan
orang. Sebagaimana al-Ghazali yang disinggung Chapra di atas, Ibnu Rusyd juga
berpandangan bahwa kebenaran filosofis (akliah) tidak kontradiktif dengan
kebenaran ilahi (wahyu) karena keduanya bersumber dari satu sumber yang sama.
Al-Kindi, Farabi, Ibnu Sina, Fakhruddin al-Razi, juga al-Ghazali juga
berpikiran sama. Mereka percaya bahwa wahyu dan akal saling melengkapi48.
Karena itu sangat keliru
bila ada suatu kesimpulan yang mengatakan bahwa Barat maju karena ikut Ibnu
Rusyd dan Islam mundur karena ikut al-Ghazali. Padahal, menurut Adian Husaini,
kemajuan Barat di dalam bidang sains dan teknologi justru tidak ada kaitannya
dengan pemikiran Ibnu Rusyd (Avveroisme). Maka dari itu, untuk melihat potret
pemikiran al-Ghazali secara utuh dan mendalam perlu penelitian-penelitian
serius dan berkelan-jutan yang tentu tidak lepas dari kondisi dan situasi yang
me-lingkupinya. Sebab, dalam Ihya’nya,
misalnya, al-Ghazali men-jelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam
per-spektif sufistik (Islam). Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah
ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat)49.
Sebagai bagian untuk
mengungkap dan menelaah topik-topik tersebut, kiranya penulis concern
(fokus) pada satu per-soalan yang hampir-hampir tidak disentuh oleh kebanyakan,
yaitu bidang ekonomi moneter dan bisnis. Pada sub bab bagian berikut akan
disajikan bahasan mengenai tema-tema pokok pemikiran al-Ghazali tentang teori evolusi
uang, dan aktivitas kegiatan ekonomi yang kemudian akan dibahas secara men-dalam
pada bab berikutnya.
D.
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Setelah dijelaskan perkembangan histories
melalui latar belakang sejarah, kehidupan dan tulisan-tulisan atau karya-karya
al-Ghazali, serta perkembangan alam pemikiran dan pengaruhnya di dunia Islam
dan internasional lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa pikiran-pikiran yang
tertuang di hampir seluruh bukunya itu bermuara pada karya monumental-nya,
yaitu; Ihya Ulumuddin, dimana kitab
ini merupakan karya terbesar sepanjang hidupnya dan menjadi rujukan bagi
kitab-kitab al-Ghazali lainnya.
Khusus, kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya monumental al-Ghazali di dalamnya sebahagian
banyak membahas tentang berbagai masalah, baik bidang agama, filsafat, tasawuf,
akhlak dan fiqh yang di dalamnya merupakan embrio dalam pem-bahasan pemikiran
ekonomi al-Ghazali.
Dan pada pembahasan sub-bagian ini
akan dikutipkan suatu tulisan ringkas tentang pemikiran ekonomi al-Ghazali secara
umum, dan sebelum pada bab khusus selanjutnya yang akan membahas pemikiran
al-Ghazali tentang moneter dan aktivitas bisnis secara rinci dan komprehensif. Berikut ini
be-berapa kutipan dari sebuah tulisan yang berjudul “al-Ghazali on Economic Issues and Some
Ethico-Juristic Matters Having Implications for Economic Behaviour”, yang
download dari www.islamic.net.
“Underlying every-economic system there is a philosophy, and
so is the Islamic economic system. Although economics did not emerge as a
system as yet, al-Ghazali's philosophical and intellectual mind did not fail to
put Islamic economic thought in its proper philosophical perspective.
The philosophy underpinning al-Ghazali's analysis of
economic pursuit is that economic achievement is a means to the end, and not an
end in itself. Wealth is a means to the success in the eternal life. Implicit
in this is the philosophy of life embodied in the concepts of tawhid (the unity of Allah), akhirah (the hereafter) and risalah (the institution of
Prophethood), and also explicitly mentioned elsewhere in his works.
Man needs food to maintain good health without which it is
difficult to fulfill moral obligations including seeking of know ledge and its
application in actions, which includes service to Allah (SWT) and humanity. All
these would require income and wealth, and hence earning has been encouraged.
