PENGEMBANGAN EKONOMI DAN PERBANKAN SYARIAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Dr. Abdul Aziz, M.Ag
(Dosen Program Pascasarjana dan S1
Ekonomi Perbankan Islam IAIN SNJ Cirebon)
Email: razi_ratnaaziz@yahoo.co.id
Website:
nyongnewablogaddres.blogspot.com
Pendahuluan
Puji syukur
alhamdulillah atas ridla dan karunia-inayah-Nya, pada kesempatan ini saya
diberi kesempatan menjadi pembahas pada “Seminar Nasional dan Bedah Buku Hukum
Perbankan Syariah”, karya Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag., sekaligus
sebagai narasumbernya untuk tema “Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom)
dalam Pengembangan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”, yang
diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Pada tema ini,
saya melihat ada tiga kata kunci penting, yaitu (1) pengembangan ekonomi, (2)
perbankan syariah, dan (3) kearifan lokal. Pengembangan ekonomi dan perbankan
syariah dibingkai dalam konteks keindonesiaan. Karena berbicara masalah
kearifan lokal (local wisdom), maka berbicara tentang ke-Indonesiaan.
Berbicara
tentang keindonesiaan tentu menarik, sebelum penulis bahas masalah pengembangan
ekonomi dan perbankan syariah. Pertama, karena Indonesia
merupakan bangsa besar mayoritas Muslim yang kaya akan keberagamanan
(kemajemukan-kebinekatunggalikaan). Kata “Keberagaman”, bisa ditinjau dari
pengistilahan “ke-ber-ragaman”, artinya aneka budaya, aneka bahasa, aneka suku,
aneka kepulaan dan sejenisnya, sementara istilah “ke-ber-agamaan”, berarti
Indonesia banyak agama yang diakui, seperti agama Islam, agama Kristen Katholik
dan Protestan, agama Hindu dan Budha, agama Khonghucu. Kedua,
konteks ke-Indonesiaa yang merupakan suatu bangsa dan negara memiliki suatu
ideologi dan falsafah hidup yang berakar dari inti agama dan budaya “keberagaman”
tersebut, yaitu Pancasila. Inilah yang hemat penulis, bahwa
Pancasila seharusnya menjadi sumber segala sumber dan acuan dalam sistem berkehidupan
berbangsa dan bernegara secara menyeluruh dalam konteks Indonesia. Karena itu,
pancasila merupakan akar dari local wisdom (kearifan lokal) dalam
konteks negeri ini, yaitu bangsa Indoensia.
Jika Amerika
saja misalnya, dengan sistem kapitalismenya yakin dapat membantu dirinya untuk
meningkatkan perekonomian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. AS bahkan
dengan tanpa malu dan rasa percaya diri yang tinggi dengan sistemnya itu
berkeinginan untuk menyebarluaskan pada bangas-bangsa Eropa yang kalah perang
dunia II, sehingga ia harus “dengan tangan besi” menggunakan Marshall Plan1 (George Marshall menteri luar negeri
semasa Harry S. Truman, presiden AS tahun 1947) sebagai model pembangunan
terencana yang harus diikuti oleh negara-negara Eropa Barat (Yunani, Turki,
Jerman, Italia, Inggris dan seterusnya). Amerika Serikat konsisten dengan
nilai, prinsip dan tata aturan yang dibangun secara menyeluruh, komitmen dan
yakin bahwa model yang ditawarkan dapat membawa kemajuan negara-negara Eropa
yang kalah perang, dan berhasil. Misi AS untuk “menolong” berhasil
menghantarkan negara-negara Eropa Barat menjadi negara maju dan sistem
kapitalis dengan dalih baju demokrasi dapat mengambil alih sistem politik
negara sekaligus. Bahkan negara-negara Eropa Barat menjalin kerjasama yang
solid dengan membentuk European Economic Community (EEC) pada tanggal 25
Maret 1957 di Roma, Italia.
Dan,
keberhasilan Marshall Plan di negara-negara Eropa Barat yang telah mampu me-recovery
dan mengkonstruksi negara-negara tersebut, akhirnya diteruskan kepada
negara-negara berkembang yang tentu secara geografis, budaya, ideologis dan
faktor lain sangat berbeda karakternya.
Sejalan dengan
itu, Uni Soviet sebagai negara adidaya kedua setelah Amerika Serikat
membanggakan sistem sosialis dan menyebarkluaskannya pada negara-negara Eropa
lainnya, dengan baju komunismenya sebagai sistem negara. Jika pada Amerika ada
Marshall Plan, maka di Uni Soviet ada Molotov Plan (Molotov, menteri luar
negari US saat itu). Molotov Plan merupakan suatu program negara adidaya (US)
dalam rangka membantu meringankan beban dan sekaligus program pemulihan untuk
negara-negara Eropa Timur dari kehancuran akibat perang dunia kedua, dengan
mengirimkan bantuan-bantuan paket ekonomi berupa perkreditan. Karenanya, untuk
soliditas mereka membentuk Commintern Economi (Comicon). Dan, “berhasil”.
