KESULITAN BELAJAR PADA ANAK: PROBLEM DAN SOLUSINYA Suatu Tinjauan Psikologik-Paedagogik
Dr. Abdul Aziz, M.Ag
Apakah
yang harus dilakukan ketika menyaksikan anak-anak kita sendiri mogok belajar,
murung, malas dan seolah tidak peduli terhadap semuanya. Mungkin saja ia
seorang anak yang cerdas, misalnya terlihat dari ungkapan kata-kata atau perilakunya.
Atau bahkan, ia pernah menduduki rangking pertama di kelasnya. Tetapi karena ia
murung dan malas secara berkepanjangan, prestasinya merosot tajam dan jadilah
ia anak yang tergolong bodoh di kelasnya.
Fenomena ini banyak dijumpai dan mungkin juga melanda
anak-anak kita sendiri. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seorang anak
kelihatan murung dan malas, yang pada gilirannya merusak prestasinya. Di antara
factor-faktor tersebut, yang sangat penting adalah hilangnya motivasi untuk
belajar.
Dalam kegiatan belajar, sukses atau gagalnya
seorang anak mencapai prestasi, tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan
semata-mata, tetapi yang tidak kalah pentingnya juga motivasi. Peranannya
sangat khas dalam hal mem-bangkitkan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar. Menurut W.S. Wingkel, ada empat fungsi dari motivasi,
yakni membangkitkan (arousal), harapan (expactacy), insentif (incentive),
dan disiplin (disciplinary function). (Abd. Rachman Abror, 1993: 115)
Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak
yang memiliki ganguan satu atau lebih dari proses dasar yang mencakup
pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan,
berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.
Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan
perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa
yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan
lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit
pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya :
(a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever;
(d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini
akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.
Learning Disorder atau kekacauan
belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena
timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan
belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu
atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil
belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh :
siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan
sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut
gerakan lemah-gemulai.
2.
Learning Disfunction
merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi
dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya
subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya.
Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok
menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola
volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3.
Under Achiever mengacu
kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang
tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh :
siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan
tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa
saja atau malah sangat rendah.
4.
Slow Learner atau lambat
belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan
waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf
potensi intelektual yang sama.
5.
Learning Disabilities
atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu
belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi
intelektualnya. (Dalam tulisan M. Baitul Alim dihttp://www.psikologizone.com/kenali-kesulitan-belajar-anak-sejak-dini)
Dari
sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk
kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti
bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga
bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di
sekolah maupun dirumah.
Bahkan
belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada
dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang
tuanya dalam kehidupannya yaitu:
1.
Out of Law/Tidak taat
aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)
2.
Bad Habit/Kebiasaan jelek
(misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)
3.
Maladjustment/Penyimpangan
perilaku, dan
4.
Pause Playing Delay/Masa
bermain yang tertunda. (M. Baitul Alim)
Perlu
diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan
pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient).
Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman
mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan
emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu
satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional
intelligence yang juga perlu diperhatikan.
Ini
adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta
mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat
menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur
suasana hati.
Dari
berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam
mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar
nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah
karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus
merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan
tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar
mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.
Misalnya, ketika seorang anak telah kehilangan motivasi, maka apa yang menajdi tugas
utamanya itu bisa secara sengaja diabaikan. Ia tidak merasa harus bertanggung
jawab, jika prestasi di sekolahnya merosost. Ia juga tidak memiliki ambisi
untuk selalu merebut prestasi. Ibaratnya kendaraan, motivasi adalah mesin yang
menggerakannya. Tanpa mesin ini hidup, tak mungkin kendaraan bisa berjalan.
Begitu juga halnya dengan anak kita.
Hal itu bisa terjadi jika semua yang dikerjakannya
telah menjadi rutinitas yang membosankan. Anak murung dan malas juga bisa
terjadi, karena ia lamban dan merasa kecil hati dibandingkan dengan anak-anak
yang sebaya-nya. Tetapi hal itu juga bisa terjadi ketika
anak-anak sedang tertarik secara kuat pada suatu hal, misalnya jenis permainan
atau ide tertentu, yang menyita seluruh per-hatian dan pikirannya.