Economic activity should be viewed in this perspective,
otherwise this activity would lead one to ruin. On this philo-sophical context,
economic agents may be classified into three groups. These are as follows:
1.
Those people whose economic
involvements occupy them fully so that they forget their place of return, the
hereafter. They are among those who will really be ruined.
2.
Those whose concerns for the
hereafter keep them away from economic activities. These are successful people.
3.
Those who get involved in economic
activities for the here after. They are the nearest to the straight path
(middle way).
According to al-Ghazali, one cannot attain the stage of
straight path unless he follows the straight path in the seeking of livelihood;
and one cannot make the economic achievements as a means to the success in the
hereafter until he follows the Islamic norms in their economic pursuits.
The second and third categories of people satisfy
al-Ghazali's philosophical criterion of beneficial economic activity. The
second category of people deserves attention. These are those people who keep
themselves away from economic involvement in order to concentrate in seeking
the pleasure of Allah (SWT) for achieving success in the hereafter. According
to al-Ghazali, they are successful people. A careful reader of the basic
Islamic sources, including the Qur'an and the tradition of the Prophet (SAW)
may, however, reach a conclusion which may seem to be contrary to al-Ghazali's
comment about the second category.
Islam never discourages one to get involved in economic
activity, but rather encourages him to seek the bounty of Allah (SWT) once the salah (prayer, an Islamic ritual) is
over, and discourages elements of monasticism. This is evident from
al-Ghazali's discussion itself subsequent to his philosophical analysis, in
Section One (al-Bab al-Awwal) "On
the Merit of Earning and its Incentives" (Fi Fadl al-Kasb wa'l Hathth alaih). In this section, he presented
the Qur'anic verses, the traditions of the Prophet (SAW) and those of renowned
Islamic personalities to prove the need and importance of economic activity and
earning to be able to fulfill one's own needs, needs of the family, social and
other Islamic obligations. In addition, Islam discourages begging and
dependence on others, which one cannot avoid if he refrains from earning
activities. If this is so, one may pose a question about al-Ghazali's above
comment: how will a person be successful in the hereafter if he avoids economic
pursuits and, thus, is unable to fulfill his obligations?
1. Place and Benefit of Economic Activity (Tempat dan Ke-untungan Aktivitas Ekonomi)
Al-Ghazali has written a full section, as indicated above,
to show the significance, importance and benefit of economic activity and
earning. Economic activity for halal
(permitted) earning has a religious status, provided one follows the Islamic
norms of economic activity and the objective is good, and not for pride and
accumulation. He substantiated this by quoting from the Qur'an, the traditions
of the Prophet (SAW) and the traditions of other Islamic personalitiesl. The
major points may be sum-marized as follows.
First, Allah (SWT) has provided resources for the benefit of
mankind and so they should work to earn them, use them, and express the
gratitude of Allah (SWT). Second, economic pursuits in order
to be free from the dependence on others, and to fulfill one's own need, the
need of the family, need of parents, neighbors and relations, and to satisfy
other Islamic obligations are considered efforts in the way of Allah (SWT),
which will have high status in the hereafter, provided Islamic norms of earning
have been followed. Third, economic pursuits for accumulation of wealth, pride, and
for spending in undesirable things are considered as efforts in the Way of the
devil. That is, the means and objectives of economic activities should be
Islamically permitted and desirable.
Al-Ghazali has clarified the doubts arising from such
sayings which seem to discourage economic pursuits. According to him, economic
pursuits are condemned if their objective is to get more than needed for the accumulation
of wealth and its hoarding, and not to spend in goodness and charity. This is
because its implication is to make the world as one's objective, which is the
root of all evils. Even worse, if one resorts to cheating, oppression and other
malpractices to make money. On the other hand, if the objective is to be
independent of others, meeting the needs of the life for himself and family,
and to spend in goodness and charity, then the economic pursuit is better than
abstinence from it.