Jadi, kedua
program Plan baik Marshall Plan pada Amerika Serikat maupun Molotov Plan untuk
Uni Soviet dengan masing-masing programnya telah menyebar luaskan paham
demokrasi dan komunismenya pada tataran politik kenegaraan, sementara disektor
perekonomian menumbuhsuburkan sistem kapitalisme dan sosialis. Hal ini yang
tentu hemat penulis dapat dicatat. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mari kita
diskusikan.
Pengembangan
ekonomi
Jika AS mampu
menanamkan ideologi kapitalis menjadi sistem ekonomi dan demokrasi
menjadi soko guru sistem kenegaraan dalam politiknya yang mampu
disebarluaskan melalui “Marshall Plan”nya, maka US dapat menerapkan pada
sekutunya itu sistem sosialis untuk sektor perekonomian dan baju komunis
pada sistem kenegaraannya.
Maka, Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan negara, sama seperti Amerika, Uni Soviet (kini
Rusia), Jerman, Italia, Perancis, Yunani, Turki dan seterusnya yang tentu
pernah mengalami dampak perang dunia kedua dan mengalami pahit getirnya negara
jajahan selama berabad-abad, kini dengan telah merdeka pada tahun 1945 sampai
mengalami 7 (tujuh) pergantian presiden selama 71 tahun kemerdekaannya, belum
beranjak dari negara berkembang menjadi negara “maju”. Tentu pertanyaannya
adalah kenapa, ada apa dan bagaimana ini? Mari kita lihat perjalanan panjang (secara selintas) era kepemimpinan
bangsa Indonesia dan bagaimana pengembangan ekonominya.
Sejak
kemerdekaan RI pertama Indonesia tentu mengalami hambatan dan tantangan,
terutama pemulihan (recovery) di bidang ekonomi. Dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
sebagaimana amanat Undang-undang tentu ideologi yang perlu ditegakkan adalah
tiada lain Pancasila. Karena, Pancasila sejak Indonesia merdeka menjadi
falsafah hidup bangsa Indonesia dan termasuk merupakan ideologi bangsa yang ini
tentu sejak era Soekarno, seorang insiyur (Ir) yang kemudian disebut sebagai
Orde Lama (21 tahun) menyakini bahwa Pancasila sebagai keputusan final menjadi
dasar negara (falsafah hidup untuk kebangsaan Indonesia) yang didampingi oleh
wakilnya M. Hatta seorang ekonom telah menggagas dan mencetuskan sistem ekonomi
kerakyatan berbasis koperasi sesuai dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila
(Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Sekali lagi,
jika Amerika dengan sistem kapitalisnya mampu menjadi tolok ukur
perencanaan di bidang ekonomi, di bidang politik sistem demokrasi
menjadi “darah daging”, meskipun hanya 2 partai politik saja yang berperan
(Partai Republik dan Partai Demokrat) menjadi tuntunan kehidupan politik yang
dipertahankan, kalau tidak dikatakan didewakan.
Orde Baru di
era Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya, sekali lagi Pancasila masih tetap
menjadi acuan dan pedoman hidup bangsa – terlepas dari seperti apa dan
bagaimana cara menerjemahkannya – mampu menghantarkan bangsa Indonesia “membangun”
(devlopment country) melalui GBHN-nya dan P4 (Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila) sebagai cara menyakinkan kepada rakyat dalam
mensosialisasikan dan memahami isi kandungan Pancasila. Namun faktanya, apa
yang diharapkan dan diinginkan oleh “Pancasila” sebagai ideologi dan falsafah
negara sebagaimana yang diterjemahkan era Soeharto belum mampu mensejahterakan
rakyat Indonesia, kesenjangan sosial masih ada keadilan sosial belum sepenuhnya
tercapai. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa apa yang menjadi cita-cita
perekonomian dengan asas kekeluargaan melalui KOPERASI dapat
tumbuh-surut- berkembang2.
Meskipun sekali
lagi, demam kapitalis melalui IMF3-nya
dengan dalih bantuan untuk pemulihan perekonoman dan pembangunan pada
negara-negara berkembang dan dorongan “kaspat” DEMOKRASI – istilah yang
sekarang sedang booming yang diperankan kanjeng Brajamukti – tidak dapat
dihindari di”PAKSAKAN” agar dijadikan sebagai sistem politik tersebut,
sebagaimana apa yang diinginkan oleh MARSHALL PLAN-nya Amerika berhasil
mengganti tatanan sosial bangsa Indonesia, yaitu PANCASILA dan EKONOMI
KERAKYATAN.