Ketika kita menghadapi persoalan anak kita seperti
ini, apakah yang harus kita lakukan agar ia menjadi anak yang rajin belajar dan
menjadi anak yang cerdas. Sebelum kita menentukan langkah apapun, hal yang
harus disadari adalah factor dorongan atau motivasi yang melatar-belakangi tindakan atau kegiatan seorang anak,
jelas berbeda dengan orang tua. Orang tua biasanya akan melakukan suatu
kegiatan tertentu dan semakin giat ia melakukannya, bila insentif yang
diberikan kepadanya semakin besar. Artinya, bayangan tentang hasil yang dicapai
akan mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
Pada dunia anak-anak, motivasi lahir tidak di-dasarkan pada hasil tetapi ketertarikan, mungkin tidak rasional dan
seringkali susah dijelaskan. Itulah maka seorang anak bisa berjam-jam
menghabiskan waktunya tanpa mengenal lelah, sementara apa yang dilakukan itu
belum jelas manfaat bagi dirinya. Seorang anak yang keranjingan main game atau
play station, walaupun sampai matanya memerah, tentu tidak akan berhenti
bermain jika koinnya tidak habis atau dimarahi ibunya. Sebaliknya jika ditanya,
kenapa main game begitu lama sampai matanya memerah, paling ia akan
berkata; “saya penasaran!”
Untuk menghadapi persoalan tersebut, penulis akan
melakukan suatu penelitian yang berfokus pada persoalan anak dan kesulitan
belajar dalam tinjauan psiko-paedagogik, sehingga diharapkan persoalan anak dan
kesulitan belajar dapat teridentifikasi dengan jelas dan baik, serta mampu
dijadikan problem solving bagi para guru dan orang tua.
Persoalan anak dan kesulitan belajar sebagaimana tersebut di atas,
seperti; prestasi yang menurun, anak malas, dan kesulitan belajar dapat
disebabkan oleh banyak faktor dan berbagai masalah yang melingkupinya. Di
antara faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.1
Anak-anak
yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan
mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai
resiko tinggi untuk menderita gangguan perkembangan kepribadiannya, yaitu
perkembangan mental intelektual, perkembangan mental emosional dan bahkan
perkembangan psikososial serta spiritualnya.
1.2
Kematian
orang tua (ayah/ibu) merupakan psiko-trauma bagi anak yang sedang berkembang. Kehilangan cinta kasih
saying orang tua (loss of love object) seringkali diikuti oleh berbagai
kelainan pada anak, misalnya kecemasan dan depresi.
1.3
Tumbuh
kembang anak secara kejiwaan (mental intelektual dan mental emosional: IQ, EQ),
amat dipengaruhi oleh sikap, cara dan kepribadian orang tua dalam mendidik
anak-anaknya.
1.4
Selain
kondisi keluarga sebagai lembaga pendidikan di rumah, juga kondisi/kualitas
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal besar pengaruhnya bagi tumbuh kembang
anak. Demikian pula kondisi masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal
tidak kalah pentingnya bagi tumbuh kembang anak.
Dari empat faktor tersebut di atas, maka sudah
seharusnya para orang tua dan atau lembaga pendidikan memberikan perhatian
khusus pada pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kreatifitas dan
menumbuh-kan
minat dan bakat, sehingga motivasi anak sejak dini tumbuh kembali.
Sebagai seorang guru yang sehari-hari
mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak yang
mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya sulit sekali
menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung.
Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi
anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak
yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak
yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka
ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar. (Helex
Wirawan
dalam http://www.iapw.info/home/index.php?option=com_content&view=article&id=141:mengatasi-kesulitan-belajar-pada-anak&catid=
32:ragam&Itemid=45)
Akan tetapi yang lebih
menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan
belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya,
sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh,
tolol, ataupun gagal.
Bayangkan betapa
menderitanya seorang anak jika ia tidak mampu untuk mengemukakan atau mengkomunikasikan segala keinginannya atau ia tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk belajar. Kondisi
ini akan membuat anak mengalami kesulitan di dalam kelas dan mungkin tertinggal dalam satu atau beberapa mata pelajaran tertentu. Tidak hanya anak yang merasa tertekan, orang tuanyapun mungkin akan merasakan kebingungan atas problematika yang dihadapi oleh
sang anak.
Menurut dr. Tjhin Wiguna, SpKJ,
dalam tulisannya yang dimuat pada http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/5531,
bahwa proses belajar merupa-kan suatu proses yang
berkesinambungan dalam membentuk sumber daya manusia yang tangguh. Sejak bayi dilahirkan, ia sudah mulai dengan proses
belajarnya yang pertama yaitu, belajar untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan dunia. Hal ini akan berjalan terus sampai anak masuk
sekolah dan proses pembelajaran formal mulai diterapkan pada dirinya.
sekolah dan proses pembelajaran formal mulai diterapkan pada dirinya.