1. Need for The Knowledge of Islamic Economics (Kebutuhan Akan Pengetahuan Ekonomi Islam)
Al-Ghazali included the knowledge of economic matters into
the obligatory knowledge mentioned in the Prophetic tradition, "Seeking of
knowledge is obligatory (fard) on every Muslim". If economic
activity is encouraged so much so that it has a status of worship, its
knowledge is also necessary, "Know that acquiring knowledge in this Bab (in
the field of economics) is wajib
(compulsory) on every earning Muslim ".
This is because one must know how to deal with a problem
when it arises, lest he might get himself involved in what is not allowed. One
should not wait to ask around when he encounters a problem. If he does so,
there is a likelihood to do what he is not supposed to do. Therefore, every
earning Muslim should have the basic knowledge of the matter. In his support,
al-Ghazali presents the practice of' Umar, the second caliph, who used to visit
the market places and say, "He should not do business in our markets that
does not have its knowledge".
It seems from his discussion that al-Ghazali is concerned
with the Islamic rules of economic activity which are Islamic legal norms and
values of economic activities, and are the subject of Islamic jurisprudence,
discussed in the chapter of mu'amalat
(socio-economic activities). In the contemporary literature, Islamic economics
includes Islamic legal norms and their economic analysis.
Therefore, according to al-Ghazali, the basic know-ledge of Islamic economics is
compulsory on every economically active Muslim to the extent of basic Islamic
legal norms relevant for his activity, whether it is obtained from Islamic
economic literature or from the juristic sources, through study, reading or
discussion with the persons of knowledge. Such obligatory knowledge of economic
activities is of many kinds (branches), of which six must be acquired by those
who are involved in such activities. These are bai' (trade and commerce), riba
(interest, usury), salam (forward
buying), ijarah (renting), musharakah (partnership) and mudarabah (sleeping partnership for
profit sharing).
3. Social Cost and Oppression (Biaya Sosial dan Tekanan)
The analysis of social cost in economic activities is a
very recent phenomenon in the conventional economics, a matter of late 20th
century. Al-Ghazali analyzed this concept under the title "Fi Bayan al-adl wa Ijtinab al-Zulm "Mu'amalah". He
had termed the act of causing harm to others as zulm (oppression). adl
(justice) requires an economic agent to refrain from activities of zulm, which
he divided into two categories. First, the activity that causes harm
to the public in general. Second, the action that affects the
second party.
The activities which cause general social harm are of several kinds. The first is
hoarding, particularly hoarding in foodstuff, which is meant to increase prices
by creating an artifical crisis in the market. According to al-Ghazali, this
behavior is a zulm 'am (general
oppression), which is condemned in the Shari'ah. Al-Ghazali quoted several
traditions of the Prophet (SAW) and a Qur'anic verse to support his position.
From the Qur'an, he quotes the verse 22:25 which mentions the word zulm, and he includes ihtikar (hoarding) in zulm, which qualifies one for a severe
penalty in the Day of Judgment.
One of the traditions quoted reads as follow:
"Whosoever hoards foodstuff for 40 days he takes himself away from Allah's
protection and Allah takes away His protection from him", elsewhere it is
reported as follows, ''as if he kills all the people".
Al-Ghazali also refers to the traditions encouraging
behavior of refraining from hoarding. According to him, prohibition of hoarding
is general. However, storing items without causing harm is allowed. That is,
the kind of commodity and the time factor should be considered in this matter.
Another kind of general social harm is the issue of
counterfeit money. The use of counterfeit money affects its receiver; and if he
uses it again, another person is harmed. The harm continues one after another
and thus it becomes a general social harm. One's bad deed ceases with his
death, but such a bad deed continues even after his death, as long as the
counterfeit money is in use. Al-Ghazali quoted the tradition of the Prophet
(SAW) to the effect that he who initiates a bad tradition (Sunnah sayyiah) he
will bear an equivalent sin of all those who continue that tradition even after
the death of the first initiator. The Prophetic tradition is general, which has
been applied by al-Ghazali to economic matters. This application provides a general
rule in economic behavior that the initiator of an undesirable and socially
harmful practice in the field of economics and business is a severe crime, a
manifold multiple of the initial crime, and hence such behavior will have to be
dealt with accordingly.