Akhirnya di era
reformasi pada tahun 1997, apa yang menjadi “cita-cita” era orde lama dan orde
baru dalam rangka menyakinkan kepada rakyatnya bahwa Pancasila sejatinya adalah
ideologi bangsa dan dasar negara, serta ekonomi kerakyatannya dengan wujud
“koperasi” dihancur leburkan atau paling tidak dilihat sebelah mata oleh
rakyatnya sendiri, terutama IDEOLOGI BANGSA “PANCASILA” dilempar jauh-jauh
dengan cara, misalnya P4 dihapuskan dari sekolah dan GBHN dihilangkan. Meskipun
koperasi tetap masih eksis bahkan menunjukkan perkembangannya, akan tetapi
tidak sejalan dengan ideologinya. Artinya, jika – lagi-lagi – sistem kapitalis
akan dapat berjaya dan dapat berbuat banyak menjadi sistem ekonomi suatu bangsa
jika ditopang dan didorong oleh sistem politiknya, yaitu demokrasi. Seperti
halnya Amerika (“dewanya negara maju), INI FAKTA. Sementara di Indonesia tidak
berjalan secara berkelindan. Yakni, ekonomi kerakyatan tidak di back up
oleh Pancasila yang melahirkannya. Justru, sistem Pancasila diganti sistem
Demokrasi, atau paling tidak agar supaya tidak menyalahi dasar negara
ditambah-tambah, yaitu DEMOKRASI PANCASILA4
ATAU DEMOKRASI EKONOMI.
Hemat penulis,
apa yang menjadi milik bangsa, jati diri bangsa yang mencerminkan karakter
bangsa dan ideologi bangsa yaitu PANCASILA disanding-sanding dengan DEMOKRASI,
yang bukan milik bangsa, karakter bangsa bahkan jatidiri bangsa Indonesia.
DEMOKRASI mungkin sangat cocok dengan karakter bangsa jati diri bangsa lain, sehingga
bisa jadi sesuatu yang bukan bajunya dipakai, maka tidak akan pas, bisa jadi
kedodoran. Apalagi sistem KAPITALIS, yang jauh dengan jati diri bangsa
Indonesia yang guyub, tepo seliro, santun, rerewangan, gotong royong, paroan,
pertelonan, dan sejenisnya dalam bidang pertanian, yang kecil menghormati yang
tua, yang tua menyanyangi yang kecil. Misalnya, di Aceh masyarakat sangat
menghormati dan patuh pada tokoh, Cut Nya Dien, Cik Di Tiro, di Padang Imam
Bonjol di Jawa Tengah dengan Pangeran Dipenogoro sampai Papua semua tokoh-tokoh
masyarakat dipatuhi ditaati dan dihormati sehingga keterwakilan menjadi
karakter dan budaya bangsa dipaksakan menjadi sistem kapitalis yang sekuler
yang sangat berbeda dengan nilai-nilai tersebut di atas.
Kenapa
Pancasila layak dipertahankan dan harus dipertaruhkan sebagai dasar negara,
falsafah hidup bangsa, bukan Islam misalnya karena Indonesia mayoritas Muslim.
Paling tidak, seperti apa yang menjadi kegelisahan dan keperihatinan Mubyarto
pada teori-teori ekonomi yang bersumber pada “KAPITALIS”, khususnya teori
neoklasik teori-teori Neoklasik banyak menggantungkan pada kekuatan pasar untuk
melaksanakan alokasi sumber daya dalam masyarakat yang dianggap oleh para
pengamat lebih banyak menumbuhkan golongan ekonomi kuat, dan kurang mampu
meningkatkan peranan golongan ekonomi lemah. Sementara dengan PANCASILA sebagai
dasar negara dan falsafah hidup bangsa, didalamnya menurut Mubyarto, memiliki
prinsip dasar ekonomi yang jelas, seperti:
1.
Etika/Bermoral (Spirituality)
2.
Manusiawi (Humanity)
3.
Nasionalisme
ekonomi (Economic Nationalism)
4.
Demokrasi
ekonomi/ekonomi kerakyatan
5.
Keadilan sosial
(Social justice)
Juga sangat jelas karakteristik dan tatan budaya pada sistem
ekonomi Pancasila mencerminkan pada:
1)
Roda kegiatan ekonomi
digerakkan oleh rangsangan sosial dan moral.
2)
Ada tekad kuat
seluruh bangsa utk mewujudkan kemerataan sosial.
3)
Ada
nasionalisme ekonomi.
4)
Koperasi
merupaka sokoguru ekonomi nasional.
5)
Ada
keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi
nasional dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.