Pada saat ini, seorang
anak perlu dirangsang untuk mengembangkan rasa cinta akan belajar, kebiasaan-kebiasaan belajar yang baik dan rasa diri sebagai pelajar yang sukses. Namun demikian, proses
pembelajaran tidak selalu berjalan mulus hanya dengan faktor di atas. Kesulitan/Gangguan
belajar (Learning Disorders) merupakan suatu kesulitan/gangguan belajar
pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan
antara taraf intelengensi seorang anak dengan kemampuan akademik yang
seharusnya sudah dapat dicapai oleh anak seusianya.
Hal ini merupakan masalah, baik di sekolah
maupun di rumah. Oleh karena, gangguan/kesulitan belajar yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional/psikiatrik yang akan ber-dampak lebih buruk lagi
bagi perkembangan kualitas hidup anak di kemudian hari. Dengan
demikian kepekaan orang tua dan guru kelas sangatlah membantu dalam
deteksi dini kesulitan belajar, sehingga anak dapat memperoleh penanganan
sedini dan seoptimal mungkin dari tenaga professional sebelum
semuanya menjadi terlambat. (Tjin
Wiguna)
Fenomena ini kemudian menjadi perhatian
para ilmuan yang tertarik dengan masalah kesulitan belajar. Keuntungannya
ialah, mereka mencoba menemukan metode-metode yang dapat digunakan untuk
membantu anak-anak yang mengalami kesulitan belajar tersebut tetap dapat
belajar dan mencapai apa yang diharapkan guru dan orang tua. Karena itu, dalam buku ini penulis ingin berbagi
(share) tentang bagaimana seharusnya sebagai pendidik, orang tua, masyarakat
dan atau lingkungan sama-sama memahami persoalan kesulitan belajar pada anak
melalui tinjauan psikologik-pedagogis.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Abu Ahmadi, 1983. Psikologi Umum, Surabaya: Bina Ilmu.
Abb. Rachman Abror, 1993. Psikologi Perkembangan, Yogyakarta.
Abdul Mujib, 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan
Psikologis, Jakarta:
Darul Falah.
Agus Sujanto, dkk., 1992. Psikologi Kepribadian, Jakarta:
Angkasa Baru.
Amrullah Achmad, dk., 1987. Perspektif Islam dalam
Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M.
Alisuf Sobri, 1999. Ilmu Pendidikan, Jakarta:
Pendoman Ilmu Jaya.
Buchari Alma, 2001. Kewirausahaan, Bandung:
Alfabeta.
Coney R. Semiawan, 2002. Belajar dan
Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini, Jakarta: Prenhallindo.
Chaplin, C.P., 1989. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta:
Rajawali Press.
Dadang Hawari, 1997. Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran
Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Yayasan Dana Bakti Wakaf.
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta.
Fuad Mohd. Fachrudin, 1991. Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Maimunah Hasan, 2001. Membangun Kreativitas Anak Secara Islam, Yogyakarta: Bintang
Cemerlang.
Made Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan, Jakarta:
Rineka Cipta.
Maulana Akbar (Peny.), 2000. Wasiat Imam
Al-Ghazali, Jakarta.
Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, 2003. Mendidik Kecerdasan, Jakarta: Pusataka Obor.
Pergusen Russen, 1982. Pendidikan Keluarga dan
Masalah Kewibawaan, Bandung; Jemmars.
Oemar Hamalik, 1975. Metode Belajar dan
Kesulitan-kesulitan Belajar, Bandung: Tarsito.
Sarlito Wirawan Sarwono, 1976. Pengantar
Psikologi Umum, Jakarta: Bulan Bintang.
Sanapiah Faisal, dan Andi Mappiere, Dimensi-dimensi
Psikologi, Surabaya: Usaha Nasional.
Sigmund Frued, 1984. Memperkenalkan
Psikonalisa, Jakarta: Gramedia.
Seri Ayahbunda, 1999. Dari A Sampai Z tentang
Perkembangan Anak, Jakarta: Gema Insani Press.
Soegeng Santoso, 2002. Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta; Citra Pendidikan.
Suharsono, 2001. Melejitkan IQ, IE, dan IS, Depok: Inisiasi
Press.
Said Ahtar Radhawi, 1987. Keluarga
Islam, Jakarta.
Sumadi Soeryabrata, 1969. Psikologi Belajar, Yogyakarta:
Sumbangsih.
Wahjoetomo, 1997. Perguruan
Tinggi Pesantren, Jakarta:
Gema Insani Press.
Winkel, S.J., 1983. Psikologi Pendidikan Evaluasi Belajar, Jakarta: Gramedia.
W.J.S. Poerwadarminta, 1987. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1996. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Luar biasa, menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi para guru dan orang tua
BalasHapusLuar biasa, menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi para guru dan orang tua
BalasHapusguru harus banyak membaca dan semangat untuk mengajar agar menjadi orang tua yang bijak di sekolah
BalasHapus