Al-Ghazali provided suggestions on how to deal with the
counterfeit money. First, if one happens to receive forged money, he should throw
it into the water so that it is not used anymore, or it should be destroyed. Second,
knowledge of money and coins is compulsory (wajib)
for the businessmen to protect the people from forged money. Third,
if one can identify the forged money and still he accepts it, he will be a
sinner, since he accepts it to pay it to somebody else, and not for himself.
If, however, he confines it to himself and does not pay it to anybody, he will
be free from sins.
Fourth, if one receives forged money to destroy it, he qualifies
for the Prophet's prayer to get Allah's mercy. On the other hand, if he accepts
it to pay it to somebody else, it is very bad, an action of the devil. Fifth,
a counterfeit money or coin is what does not contain gold if the country uses dinar (gold coin). If the country uses a
mixed coin its use is allowed without knowing the real proportion of gold in
it.
This shows al-Ghazali's concern for the problem of issuing
counterfeit coins or forged money by unauthorized quarters. He did not,
however, provide a macroeconomic analysis of the effects of excess money supply
in the form of forged money, but he took it as an undesirable individual
behavior which harms the society in general. He also suggested how to deal with
the problems of forged money. This suggestion is also confined to individual
level. He did not discuss what should be done in this matter at the societal
level through the institution of the government and monetary authority.
4. Functions of Money and the Theory of Exchange (Fungsi Uang dan Teori Pertukaran)
One of the most important contributions of al-Ghazali to
economic thought is his analysis of the functions of money (gold and silver
coins in his analysis) and that of exchange, included in chapter "Kitab al-Sabr and al-Shukr".
He discussed the rationale and wisdom of having money, problems of barter
exchange, the role of money in commodity exchange, the need for the circulation
of money as against its hoarding, and whether money may be treated as a
commodity.
According to al-Ghazali, money does not have any value and
benefit in itself. Man needs it as a medium of exchange. Man needs many things,
including food and dresses, which he may not possess, but he may possess things
in surpluses which he does not need. For example, a person has saffron, but he
needs a camel to ride on instead. On the other hand, he who owns a camel may
not need it, but he may need saffron instead. Therefore, there is a need for
exchange which requires a unit of measure. Moreover, the owner of the camel may
not spend the whole camel for saffron, and there is no measuring relation
between a camel and saffron. Thus one does not know how much of saffron is
worth a camel. This makes exchange difficult. Therefore, there is a need for
money which can be used to measure the value of different commodities for their
easy exchange with justice among the people.
Another wisdom of money, according to al-Ghazali, is that
money provides human access to all goods and services. The owner of clothes
owns only clothes, but the owner of money has everything. This is because the
owner of money can buy whatever he likes with his money, which the owner of
clothes may not be able to do. The cloth-owner may want food, but the
food-owner may not need clothes. Therefore, there is a need for a medium of
exchange, which is money.
Here al-Ghazali refers to the problem of double-concidence
in barter exchange which is overcome by the monetization of the economy. Thus,
the functions of money are to serve as the unit of value and the medium of
exchange, in order to facilitate exchange with justice.
To al-Ghazali, the use of money should be confined to its
functions. The objective of alphabets is to construct words and sentences, and
not the alphabets themselves. Likewise, money should be used in exchange as a
unit of value. It should not be hoarded for its sake. Hoarding money is like
making the ruler of a country captive so that the ruler can,not discharge his
responsibilities. Money can be hoarded in two forms: (i) in money itself, and
(ii) in items made of gold and silver. According to al-Ghazali, money is to be
in circulation, and not to be used otherwise or to be kept idle. Money is not
desired for its own sake, but rather for something else. Trade in money for
earning interest makes money an end objective (like a commodity) which is zulm
(oppression, or putting something in the wrong place). This is an ingratitude
of Allah's blessing, which came in the form of money to solve the problems in
exchange and valuation.