Inilah nilai-nilai dasar dari
ekonomi Pancasila versi Mubyarto atau ekonomi kerakyatannya M. Hatta dengan
koperasinya yang secara pasti-akurat sesuai dengan budaya dan karakter bangsa
Indonesia, bukan Kapitalis atau pun Sosialis, Demokrasi maupun Komunis. Karenanya,
para pengikut sekaligus murid-murid beliau selalu mendukung dan menyebarluaskan
ide dan gagasannya itu. Untuk itu dikenal sebagai mazhab UGM, karena Mubyarto
seorang lulusan ekonomi pertanian.
Begitu juga pengakuan Yuyun
Wirasasmita bahwa pada sistem kapitalis yang dilematik pada aspek kepemilikan (ownership)
dimana setiap orang diberikan kebebasan mutlak baik untuk memilikinya maupun
penggunaannya yang menimbulkan berbagai masalah seperti eksternalitas (masalah
kerusakan lingkungan, monopoli dan lain-lain), serta sosialis yang cenderung
membatasi kepemilikan individu sehingga menimbulkan kemandegan ekonomi. Ini pun
telah terbukti secara sadar atau tidak, menimbulkan masalah yang tak kunjung
selesai, terutama bagi negara-negara berkembang yang mau dipaksakan “harus”
mengikuti pola demokrasi ala Kapitalis atau pun pola komunis ala Sosialis.
Namun berakhirnya orde baru pada
tahun 1997 dan beralihnya orde reformasi, dimana warisan orba dengan hutang
luar negeri yang begitu menganga dengan sistem demokrasi pancasila yang gagal
menunjukkan Pancasila “sakti” sesuai dengan nilai-nilai silanya. Hampir seluruh
produk yang “berbau” ORBA dihilangkan. Kini telah 18 tahun yang diawali dengan
era reformasi, mulai masa transisi BJ. Habibie sampai era Jokowi kehilangan
pijakan dan arah pembangunan di bidang ekonomi. Pemerataan ekonomi masih
berpihak pada kaum kuat, meskipun kaum lemah beranjak tetapi sangat lambat
bergeser pada sedikit seditik menuju kaum menengah. Munculnya korupsi
merajalela dari tingkat desa sampai pejabat tinggi negara, tindak kriminalitas
meningkat ditandai dengan adanya ulah geng motor yang tak pernah kunjung
dipecahkan, pergaulan bebas semarak tak kenal tempat, alih-alih seksualitas
yang dilakukan anak pada anak dan terhadap anak oleh orang dewasa muncul setiap
saat. Dari berbagai permasalahaan dan persoalan seakan-akan tidak mampu untuk
diurai dari mana harus memulai, dan kapan harus diobati.
Sejatinya kalau dirunut dari fakta
sejarah, memang tidak lepas dari bagaimana peran para tokoh, terutama para
akademisi sumbangsihnya pada pengembangan teori khususnya di bidang ekonomi.
Mereka mencoba untuk mengerahkan segenap ide, gagasan dan pikiran sehingga
melahirkan teori-teori ekonomi. Lahirnya ekonomi klasik tidak lepas dari Adam
Smith sebagai embahnya ekonomi modern denga disebarluaskan – baik melalui
kritikan perbaikan – oleh para pelanjut dan murid-muridnya, seperti: Thomas
Robert Malthus (1766 – 1834), David Ricardo (1772 – 1823), Jean Baptiste Say
(1767 – 1832) dan John Stuart Mill (1806 – 1873)5
melahirkan sistem Kapitalis yang banyak dan telah memberikan sumbangsih besar
pada negara Adidaya Amerika Serikat, dengan Demokrasi sebagai bungkus
pemerintahnnya. Karl Marx dengan pengembangan dari teori sosialis uthopis mampu
menampilkan sistem sosialisme menjadi sistem ekonomi yang dibungkus dengan
sistem pemerintahan komunis6.
Lantas
bagaimana dengan sistem Pancasila dan ekonomi kerakyatan yang miskin akan ide
dan gagasan serta pelanjut dan jenderal lapangan yang mau “berkorban” untuk setidaknya
pada konteks keindonesiaan mau dengan “suka rela”, khususnya para ekonom untuk
mencuatkan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa menjadi
sistem ekonomi lokal, alih—alih sistem ekonomi dunia, ekonomi kerakyatan
menjadi pengajawantah sistem ekonomi Pancasila.
Kenapa harus
sistem ekonomi Pancasila
Sebagaimana
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, maka bagaimana pun
kita harus konsisten dengan seluruh aspek di dalamnya. Prinsip, nilai dan
karakteristik yang terkandung didalmnya harus diimplementasikan dalam wujud
nyata berbangsa dan bernegara. Pancasila yang lahir dari asli rahim perwakilan
tokoh agama, budaya, akademisi dan represenatif dari bangsa Indonesia –
terlepas dari kontroversinya, ketika 7 kata di dalamnya, yang disebut piagam
Jakarta – kini telah diakui secara konstitusi. Artinya, senang tidak senang
harus dipedomani secara konsisten.
Mayoritas
Muslim Indonesia khususnya telah menerima bahkan diakui dalam sila pertama,
yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan wujud dari ketahuidan dalam ajaran
islam. Yaitu Allah Ahad, Allah Tuhan Yang Maha Esa. Sila ini tentu menjadi
spirit keagamaan bagi semua warga negara yang ada di dalam tubuh yang bernama
Indonesia, spirit moral dalam keberagamaan, budaya, sosial ekonomi yang
merupakan pilar dalam menyemangati kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
nilai etis oleh perilaku manusia-manusia Indonesia. Maka jika, dalam ekonomi
konvensional semangat atas homoeconomicus dalam Pancasila menjadi homopanasilus,
kalau bukan homosolius yang bisa ditafsirkan sebagai manusia sebagai
khalifah fi ardli. Artinya, perilaku warga negara Indonesia harus
didasari atas landasan moral Pancasila, tanpa harus diselewengkan tanpa harus
diduakan dengan lainnya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila paralel dengan
sistem ekonomi Islam dilihat dari aksiomatik sistem nilai ajaran Islam, yaitu
TAUHID.
Disisi lain
dalam sila-sila lain, sebagaimana pula jelaskan dan ditafsirkan oleh banyak
tokoh dan begawan ekonomi seperti yang telah disebutkan, misalnya Sarbini
Sumawinata pelanjut dari gagasan ekonomi kerakyatan M. Hatta, berlanjut pada
Prof. Mubyarto dan Sri Edi Swasono dengan banyak lagi para pengikutnya yang
kemudian “angin-anginan” dalam menyebarluaskan ide dan gagasannya itu. Maka,
akan sangat lama waktu yang dibutuhkan dalam rangka paling tidak bertahan dari
serbuan gelomban sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis yang diperjuangkan leat
demokrasi dan komunis dalam sistem penyelenggaraan negara, apalagi
menggesernya. Mesikupun adanya sistem ekonomi Islam (SEI) telah memberikan
angin segar dengan ada dan muncul kembangnya kelembagaan ekonomi Islam baik
perbankan maupun non perbankannya. Namun hemat penulis, proses ini akan memakan
waktu yang sangat lama, karena disisi lain sistem ekonomi Islam hanya
diterapkan pada bidang ekonomi saja, tanpa dibarengi dengan sistem politik
kenegaraan apalagi perundang-undangannya. Mengingat Indonesia bukan negara
agama, apalagi negara Islam. Meskipun tentu sebagai bagian dari Muslim ini
merupakan ijtihad di bidang ekonomi.
Semangat umat
Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah (universal), dengan catatan
tidak mengikuti langkah-langkah syetan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme
yang tidak proporsional paling tidak itu akan menghambat. Hal ini telah
terbukti berkali-kali dalam sejarah kita. Hemat penulis, Pancasila sebagai
bagian dari inti dari ajaran Islam paling tidak akan mampu secara menyeluruh
untuk menjadikan sistem ekonomi menjadi sistem ekonomi nasional dan dunia,
dengan syarat para pendekar dan begawan, baik dari kalangan politisi, agamawan,
teknokrat, dan para ekonomi semuanya bahu membahu tanpa batas agama, ras, suku
dan lainnya seperti halnya mereka para tokoh “mensukseskan” masing-masing
ideologi Kapitalis maupun Sosialis.
Syarat lain
adalah pertentangan Pancasila dan Islam yang telah berkesudahan harus menjadi
momentum baik dalam pengembangan ekonomi berbasis kebijakan lokal (local
wisdom) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Jika sistem ekonomi
Islam menjadi bagian penting dalam rangka Pancasila membentuk dirinya pada
sistem ekonomi nasional, maka secara politik Islam dapat menjadi sistem politik
dalam bingkai transpormasi Pancasila dengan memproduk perundang-undangan dan
peraturan pemerintah secara Islami. Karena itu, Pancasila merupakan sumber
inspiratif kearifan lokal (Pancasila as Inspiring of local wisdom).
Perbankan
Syariah vs Koperasi
Terlepas apakah
perbankan syariah sesuai dengan “hukum Islam” atau tidak, “belum sesuai” atau
“sudah sesuai”, di Indonesia perkembangan kelembagaan ini secara kuantitatif
telah menunjukkan peningkatannya. Misalnya, sejak tahun 1991 dimana dimulainya
babak baru munculnya perbankan syariah dengan berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang berdiri tahun 1990 (1998 berlakunya UU PS) sampai dengan
tahun 2016 telah mencapai jumlah yang signifikan, yaitu dari 1 perbankan
menjadi 12 perbankan (BUS). Dan, harus diakui secara formal yuridis
perkembangan perbankan syariah dengan peraturan perundang-undangannya, baik
oleh pemerintah maupun fatwa-fatwanya banyak diadopsi pada produk-produknya.