This analysis of money by al-Ghazali shows his insight
into the nature, functions and the role of money. Al-Ghazali has beautifully
explained the problems with the barter economy. He discussed the importance of
monetization and analysed the two functions of money: the unit of value and the
medium of exchange. Besides, he indicates how money contributes to the
establishment of justice in valuation and exchange. His perception of the
function of money as a store of value is also clear. However, he does not
recommend store of value function of money for the purpose of hoarding. That
is, to al-Ghazali, the store of value for hoarding is an undesirable function
of money. He did not consider the cases where the storing value function of
money may be desirable. In addition, al-Ghazali does not consider money as an
exchangeable commodity and presents this as a rationale for the prohibition of
interest, which seems to be quite logical to rational reasoning.
5. Market
and Marketing
(Pasar dan Pemasaran)
Al-Ghazali provides a fairly detailed discussion on the
role and significance of trading activities, leading to the emergence of
markets with the necessary marketing functions including trans-portation and
storage. Production and consumption centers may be located in different places.
For instance, a farmer needs farming instruments made by carpenters and these
two activities may not be located in the same area. Farmers demand the products
of carpenters, while the carpenters demand farm produce. Thus they need a
meeting place for buying and selling which is called market.
The demand for commodities may not again coincide in terms
of time. This necessitates the storing function of marketing. The traders and
middlemen buy things from farmers, store them, and sell them to consumers when
demanded. They buy things from farmers at cheap prices during harvest and later
sell them to consumers at higher prices for profits. This happens not only in
farm produce, but rather in all other commodities as well.
Implicit in this discussion is the idea of market forces
to determine prices. The farm produce is traded at low prices during harvest
when the supply is large compared to its demand. It is sold at a high price
later when demand is high compared to its supply.
Buying things from the production centers and their sale
in the consumer centers lead to the emergence of a group of traders. They buy
food from villages and equipment from cities, transport them to where these are
demanded and make a living out of such trading activities. Shipment of goods is
necessary because the places are not self-sufficient in all the commodities.
This necessitates transport industry and transport operators
(transport contractors or agencies). There is also a need for animals to carry
goods from one place to another. Al-Ghazali refers here to the need for
vehicles for transportation, which were mainly animals in his time. The
transport operators and the transport users determine price for the transport
service which becomes the source of income for the operators. Thus people work
for each other to earn a living.
It is interesting to note that al-Ghazali's
"farmer-carpenter" example for the emergence of market is analogous
to the famous "butcher-baker" illustration of Adam Smith centuries
later.
6. Economics and Islamic Values (Nilai-nilai Islam dan Ekonomi)
Al-Ghazali has emphasized that economic achievements
should not be at the cost of din (the
Islamic code of life), which amounts to say in modern terms that there should
not be a trade-off between economics and Islamic values. One should not sell
akhirah (the hereafter) for dunya (the world).
According to him, akhirah is the capital which a
businessman should protect and develop by profits. If akhirah is traded for
dunya the businessman is in a great loss; he is ruined. Because, while dunya is
needed, the akhirah is even more needed. A sense of complementarily between the
dunya and akhirah can be perceived from his statement that the former is the
cultivating field for the latter. In his support, he presented the Qur'anic
verse: "La tansa nasibaka min al-dunya", meaning "Do not forget
your share of the world". Al-Ghazali interpreted this in the following
words, "La tansa Ii al-dunya nasibaka minha li al-akhirah , meaning
"Do not forget in the world a share from it for akhirah". That is,
achieve dunya for akhirah.
Al-Ghazali's interpretation of the Qur'anic verse seems to
be different from its explicit meaning which, if combined with the earlier part
of the verse, apparently means that one should seek the home of akhirah by
wealth, but he is not prohibited from enjoying the bounties of Allah (SWT) in
this world as well. This explicit meaning is supported by a good number of
Qur'anic commentaries. According to Sayyid Qutb, this Qur'anic verse provides
an example of the Islamic code of life to be a balanced one, which establishes
connection between the owner of the wealth and the akhirah, but does not: prohibit
enjoyment of the worldly things and, instead, encourages it. To him, Allah has
created the good things of the world for the mankind to benefit from them by
enjoying them, which is a form of expressing gratitude to Allah (SWT) by
accepting His gifts.”