Pertumbuhan perbankan
syariah yang signifikan ini tidak terlepas setelah adanya perubahan Undang-Undang
perbankan Nomor 10 tahun 1998, sebagai Undang-undang pengganti UU Nomor 7 tahun
1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang
dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur perbankan Syariah.
|
Tabel 1 Perkembangan
Bank Syariah Indonesia
|
|||||||||||
|
Indikasi
|
1998
KP/UUS
|
2003
KP/UUS
|
2004
KP/UUS
|
2005
KP/UUS
|
2006
KP/UUS
|
2007
KP/UUS
|
2008
KP/UUS
|
2009
KP/UUS
|
2014
KP/UUS
|
2015
KP/UUS
|
2016
KP/UUS
|
|
BUS
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
5
|
6
|
12
|
12
|
12
|
|
UUS
|
–
|
8
|
15
|
19
|
20
|
25
|
27
|
25
|
22
|
22
|
22
|
|
BPRS
|
76
|
84
|
88
|
92
|
105
|
114
|
131
|
139
|
163
|
163
|
165
|
|
Sumber : OJK-BI,
Statistik Perbankan Syariah, 2016.
|
|
Keterangan
:
|
||
|
BUS
|
=
|
Bank Umum Syariah
|
|
UUS
|
=
|
Unit Usaha
Syariah
|
|
BPRS
|
=
|
Bank
Perkreditan Rakyat Syariah
|
|
KP/UUS
|
=
|
Kantor
Pusat/Unit Usaha Syariah
|
Dari tabel
di atas, dapat dilihat secara kuantitas baik BUS dan BPRS menunjukkan
peningkatannya, berbeda dengan UUS ada penurunan terutama pada tahun 2008
dengan jumlah 27 tahun berikutnya 22. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi islam
dengan sistem kelembagaan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat yang
kecenderungannya konvensionalisme produk kapitalis demokrasi, melalui
lembaga-lembaga perbankannya. Lalu dimana peran Pancasilanya, meskipun sistem
ekonomi Pancasila belum muncul secara yuridis karena memang harus atas ketok
palu DPR, setidaknya dalam perbankan Islam menjadi representatif ekonomi
Pancasila. Bisakah? ini PR kita bersama, terutama bagi yang setuju akan hal
ini.
Demikian
pula koperasi yang merupakan bagian dari wujud ekonomi kerakyatan dalam sistem
ekonomi Pancasila, bait al-mal wa tamwil (BMT) dalam konteks ekonomi
Islam (syariah) menjadi soko guru perekonomian nasional harus diakui. Meskipun
sebenarnya lembaga perbankan lebih menjurus pada “melenganggengkan” sistem
Kapitalis, setidaknya koperasi syariah plus ekonomi kerakyatan lagi-lagi perlu
didorong agar betul-benar menjadi soko guru perekonomian nasional, “bukan”
lembaga perbankan. Hal ini telah jelas disebutkan secara tidak langsung pada
Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Jadi, hanya koperasi yang paling tidak
mendekati apa yang dikehendaki oleh UU tersebut, bukan perbankan karena asas
kekeluargaan dengan wujud “ANGGOTA” menjadi slogan koperasi, sementara
“NASABAH” menjadi slogan perbankan.
Dalam
konteks perbankan syariah dengan sistem bagi hasil (al-qiradh/mudharabah
atau musyarakah, muzara’ah, mukhabarah dan musyaqah) dan sistem jual
beli (murabahah dan lainnya) fee (jasa) menjadi hal yang menarik
dalam konteks pembeda pada perbankan konvensional. Maka perlu kita perjelas
dengan model berikut ini:
ambar 1 BH/BRH
100 % dalam 8 Tahun

![]() |
|||
![]() |
|||
Gambar 3 BH/BRH 30 % cicilan dalam 8 Tahun
Gambar 4 BRH/BH < 20 % cicilan dalam 8 Tahun
Dari ilustari 1
sd. 4 tersebut menjelaskan tentang bagaimana prinsip bagi hasil atau bagi rugi
hasil dan atau produk perbankan syariah lainnya dengan adanya tambahan
(ziyadah, atau dengan dalih apa pun ulama sepakat sebagai “riba”) dalam konteks
kekinian di Indonesia dikenal dengan terang benderang sebagai “BUNGA” dalam
konvensional. Apakah dengan ini adalah peristilahan lain, terutama bagaimana
rumusan sistem ekonomi Pancasila dapat menjawab isu ini. PR panjang? Lalu
bagaimana dengan koperasi?
Inilah
bahan-bahan diskusi lanjutan untuk kita bahas dan dengan tekun pelajari agar
harapan kita menjadikan apakah SEI ataukah SEP dengan ekonomi kerakyataannya
yang dipertegas oleh sistem politik yang berdasarkan PANCASILA bukan demokrasi
ala Kapitalis membumi di Indonesia, tanah kelahiran sendiri, bukan tanah
kelahiran Adam Smith, bukan juga tanah kelahiran Karl H Marx.
Penutup
Dari bahasan
tersebut di atas, maka dalam hal ini penulis ingin sharing bahwa ide dan
gagasan apapun yang muncul dan dituangkan dalam bentuk pemikiran merupakan
suatu amal ibadah jika diniatkan untuk pencerahan, peneyelesaian suatu masalah
apalagi yang menyangkut keumatan, terlebih dalam bentuk tulisan yang bisa
dibaca dikritik dan didiskusikan. Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin
telah mengarahkan kepada pendiri bangsa memunculkan ide dan gagasan berupa
PANCASILA menjadi akhir dari perdebatan ideologi dan dasar negara bagi bangsa
Indonesia. Akankah disia-siakan? Tidak bisakah dari ideologi bangsa dan dasar
negara tersebut tidak bisa diwujudkan dalam kesejahteraan ekonomi, kedamaian
sosial dalam kerangka perpolitikan negara, sistem negara, hukum negara dan
seterusnya. Seperti halnya ide dan gagasan seorang diri Adam Smith bagi
penyelesaian akan kehancuran suatu bangsa dengan munculnya sistem KAPITALIS
yang diperbuat dengan DEMOKRASI, menjadi solusi. Amerikat Serikat dengan
negara-negara Eropa Barat lainnya. Ataukah seorang Karl Marx dengan ide
cemerlang menggagas ide sosialis menjadi sistem perekonomian SOSIALIS dengan
bantuan “kediktatoran” negara menjadi “KOMUNIS”, yang diimplementasikan dalam
bentuk negara Uni Soviet, kini RUSIA.
Pengembangan
ekonomi dan perbankan syariah sebagaimana dalam diskusi ini memulai sedini
mungkin, meskipun sudah jauh dari lainnya mulai mencari pegangan dan basis pada
local wisdom (kearifan lokal) yang tentu penulis cenderung memilih
sebagai basis PANCASILA, sebagaiman juga telah selalu dibahas di kampus-kampus.
Wallahu a’lam bi sawab.
Daftar Referensi Diperkaya Oleh Tulisan:
Berbahasa Inggris:
Kindleberger, Charles, P. 1968. “the Marshall Plan and the Cold
War”, International Journal, Vol. 23, No.3, pp.369-382
Kunz, Diane B. 1997. “the Marshall Plan Reconsidered: a Complex of
Motives”, Foreign Affairs, Vol.76 No.3, pp.162-170
Bryan, Ferald J. 1991. “George C. Marshall at Harvard: a Study of
the Origin and Construction of the Marshall Plan Speech”, Presidential
Studies Quarterly, Vol. 21, No. 3, pp. 21-38
Machado, Barry 2007, In Search of a Usable Past: The Marshall
Plan and Postwar Reconstruction Today, George C. Marshall Foundation,
Lexington, VA. Pp. 51-63
Milward, Alan S. 1984, The Reconstruction of Western Europe,
1945-1951, Methuen, London.
Berghahn, Volker R. 2008, The Marshall Plan and the Recasting of
Europe’s Postwar,
Berbahasa Arab:
an-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Iqtishad al-Islamy.
Berbahasa Indonesia:
Nataatmadja, Hidayat, dkk. 1984. Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan di Dunia Ketiga. PLP2M, Jakarta.
_________________, 2001. Inteligensi Spiritual. Perenial
Press, Jakarta.
_________________, T.Th. Membangun Ilmu Pengetahuan Berlandaskan
Ideologi. Iqro, Bandung.
________________, 1984. Pemikiran Kearah Ekonomi Humanistik. PLP2M
Ygoyakarta.
Rahardjo, Dawam, 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon, 2000. From Adam Smith to
Michael Porter Evolusi Teori Daya Saing. Salemba Empat, Jakarta.
Deliarnov, 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. RajawaliPress,
Jakarta.
1 Keberhasilan Amerika
Serikat dalam pembangunan ekonomi tidak terlepas dari teori modernisasi yang
didasarkan teori Max Weber sebagai upaya pemerintah AS untuk “menolong”, yang
sebenarnya juga menyangkut kepentingannya sendiri untuk memperkaya negara
Amerika. Karena Amerika tidak bisa kaya sendirian saja. Amerika butuh pasangan
kencan untuk berdagang. Mula-mula ia menolong negara-negara Eropa melalui
Marshal Plan untuk merekonstruksi akibat dampak perang dunia kedua. Ternyata
berhasil, kemudian Jepang. Kemudian negara-negara miskin lainnya, yang dikenal sebagai
negara-negara Dunia Ketiga. Namun mendapat kegagalan. Liha t tulisan Arief
Budiman berjudul “Ilmu Sosial di Indonesia Perlunya Pendekatan Struktural”
dalam buku “Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga”, yang
diterbitkan oleh PLP2M, Jakarta, 1984m 155.