1 Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, bulan bintang, Jakarta, 1973., hlm.72
7 Pada saat itu peradaban islam dengan pola-pola institusi
imperium Timur Tengah, pola ekonomi dan monoteistik yang sebelumnya telah
mapan, karena berkembang dengan efek kultural akibat pembentukan imperium baru
tersebut, juga akibat urbanisasi dan perubahan sosial. Lihlm., Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Terj., Raja
Grafindo, Jakarta.
1991.,hlm.ix
8 Abdul Halim Mahmud dalam Terj., Raudah al-thalibin wa ‘Umdah al-sakitin dan Minhaj al-arifin, karya
al-Ghazali, yang diterbitkan pustaka progresif, surabaya,1999., hlm. Ix
9 Demikian pula M.M. Sharif, dalam buku berjudul A History Of Muslim Philodophy, Jilid 2, Wiesbaden, 1996., hlm.1349-1415, mengomentari tentang perkembangan kejayaan
Islam klasik.
12 Op.Cit., hlm.75, dan Philip K. Hitti, History of the Arab, London: Press, 1987., hlm. 471
13 Pada Masa ini, perbedaan ilmu kalam, perbedaan fiqh
dan Tassawuf telah mewarnai masyarakat. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tampil
tokoh-tokoh besar, dimana mereka memiliki pengikut dan orang-orang dikemudian
hari yan taklid. Masing-masing pengikut dari tiap-tiap aliran atau mahzab,
“haram” keluar dari mahzab atau allirannya. Bahkan para pengikut taklid merasa
wajib menolak setiap kritikan yang ditujukan kepada mahzab atau aliran yang
dipegangnya. Dengan demikian timbullah fanatisme dan taklid buta kepada mahzab
atau aliran yang diwariskan. Tiap-tiap mahzab atau aliran sama-sama memiliki
dareah-daerah perbatasan yang tidak boleh didekati orang lain. Kalau tidak akan
terjadi gejolak dan konflik terbuka. Lih, Yusuf al-Qardhawi, al-Ghazali Antar Pro dan kontra,pustaka Progresif, Surabaya, 1999., hlm.,
103
14 Ali Abu Bakar dalam terj., Qawaid al-aqoid fi Tauhid
al-Madnun alaGhairi ahlihi Ijam al-Awam an Ilmi’, Karya Al-Ghazali, Pustaka
Progresif, Surabaya, 1999., hlm.xii-xiii
15 Syikh Idris Syah dalam Miskat al-Anwar fi Tauhid al-jabar, karya al-Ghazali, Terj., hlm 3
16 Ibid., hlm. 3-4
17 Harun Nasution, Op.cit.,
hlm.7
18 Metode yang dipakai al-Ghazali adalah al-Khasaf
(metafisik; intuisi) atau pendekatan dzauq yang dalam dunia industri terkenal
dengan istilah intuisi atau berdasarkan wahyu, sementara dalam dunia filsafat
adalah pendekatan rasionalitas, akal murni dan inilah yang diragukan
al-Ghazali. Pen.
19 al-Ghazali telah memperlihatkan kegagalan filsafat untuk
sampai kepada hakikat ilmu, yakni hakikat ke-Tuhan-an dan nubuwat; sementara
argumentasi para ahli kalam terkadang memadai bagi tuntutan mereka, tetapi hal
itu tidak cukup bagi orang yang menerima postulat-postulat
mereka. Dia juga memperlihatkan kepalsuan klaim golongan Bathiniyah berkaitan dengan perolehan ilmu dari seorang imam yang
ma’sum, dan dia menetapkan bahwa tasawuf – unsur Ilham (kewahyuan) dan Dzauq (perasaan) didalamnya – merupakan jalan
yang bisa mengantarkan kepada pengetahuan yang meyakinkan dan kepada pembebasan
jiwa, dan bahwa filsafat, kalam dan tasawuf wajib dibangun diatas dasar agama
yang selaras dengan pokok-pokok ajarannya. Keterangan lebih sempurna lihat Dr.