2 Pada tahun 1945 – 1958
gagasan ekonomi kerakyatan cenderung mengalami proses pasang surut, apalagi
1949 ketika kaum penjajah belum sepenuhnya rela meningalkan Indonesia.
Sementara tahun 1950 – 1958, meskipun pada 1955 berlangsung sukses pemilihan
umum. Indonesia terlanjur terjebak ke dalam kancah pergulatan politik internal
yang hampir tiada henti. Pada tahun 1959 – 1965 di era ekonomi dan demokrasi
terpimpin, semangat ekonomi kerakyatan cenderung mengalami politisasi
besar-besaran sehingga memunculkan gerakan G 30 S/PKI, puncaknya terjadi alih
kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 11 Maret 1966. Di awal
kepemimpinannya, ekonomi kerakyatan dengan secara tegas menamakan koperasi
dengan munculnya UU Koperasi No. 12/1967. Namun sebelumnya telah diterbitkan UU
No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Dikutip dari tulisan
Revrisond Baswir berjudul Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Rakyat dan Koperasi
Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional.
3 IMF sebagai bagian dari
wujud “MARSHALL PRLAN” modern diduga merupakan pelindung pejudi-pejudi pasar
uang. Karena disamping posisinya sebagai pemantau dan pengendali defisit neraca
berjalan (“DNB”) pada para anggotanya, juga berfungsi sebagai pemberi
peringatan dini, rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh sembari memberikan
dana bantuan kalau perlu. Meskipun secara formal berjalan, namaun ada keanehan
terkait dengan apa yang dialami Indonesia semasa krisis melanda.Untuk lebih
lengkapnya, lihat Hidayat Nataatmadja dalam buku berjudul “Inteligensi
Spiritual Inteligensi Manusia-Manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi”, yang
diterbitkan Perenial Press, Jakarta tahun 2001, 201.
4 Demokrasi Pancasila ala ORBA dan atau demokrasi terpimpin ala ORLA dua
sistem yang berbeda. Demokrasi merupakan sistem Barat yang secara politis
diikutsertakan pada sistem Kapitalis sehingga melahirkan neoliberal. Pancasila
merupakan lahir asli dari rahim bangsa Indonesia. Demokrasi mau disatu padukan
dengan Pancasila menjadi Demokrasi Pancasila, sesuaikah? Hal ini tentu tidak
terlepas dari perseteruan ide dan gagasan yang sengit antara Sarbini Sumawinata
pelanjut gagasan ekonomi kerakyatan dengan Widjojo Nitisastro “penghamba” pada
produk luar negeri yang bernama neoliberal dengan dewa penyelamatnya yang
bernama “KAPITALIS-DEMOKRASI”.
5 Mereka yang tersebut telah memberikan sumbangsih pemikiran di bidang
ekonomi meletakkan dasar-dasar yang kokoh dalam melahirkan sistem Kapitalis
yang kemudian muncul dan berkembang menjadi mazhah-mazhab pemikiiran sampai
matangnya pada John Maynard Keynes (1883 – 1946) dengan teori ekonomi yang
terkenal tentang Teori Uang. Buku yang sangat monumental The General Theory
of Employment, Interest, and Money merupakan buku penyempurna metode klasik
dan neoklasik. Peran besar Keynes adalah saat pembentukan IMF (International
Monetary Fund), sehingga dengan jasanya itu ia dianugerahi gelar “BARON”,
suatu gelar kebangsaan yang sangat tinggi dalam masyarakat Eropa, sehingga ia
mendapat banyak dukungan seperti Alvin Harvey Hansen (1887 – 1975), Simon
Kuznets (1901 – 1985), John R. Hicks (1904-) dengan memperjelas analisis teori
IS-LM, Wassily Leontief (1906 -) dan Paul Sameulson (1915 -) dan seterusnya.
Lih. Deliarnov dalam buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi, 1997.
6 Sistem sosialisme Mark atau Marxisme yang nama lengkapnya adalah Karl
Heindrich Marx (1818 – 1883) pelanjut dari sosialis utopis yang digagas oleh
tokoh-tokohnya seperti Sir Thomas More (1478 – 1535), Tomasso Campanella (1568
– 1639), Francis Bacon (1560 – 1626) dan James Harrington dan lain sebagainya.
Marx tidak sendirian dalam memuncul-cuatkan ide dan gagasannya bersama
Friedrich Engels, Georg Wilhelm Hegel dan Ludwig Feuerbach dan tokoh Valdimir
Ilich Lenin (1870 – 1924) Bapak Revolusi Rusia. Inilah pendekar-pendekar kaum
sosilias.


Komentar
Posting Komentar