Abu al-A’laa ‘Afiffi, dalam terjemahan “al-Ajwibat
al-Ghazali wa al-mas’alat al-Ukhrawiyah, al-Duraat”, Karya Al-Ghazali,
edisi terjemahan, Pustaka Progressif, Surabaya,
1999.
20 Al-Ghazali, populer dengan mentasydidkan huruf z,
khususnya bila dikaitkan dengan profesi yang pemintal benang. Dalam bahasa arab
memang ada kebiasaan menambah tasydid untuk sebuah profesi, contoh al-Khubaz menjadi al-Khubbaz
(doble z sebagai lambang tasydid). Banyak juga yang mengatakan , “bila
dikaitkan dengan’ istilah’, Huruf z diringankan, karena dikaitkan dengan nama
sebuah desa dikota Thus”. Lih. Yusuf al-Qardhawi, Op.Cit. , hlm. Xx. Kota kota Thus
terletak diwilayah Khurasan bagian dari Iran, yang kini disebut Mahed, lihat Harun Nasution, op.cit.,
hlm 52
23 Yusuf al-Qardhawi, op.cit., hlm 19
24 Sulaiman Dunia, al-Hakikat ‘india al-Ghazali, Tanpa Tahun, hlm. 9
25 Lihat Ahmad Hanafi,Pengantar
Filsafat Islam, bulan bintang, jakarta, 1990., hlm.13
28 M. ibrahim al-Fayumi, al-imam al-Ghazali wa’Alaqah al-Yazim bi al Aql, Darul Fikri,
Cairo, Tanpa Tahun, hlm.80
29 Walaupun kemasyhuran telah diraih
al-Ghazali, ia tetap setia kepada gurunya dan tidak meninggalkannya sampai
gurunya wafat pada tahun 478.
30 Harun Nasution, op.cit.,hlm.18
33 al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dhalal,
al-maktabah al-islamiyah, cairo, 1977., hlm. 2-22
34 Menurut Hasyimsyah, atas desakan
penguasa bani Saljuk, al-Ghazali dimintai pengajar kembali pada madrasah Nidzamiyah
di Naisabur selama dua tahun. Op.cit., hlm.
78
35 Ahmad
Hanafi, op.cit., hlm. 136
36 Lihat
Dasoeki, hlm. 58
37 Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Tanpa Tahun, hlm. 8
38 Al-Ghazali, Miskatul Anwar fi Tauhidil Jabbar,
terj., Pustaka Progressif, Surabaya, 1999., hlm. vii
39 Penamaan kitab ini ada dua, yaitu: 1) Muqaddimah Tahafut al-Falasifah atau Maqasid al-Ilm. Lihlm., al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, Cet. I, 1993. Hlm 9-10
40 Lihat Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awwa, op.cit., hlm. 74
41 Al-Ghazali, Miskatul Anwar, terj., Pustaka Progressif,
Surabaya,
1999., hlm ix
42 RA. Gunadi dan M. Sholehi, (Peny.), Khazanah Orang Besar Islam Dari Penakluk
Jerusalem Hingga Angka Nol, Penerbit Republika, Jakarta, 2002., h. 78
44 RA Gunadi dan M. Sholehi, Khazanah Orang Besar Islam Dari Penakluk Yerussalem Hingga Angka Nol, (Jakarta:
Republika, 2002), h. 76
47 Hidayat Nataatmadja, Inteligensi
Spiritual: Intelegensi Manusia-Manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, (Salemba:
Perenial Press, 2001), h. 188
48 Dikutip dari tulisan Nirwan Syafrin dalam Jurnal
Pemikiran Islam Republika yang berjudul “Ibnu Rusyd Tidak Liberal”, Kamis 20
Januari 2011.
49 Dalam tulisan Adian Husaini di Jurnal Pemikiran Islam
Republika Halaman 25 yang berjudul “Salah
Paham Terhadap Ibnu Rusyd dan al-Ghazali, Kamis 20 Januari 2011.

Komentar
Posting Komentar